26 Oktober 2008

Quo Vadis Keislaman Kita

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah

Tebet Timur


Pada suatu sesi pengajian Ramadhan 1427 H, penceramah yang juga seorang wirausahawan, KH. Toto Tasmara, menyampaikan pertanyaan yang menggelitik ketika beliau memulai ceramahnya. Dengan santai beliau bertanya kepada peserta pengajian, “Yang hadir di sini, semuanya muslim?” Kontan saja, sebagian besar hadirin menyunggingkan senyum dan tergelak mendengar pertanyaan sang ustadz. Mereka kemudian menjawab dengan kompak, “Yaa…”. Tawa-tawa kecil pun ikut meramaikan jawaban tersebut.

Pertanyaan sang ustadz menjadi unik karena terkesan sekedar guyonan. Pasalnya, dapat dipastikan bahwa semua yang hadir di sesi pengajian Ramadhan itu beragama Islam, minimal tertera kata “ISLAM” di KTP mereka. Namun, “dugaan” para peserta pengajian tersebut tampaknya tidak sepenuhnya benar. Ustadz Toto menyambung pertanyaan pertama itu dengan bertanya lagi kepada para peserta, “Siapa yang bilang Anda itu muslim?”

Pertanyaan yang kedua pada intinya mengajak seluruh yang hadir di sesi pengajian itu untuk merenungkan kembali label muslim yang mereka kenakan. Ustadz Toto kemudian menjelaskan bahwa yang menyebut diri kita muslim, yang menyebut bahwa diri kita adalah orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, adalah diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Kemudian, beliau bertanya lagi, “Apakah kita yakin bahwa Allah juga bilang bahwa kita adalah muslim?”

Saudaraku,

Kita harus optimis, tetapi kita sama sekali tidak bisa menjamin bahwa segenap predikat positif yang melekat pada diri kita adalah demikian adanya menurut Allah swt. Begitu pula, ketika kita menyebut diri kita orang yang berislam dan beriman. Kebenaran keislaman dan keimanan kita pada akhirnya kembali kepada penilaian mutlak dari Allah swt, bukan dari siapapun selain-Nya, apalagi dari kata “ISLAM” yang tertera pada kartu identitas kita. Oleh karena itu, sangatlah tidak layak bagi kita untuk merasa “sombong” dengan keislaman kita, merasa diri kita paling benar dalam keislaman kita, apalagi sampai menilai keislaman orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, predikat sebagai muslim bukan sekedar bagaikan lencana yang kita pakai lantas otomatis orang lain mendefinisikan diri kita sesuai makna lencana itu, tetapi predikat ini haruslah berkolerasi dengan ikhtiar terus menerus untuk membuktikan bahwa kita pantas disebut sebagai muslim, dan pada akhirnya ditujukan agar Allah berkenan mengakui keislaman kita.

Kondisi yang kemudian mengemuka adalah bukan dari sisi pengertian kita terhadap konsepsi “kebenaran mutlak” mengenai keislaman dan keimanan kita itu. Artinya, sebenarnya kita sudah mengakui bahwa hanya Allah yang bisa menilai apakah memang benar kita berislam dan beriman. Kita pun sudah dan terus berikhtiar untuk memperbarui syahadat kita sebagai gerbang penyerahan diri kita kepada Allah. Namun, kondisi yang akhirnya memunculkan masalah di tubuh umat Islam adalah pada saat kita terjebak dalam atribut keislaman kita, yakni ketika kita terlena dengan sebutan “muslim” dan merasa cukup dengan “pakaian luar” keislaman kita. Hal ini selanjutnya menjadikan kita lengah dan, tanpa kita sadari, membuat ucapan dan prilaku kita ditafsirkan sebagai upaya untuk menilai keislaman orang lain.

Keterlenaan kita dengan sebutan “muslim” dan perasaan cukup dengan “pakaian luar” keislaman sebenarnya adalah isu klasik yang sudah sangat sering diangkat di berbagai forum pengajian. Hal-hal yang termasuk di dalamnya antara lain: Pertama, kita mengakui bahwa Islam adalah the way of life, tetapi dalam pelaksanaannya, masih terliht berbagai fenomena yang menunjukkan bahwa Islam masih sebatas the way of worship; Kedua, simbol-simbol keislaman menjadi parameter favorit untuk menstratifikasi “tingkat keshalihan” seseorang sementara aspek-aspek substansialnya seringkali terlupakan atau mungkin sengaja dilupakan.

Islam sebagai the way of life berada pada tataran idealisme yang mungkin tidak selalu mudah untuk diimplementasikan, tetapi pasti menjadi cita-cita kita semua. Sementara itu, islam sebagai the way of worship justru menjadi hal yang sangat mudah untuk dicerna dan dipahami karena notabene terlihat oleh mata kepala (seperti ritual shalat, zakat, haji, dll). Islam sebagai the way of worship pada hakikatnya adalah konsepsi yang berada di konstelasi Islam sebagai the way of life. Orang yang menjadikan Islam sebagai the way of life secara otomatis telah mendudukkan Islam sebagai the way of worship, tetapi tidak sebaliknya. Orang yang menjadikan Islam sebatas the way of worship adalah mereka yang hanya berorientasi pada ibadah yang bersifat ritual. Sebagai contoh sederhana, kita tak pernah absen shalat lima waktu, tetapi sebagian dari kita pun seringkali absen kuliah tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, telat datang ke kantor atau kampus, malas belajar, malas bekerja, malas berprestasi, tidak profesional dan hal-hal negatif lainnya.

Paradigma yang hanya mengorientasikan Islam sebagai the way of worship selanjutnya mempengaruhi persepsi kita terhadap pemakaian simbol-simbol keislaman. Kita cenderung mudah untuk mengatakan atau minimal beranggapan bahwa orang yang sering memakai baju koko, wanita yang berjilbab dengan baik, orang yang selalu membawa mushaf al-Quran kemana-mana (kecuali ke kamar kecil), orang yang sering berdzikir dan mengaji di masjid sebagai orang-orang yang shalih (atau seringkali disebut “alim”). Hal ini sama sekali tidak salah dan sangat amat wajar serta relevan. Namun, berawal dari kesan wajar inilah kita kadangkala terlena sampai akhirnya terjebak di dalam pakaian luar keislaman kita sehingga di antara kita ada yang sampai men-cap bahwa orang-orang yang tidak seperti mereka adalah muslim yang tidak shalih. Pada titik inilah, kita, baik sadar maupun tidak, telah menstratifikasi “tingkat keshalihan” seseorang, padahal hanya Allah yang memiliki hak stratifikasi itu.

Satu fenomena lagi yang kerap membuat saya prihatin dan geram terkait dengan stratifikasi keshalihan adalah kebiasaan penggunaan sapaan “ikhwan” dan “akhwat”. Kedua istilah ini memiliki akar makna yang sama, yakni ”saudara”. Namun, saya mengamati kecenderungan bahwa sebutan “ikhwan” dan “akhwat” masing-masing telah menjadi monopoli muslim dan muslimah yang berafiliasi dengan institusi atau lembaga dakwah Islam. Seolah-olah, para muslim dan muslimah yang berada di luar lingkaran komunitas itu tidak berhak disebut “ikhwan” atau “akhwat”. Seolah-olah, seorang muslim harus aktif di organisasi dakwah terlebih dahulu kalau mau disebut “ikhwan”; seolah-olah, seorang muslimah harus berjilbab dengan sempurna terlebih dahulu kalau mau disebut “akhwat”. Seolah-olah, sebutan “ikhwan” dan “akhwat” menjadi representasi status sosial yang tidak serta merta dimiliki oleh setiap pribadi yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Padahal, selama seseorang mengaku muslim dan beriman, berarti dia adalah saudara kita sesama muslim dan berarti pula kita berhak menunjukkan semangat persaudaraan kita dengan menyapa “wahai, akhii” atau “wahai, ukhtii” kepadanya.

Perkara penyebutan “ikhwan” dan “akhwat” di atas memang hal kecil dan terkesan sepele, tetapi tidak sepenuhnya demikian menurut saya. Jika kita tidak berhati-hati dengan hal kecil tersebut, saya khawatir hal itu secara perlahan akan semakin mengeksklusifkan para aktivis dakwah di masyarakat. Keeksklusifan ini pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi efektivitas aktivitas dakwah itu sendiri.

Saudaraku,

Jika kita terlena di balik pakaian luar keislaman kita, maka mungkin kita akan lupa untuk memberikan apresiasi positif kepada para muslim yang selalu tepat waktu, muslim yang profesional, muslim yang bekerja keras dan cerdas, terlebih lagi jika mereka tidak selalu akrab simbol-simbol keislaman. Boleh jadi, mereka lebih suka memakai kemeja dan mencukur jenggotnya dibandingkan mengenakan koko dan memanjangkan rambut di dagu; boleh jadi, jilbab mereka tetap menutup aurat dengan baik meskipun ujungnya tidak sampai segaris dengan lutut. Bahkan, mungkin mereka baru saja belajar memakai jilbab di tengah desakan hebat tren jilbab modis yang sedikit-banyak mengaburkan pemahaman sebagian muslimah mengenai syariat penutupan aurat wanita.

Saudaraku,

Uraian singkat yang dikemukakan pada baris demi baris di atas, insya Allah, sama sekali tidak diniatkan untuk menyudutkan atau mendiskreditkan para muslim dan muslimah yang akrab dengan simbol-simbol keislaman, tetapi semoga menjadi salah satu bahan untuk merefleksikan kembali jati diri keislaman kita.

Simbol-simbol keislaman, bagaimanapun, adalah sarana pertama yang paling mudah bagi orang untuk mencitra kepribadian kita sebagai muslim atau muslimah. Lebih jauh, sebagian besar simbol-simbol itu pun adalah bentuk aktualisasi dari perintah Allah dan rasul-Nya. Beragam ibadah ritual pun sudah semestinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian kita. Namun, hal-hal tersebut tentu saja belum cukup. Yang jauh lebih penting dan tentu saja lebih berat adalah mengimplementasikan nilai-nilai ruhiyyah yang kita raih darinya di dalam kehidupan bermasyarakat (hablum min an-naas). Dalil yang menjadi landasan semangat kita untuk kaaffah dalam berislam sangat banyak kita temukan di al-Quran. Salah satunya yang sangat populer adalah pernyataan Allah yang disebut berulang kali di dalam Kitab-Nya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih”… Saya memahami “amal shalih” secara luas sebagai implementasi terbaik dari nilai-nilai keimanan yang terpatri di dalam hati.

Dengan demikian, semoga Allah menganugerahkan kekuatan kepada kita untuk berikhtiar terus menerus agar Islam benar-benar menjadi the way of life kita, menjadi kepribadian kita, dan tidak sekedar pakaian belaka.

Islam sebagai the way of life adalah cita-cita kita semua. Dalam perjalanan kita menuju cita-cita itu, tak terhitung badai godaan yang menerjang kita. Salah satu godaan yang mungkin jarang kita sadari adalah kecenderungan untuk tergesa-gesa menilai keislaman orang lain dari aspek lahiriyah baik secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak. Semoga Allah memberikan kekuatan bagi kita untuk menyelamatkan diri daripadanya. Salah satu senjata yang Allah anugerahkan kepada kita adalah perenungan terhadap ayat-ayat pamungkas dari surat Al-Ghasyiyah:

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan…

Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,

Tetapi orang yang berpaling dan kafir,

Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar

Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,

Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab (menilai) mereka

Pada akhirnya, semoga refleksi terhadap jati diri keislaman kita menjadi bekal untuk menjawab dengan tegas dan tepat pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Quo Vadis, Keislaman Kita?

Wallahu a’lam…


05 September 2008

IKHLAS ITU DINAMIS, BERGERAK & PRESTATIF

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur

Adalah suatu anugerah yang luar biasa, ketika kesempatan untuk menelisik ruang-ruang rahasia kehidupan hadir di hadapan kita. Aku pun berlomba agar Tuhanku berkenan mencurahkan anugerah itu, meskipun aku sadar bahwa hati yang kesat cemerlang menjadi syaratnya. Itulah yang tampaknya berat bagiku. Kuakui, masih jauh kecemerlangan itu dari hati ini. Ketika kita memiliki hati yang bersih, kita bisa merasakannya, dan ketika kita memiliki hati yang kotor, kita pun tak mampu mendustainya. Sebab hati adalah raja diri. Ia lah pemimpin yang “menuntun” langkah ke jalan yang lurus atau berbelok. Ia lah yang menyambut tamu agung berupa hidayah-Nya, atau menerima ajakan berperang raja-raja negeri syaithan.

Saudaraku,

Sebuah ungkapan sarat makna mengemuka dalam pembelajaran tentang hati. Ungkapan itu berbunyi “seolah-olah ilmu tentang hati hanya berbicara tentang keikhlasan.” Sedemikian pentingnya keikhlasan, sampai-sampai ia menjadi primadona dalam konstelasi ilmu hati. Lantas, apa yang ada dalam benak kita tentang keikhlasan?

Meskipun begitu banyak literatur yang menerangkan tentang keikhlasan, tak bisa kita pungkiri bahwa begitu sering kita dicekoki oleh pemahaman yang mempersepsikan keikhlasan secara salah. Ikhlas seringkali disetarakan dengan “rela.” Penyetaraan ini menjadi tidak tepat karena sebenarnya “kerelaan” hanyalah salah satu aspek dalam makna ikhlas. Pada kesempatan lain, ikhlas sering juga dipersepsikan dengan makna “sedikit”. Persepsi ini acapkali kita jumpai dalam aktivitas pemberian sedekah. “Berilah sedekah seikhlasnya,” demikian ungkapan yang akhirnya diterjemahkan sebagai “berilah sedekah meskipun sedikit.” Persepsi lain yang kurang tepat adalah ikhlas dipahami sebagai sikap mental yang menunjukkan ketidaksungguhan. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan “Silakan bantu/kerjakan seikhlasnya.” Pernyataan ini sama saja dengan izin (atau bahkan menjadi sumber motivasi negatif) dari si pembuat pernyataan kepada orang yang dituju untuk “membantu” atau “mengerjakan” secara sembarangan atau tidak optimal. Dengan demikian, penambahan imbuhan “se-nya” pada kata “ikhlas” telah benar-benar mendegradasi makna ikhlas itu sendiri.

Terlepas dari persepsi-persepsi yang kurang tepat seputar keikhlasan, entitas ini memang berada dalam ranah transendental yang definisinya tak selalu mudah dipraktikkan sehingga persepsi-persepsi itu hadir—mungkin—sebagai “solusi praktis” dalam menerjemahkan istilah “ikhlas.”

Akar kata dari “ikhlas” bermakna “bening, tidak ada noda yang tercampur sedikitpun”. Selanjutnya, secara istilah ”ikhlas” diartikan sebagai pengharapan terhadap ridha Allah semata dan tidak mengiringinya dengan pengharapan terhadap ridha dari selain Allah, apalagi hanya mengharap ridha dari selain Allah. Oleh karena itu, wajarlah jika lawan dari sifat ikhlas disebut juga syirik kecil, yakni ketika kita menyandingkan makhluk sejajar dengan Allah sebagai pihak yang dimintai keridhaannya.

Saudaraku,

Ada sebuah pertanyaan mendasar terkait dengan pengharapan terhadap ridha Allah : seperti apa aktivitas ”mengharap ridha Allah”?. Jawaban yang paling mudah adalah kita berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari sifat riya/pamer dan hanya mengharapkan pahala dari Allah semata. Selanjutnya kita pun berulang-ulang kali membangun persepsi dan memotivasi diri sambil berkata dalam hati : ”Saya melakukan ini hanya karena Allah, bukan karena ingin dilihat atau dipuji orang lain.” Dalam rangka mendukung ikhtiar ini, kita yang belajar ikhlas pun berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan kebaikan yang kita lakukan agar tak diketahui khalayak ramai.

Semoga kita tidak puas hanya dengan berdoa dan menyembunyikan kebajikan yang kita lakukan. Semoga kita tidak memisahkan konstelasi ikhlas dari konsep ikhtiar, yakni bersungguh-sungguh, berprestasi, dan profesional dalam beramal. Ha inilah yang tampaknya perlu disemarakkan lebih baik lagi dalam konteks belajar mengikhlaskan hati. Ikhlas harus pula identik dengan upaya bekerja keras dan cerdas sebagai efek positif dari niat yang lurus karena demikianlah yang dituntunkan Allah swt. Ikhlas itu bukan sekedar pasrah, sekedar bersembunyi ketika mengerjakan kebaikan, dan sekedar berdoa, lalu berdiam diri sembari menunggu hujan emas turun dari langit.

Bekerja keras dan cerdas secara profesional sesuai dengan karakter amal yang kita lakukan adalah juga sumber keridhaan Allah swt sehingga aspek-aspek ikhtiar ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari makna ikhlas itu sendiri. Seorang guru boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apabila ia tidak menyiapkan materi dan silabus pengajaran dengan sebaik-baiknya. Seorang pembantu rumah tangga boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, ketika ia tidak berupaya memisahkan pakaian yang luntur dari pakaian yang tidak luntur pada saat mencuci pakaian. Seorang pegawai boleh jadi belum sempurna ikhlasnya ketika tidak berupaya optimal untuk mencapai target pekerjaan yang telah ditetapkan. Seorang pelajar boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apabila ia bermalas-malasan dalam mengerjakan tuga-tugas sekolah. Jadi, ikhlas itu sesuatu yang dinamis, bergerak, dan prestatif.

Terkait dengan kedinamisan implementasi keikhlasan, tampaknya kita perlu sedikit membahas perihal keutamaan menyembunyikan amal kebajikan. Menyembunyikan amal memang menjadi bentuk upaya mengikhlaskan hati. Namun, hal ini tidak serta merta menghadirkan logika bahwa jika tidak menyembunyikan amal, berarti tidak ikhlas. Muhammad bin Shalih Al-Munajjid dalam bukunya yang berjudul ”Silsilah Amalan Hati” mengutip pendapat Ibnu Qudamah dan kemudian merincikan prinsip-prinsip dalam memperlihatkan dan menyembunyikan amal sebagai berikut :

- Amal perbuatan yang dianjurkan oleh sunnah untuk dikerjakan secara rahasia hendaknya

dikerjakan secara rahasia.

- Amal perbuatan yang dianjukan oleh sunnah untuk dikerjakan dengan terang-terangan,

hendaknya dikerjakan dengan cara terang-terangan.

- Amal perbuatan yang dapat dilakukan, baik secara rahasia maupun terang-terangan, jika orang

yang bersangkutan termasuk orang yang kuat menanggung pujian orang lain atau celaan mereka,

maka bagi dia boleh dilakukan secara terang- terangan. Akan tetapi, jika dia termasuk orang yang

tidak kuat menyangga hal tersebut, maka hendaklah dia mengerjakannya dengan sembunyi-

sembunyi. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika jiwa seseorang kuat untuk

menghindar dari riya’, tidaklah mengapa baginya jika menonjolkan amalnya, karena

sesungguhnya dalam keadaan seperti itu hal yang lebih baik adalah dengan menonjolkannya,

agar dapat diteladani oleh yang lain.

Dari paparan Al-Munajjid di atas, kita bisa memahami bahwa memperlihatkan atau menyembunyikan amal bukanlah parameter absolut keberhasilan kita dalam mengikhlaskan hati, melainkan tetap hanya sebagai usaha untuk meraih keikhlasan itu sendiri. Oleh karena itu, tak selayaknya kita merasa cukup seolah-olah berada dalam zona aman ketika kita sudah ”berhasil” menyembunyikan amal kita. Jika kita demikian, jadilah kita pribadi yang statis dan belum tentu juga Allah menilai kita sebagai manusia yang ikhlas. Kita harus bergerak, melatih diri, dan terus berusaha agar semakin hari semakin kuat menanggung pujian atau celaan sehingga niat yang hadir sejak awal tetap lurus ketika memberikan contoh teladan yang baik melalui sebagian amal kita.

Keteladanan yang dapat kita contohkan melalui amal-amal kita adalah poin prestasi tingkat berikutnya dari implementasi keikhlasan karena hal ini menunjukkan kita tidak sedang memikirkan diri sendiri, tetapi juga sedang memberikan manfaat bagi orang lain. Adalah prestasi yang lebih hakiki, ketika kita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungan kita, daripada sekedar menjadi pribadi yang berprestasi untuk kepentingan diri sendiri.

Saudaraku,

Di atas semua rangkaian kata yang terjalin ini, Al-Munajjid menuturkan bahwa sesungguhnya ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya, tiada yang mengetahuinya, baik malaikat pencatat amal perbuatan maupun syaithan yang berupaya merusak amal sang hamba. Bahkan, kita pun mungkin tidak yakin seratus persen bahwa setiap niat yang terbetik sejak sebelum amal, pada saat beramal, dan setelah amal, benar-benar terjaga kemurniannya. Inilah jua yang menjadi pelajaran bagi kita dalam konteks dinamika dan progresivitas keikhlasan, yakni tiada alasan bagi kita untuk ”puas” dan merasa ikhlas. Kita harus terus berlatih untuk meraih keikhlasan yang lebih baik. Anggaplah kehidupan ini sebagai sarana untuk berlatih ikhlas sepanjang masa, sehingga kita kita terus bergerak, dinamis, dan prestatif. Aamiin.

PANACEA OF STATE-OWNED ENTERPRISES ILLNESSES; PRIVATIZATION?

Zaki Mubarak

Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Jakarta Selatan


Backgrounds


In 1945, Indonesia proclaimed its independence. It was not an ultimate struggle; but rather a new chapter of long series to realize what society dreams; independence from any colonialism, peace, fairness, better life and welfare. As a new country, bundles of problems are waiting to be solved, from sovereignty to social and economic crises. One of the important problems in the integrity areas is West Papua’s claim. Besides that, colonialist companies still have deep influenced in national economic activities.

Those problems are closely related because they are covered in agreements in Round Table Conference. Indonesia wants to solve West Papua problem using diplomacy. One of the clauses was government of Indonesia must respect the legality of foreign companies existence, especially Dutch companies.

As time goes by, negotiation became worst, so did the relationship between Indonesia and Netherland. In November 1957, President Soekarno announced West Papua integration to Indonesia, because United Nation failed to make resolution to appeal Dutch to make negotiation with Indonesia for the problem (Moeljono, 2004: 3). On December 1st 1957, government of Indonesia officially announced 24 hours strike against Dutch companies in Indonesia. This action was the beginning of a massive nationalization of Dutch companies (Kanumoyoso, 2001: 31).

In order to develop national economic, government started to establish some companies to overcome Dutch companies domination as well as taking over Dutch companies which have related to public utilities. Its process was also an implementation of political sovereignty that has already been reached (Kanumoyoso, 2001: 45). State-Owned Enterprises (SOEs) taken over came from UK, Malaysia and Singapore companies (Diah, 2003: 10). According to Oey Beng To, besides taking over, anti Dutch was also implemented by Dutch citizen eviction. In early December, Minister of Justice announced that 50.000 Dutch citizens would be evicted or returned in three steps (Kanumoyoso, 2001: 65).

Up to now, there have been two perspectives in evaluating background and process of Dutch companies taking over. First, an opinion according to Audrey R. Kahim and George McT. Kahim, which states that taking over phenomenon of Dutch companies is a case which is unplanned before. This perspective followed with no government regular programs in the actions. Second, is according to Paul F. Gardner, starting that government was behind the action. A scenario was arranged, where angry people were taken away by force whereas the facilities later on placed under the government in protection. Quoted from Louis Fischer, this perspective was strengthened by President Soekarno stating, that those take over were initiated by people themselves (Kanumoyoso, 2001: 68-69). The strongest support to take over came from labour class. Moreover, there has appraisal that actions not to distinct as nationalization action because it showed vague attitude from government (Kanumoyoso, 2001: 80).

According to Bisuk Siahaan, those companies, then, were grouped according to the mission. The companies that deem important for public was taken over by central government (Kanumoyoso, 2001: 94). With the new companies, state began to take more parts to determine the way of economic life. But the action did not guaranty to fix the economic directly, because the challenge was quite big. Nation Planning Bureau reports about five years development realization showed national income decreased up to 12,9% in 1958 (Kanumoyoso, 2001: 99-100).

Basically, SOEs were established as implementation of The Constitution of 1945 article 33 about national economic system. The certainty in The Constitution article 33 about national economic system was reflection of nationalism and curiosity of the nation based on spirit and original culture of the nation (Diah, 2003: 60). The Constitution of 1945 state that national economic actors consist of three business forms; private, SOEs and cooperative (Moeljono, 2004: 1). The aim was to make social welfare based on national economic systems that run with spirit of family atmosphere without individual monopoly except state monopoly of public utilities.

The man behind the scene of that article was Mohammad Hatta. According to Ruslan Abdulgani, as Indonesia independence proclaimer with Bung Karno, Mohammad Hatta formulated The Constitution 45… Especially article 33 was his thought and formulation… (Diah, 2003: 77). The characteristic of Indonesia economic system that has the quality of socialism was stated in his speech in Bukit Tinggi in 1932 (Diah, 2003: 78).

In 1969, at Soeharto’s regime, the government issued Decree number 9 which groups the SOEs into three forms:

a. State Corporation (PERJAN) is SOEs which operate in public services supply. The capitalization includes in National Budget and managed by related Department and also the status has correlation to public law Indonesische Bedrijven Wet (IBW) and Indonesische Compabliteits Wet (ICW).

b. Public Corporation (PERUM) is SOEs which operate in services supply to public utilities and also to gain profit. All capitalization from state rich came from the state’s wealth that is separated and also legal body status of the firm and arranged based on Decree.

c. Limited Liability Company (PERSERO) is profit oriented SOEs, operated in many fields propelled grow of private sectors or cooperative, outside of State Corporation (PERJAN and Public Corporation (PERUM) fields. All capital or some from state rich came from the state’s wealth that is separated and divided from shares and also civil legal status of the firm which is Limited Liability Company (PERSERO) formed (Diah, 2003: 184-185).

In 2003, government issued Decree number 19 which groups the SOEs into two forms; Public Corporation (PERUM) and Limited Liability Company (PERSERO). According to Cristianto Wibisono, basically, the growth of SOEs is divided into four periods:

a. Before Independence

In this period, SOEs are managed by IBW and ICW regulations. This period has 20 SOEs submitting to IBW that operate in many economic fields including electricity, coal, lead, harbor, pawnshop, salt, plantation, limited liability company, railway and topography.

b. 1945-1960

Besides SOEs above, in this period there were some SOEs that include State Bank Industry, Sera, Vaksin, PT. Natour Ltd. Considering the important of SOEs existence in development and West Papua liberation from Dutch colonialism, based on Government Regulation number 23 year 1958 was nationalization action to ex Dutch private companies in Indonesia. Companies that nationalized were operated in almost state economic sectors including banking, plantation, trade and service.

c. 1960-1969

As result of nationalization, in 1960-1969 all SOEs totally 822 companies. That total was rearranged, until 1989 the decrease became around 200 companies.

d. 1969 until present

After 1969, SOEs have the role to support National Development more and to increase the development activity since five years development (PELITA) I… (Diah, 2003: 186-187).

Phases were through by SOEs in order to adapt the world dynamics. The government has made some policies to make ideal SOEs form to make them involve and give significant contribution in development process that spur with world changes.

The changes in the world have been influenced by human being activities. The growth of technology makes everything easy now: transportation, communication, economic transaction, etc. The effect is that the world become borderless and economic activities more aggressive. Some classic economic theories have transformed to new methods in order to adapt to globalization era. Battles of two mainstream ideologies, socialism and capitalism, have done along with collapse of Soviet Union. The collapse of Soviet Union and almost all socialist countries was a sign that the capitalism was single choice for world economic system, such statement is accordance with Francis Fukuyama premise in 1992 (Moeljono, 2004: 52).

The globalization of the economy propelled government all over the world to resort to structural adjustments at the political level. Various measures toward liberalization, deregulation and privatization aim at facilitating the shrinkage of the state on the other hand, and empowering of citizens on the other. The purpose of these reforms is to shift the focus from a bureaucratic model of public management to a market model (Gupta, 2000: 2).

Privatization can be defined broadly as relying more on the private institutions of society and lees on government to satisfy people’s needs. It is the act of reducing the role of government or increasing the role of the other institutions of society in producing goods and services and in owning property (Savas, 2000: 3). The intellectual for privatization was laid by Milton Freidman. Privatization was first suggested in 1969 (and the word, in the form reprivatize, was first used) by the Austrian-born American management professor Peter F. Drucker (Savas, 2000: 15).

The elections of Margaret Thatcher as prime minister of Britain and Ronald Reagan as president of the United States, in 1979 and 1980 respectively, gave high visibility and a pronounced ideological impetus to what became the privatization movement (Savas, 2000: 15). In the 1980s many industrialized Western nations, stimulated by the British example, embarked on privatization programs and so did many developing nations, the latter pushed in part by Western donor nations and by international agencies that had grown impatient with the poor performance of state-owned enterprises that they had previously financed (Savas, 2000: 16). The same very instructions are now keeping on developing countries to privatize their public sector enterprises before applying for loans (Gupta, 2000: 4-5). In this case, Indonesia is one of developing countries which bagging and did what the instruction to get some loans from International Monetary Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), etc.

In 1996, Indonesia government debt reached US$ 55,3 billion, increase by 75,5% from government debt in 1986 (US$ 31,5 billion). President Soeharto was driven some ideas to pay it. One of his ideas was make good use of SOEs. He said that Indonesia shouldn’t worry with the international debts because SOEs values were bigger than government debts (Moeljono, 2004: 8).

Privatization is one familiar word in the last two decades in SOEs management in many countries including Indonesia. Because of those reason above, privatization policy invited many polemic and resistant in the society. In fact, government already did it in many strategic SOEs and still arrange to the other. Under President Megawati Soekarnoputri government was issued Decree number 19 years 2003 about SOEs… It was first Decree in Indonesia which gave explicit basic law to privatization implementation (Rais, 2008: 188). Like possessed by an evil spirit, signs of SOEs privatization in 2008 are more real. SOEs privatization committee already made list of 44 SOEs are going to sale… (Rais, 2008: 226). It does not make sense, how could the government take the policy?

Based on the illustration, privatization is a policy which betrays the aim and spirit of The Constitution article 33. Next questions are; why did government did it and still does it? What are the objectives behind the policy?

A Bundle of Problems

Our history showed how our founding fathers were very concerned to realize the purpose of the state, fair and wealth society, through their thought and heroic actions. By SOEs establishment, every strategic source of public utilities must be managed under state management and use it for the society prosperity. Besides that, the aim is to avoid monopoly by private or foreign company that lead the make society suffer because the orientation is profit to enrich individual or group.

The world dynamic and the reality have been weakening the purposes. SOEs management was not capable at bringing and giving the best service to society and gaining profit for state treasury. In fact, many SOEs become the state’s burden with the subsidies and debts because of the failure of the management. More than three decades from national independence in the growing world, enterprises which owned by state already was made confused of subsidy cost, burden for the government. SOEs that made loan to international market substantially increasing whole national debts (Wahyuni, …: 6). There are some factors which caused it, such as management failure, intervention and corruption.

From the beginning, there have been a lot of management problems from recruitment mechanism, red tape, accountability, corporate culture, etc. In management, human resource is key factor in order to improve the companies. Quality and quantity influence the achievement of vision and mission. What if it is weak? Surely, vision and mission of the enterprise never been reached. Ironically, many of new employees accept to work in SOEs without proper mechanism. They become employee by recommendation from their relatives or the senior official government that already work there. They joined without test even though it has just formality. So the enterprises had no idea of their own employees capability.

Red tape was one of many management problems that gave bad influence to SOEs. Because of it, there have a lot of inefficient and ineffective work that made low performance. Bureaucracy chain also made any policy hard to implement because it must go through many mechanism. That’s why SOEs are often late to take decision to adapt to the environmental changes and to compete in tight competition. Besides that, innovation could not grow because the mechanism inhibits it. With that performance, it is impossible for SOEs to gain amount of profit.

To make SOEs compete and grow to be multinational enterprises, one of the key is accountability. It is obligatory in globalization era to reach people’s trust. In the past, even nowadays, people haven’t had access about information the SOEs profit or loss. They just knew that SOEs always get subsidy from state for operational budget or they have loan to international organization. It also prevents from and avoids SOEs from corruption.

Besides vision and mission, a good enterprise, in this case SOEs, must have corporate or enterprise culture and some SOEs already have it like BRI, Telkom, etc. Based on it, whole activities in the enterprise must relate to it. According to Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington, culture determine progress of every society, state, and nation in the world, either consider from politic, social or economic, without exception (Moeljono, 2004: 78). Generally, corporate culture is philosophy question, functioning as pursuit which fasten the employees because formally it is formulated in every company regulation and stipulation (Moeljono, 2004: 80).

Corporate culture is one of the important factors for a company, in this case SOEs, to reach productive performance (Diah, 2000: 173). Long bureaucracy chain and feudalism are still formal structure in SOEs environment (Diah, 2000: 174). That’s why SOEs are hard to get maximum performance. That culture grows in the former regime and is integrated in SOEs employee and management paradigm and attitude then become characteristic. The core of corporate culture is a guidance to act in order to reach vision and support the mission.

Moving from some SOEs management problems, next problem are intervention and corruption. It comes from the regime which manages the state. Those tends to break the rules, for individual or group interest and later on weaken SOEs. With the power that they have, government and political party where they come from, misuse it and make SOEs as their cash cows. Automatically, the authority of SOEs management was hijacked by them and made SOEs weak day by day. The worst was in the privation policy. They involved and used their power to gain profit.

For instance, an analysis of privatization programs and policies in ASEAN (Thailand, Philippines, Indonesia, Malaysia, and Singapore) reveals the role played by the government in changing the pattern of the ownership in these societies. In these countries more and more politicians got into the business of privatization, and business terminology began to permeate the political horizon. Privatization became a means toward personal enrichment. For instance, we find an alliance between the political leaders and conglomerates in Indonesia – the former supplying licenses, import monopolies and contracts to the letter (Gupta, 2000: 7).

According to the GOPAC Handbook on Controlling Corruption, corruption is seen as the abuse of public position for private, individual or group to whom one owes allegiance. It occurs when public official accepts, solicits, or extorts payments, or when private agents offer a payment to circumvent the law for competitive or personal advantage (Rais, 2008: 178). …corruption type which super destructive and state scale is state-captured corruption. It runs by state, the state pawning to foreign corporate power by the government that in charge (Rais, 2008: 180).

Foreign enterprise was intervened made of any blueprint script of Decree, Governmental Regulation, Presidential Regulation, etc. That is the most sophisticated way and does not seem vulgar because they are rarely detected by public or mass media… Once again, this is what called state-captured corruption (Rais, 2008: 214). Revrisond Baswir said “That the majority of our Decrees are created by them. For instance Decree of Oil and Natural Gas, there clearly shows the role of World Bank, Decree of SOEs in which Price Waterhouse Cooper plays part, Decree of Electricity – here again we can be find Asian Development Bank’s part. Here, they also play part (Rais, 2008: 214). Ironically, SOEs was interventions by government and the government was interventions by international power, either organizations or corporations.

Basically, privatization policy was IMF, World Bank and WTO recommendation that known as Washington Consensus. According to John Williamson, he formulated the similarity of that view into ten steps of economic improvement to countries which have crisis and then those steps or the recommendation known as Washington Consensus. Ten economic recommendations which popular as Washington Consensus (Rais, 2008: 15):

1. free trade

2. stock market liberalization

3. flow exchange rate

4. interest nominal determined by market

5. market deregulation

6. transfer asset from public sector to private sector

7. tight focus in public expenditure in many social development target

8. balanced budget

9. tax reformation

10. protection of proprietary rights and creation rights

Now we know why government did privatization program and still does that. What about the objectives behind the policy?

If the privatization program was conducted in a right and proper way, it could make significant change to better off SOEs management. But the fact is very terrible. Privatization become the way to reach individual or group interest, enrichment, international acknowledgement in international relation, prove the loyalty to international economic mainstream or the worst it is just as a servant of global economic and politic power.

Fuad Bawazier shows our less of intelligence, which is: foreignization process impression as globalization and modernization achievement (Rais, 2008: 160). Government realizes that as a developing country, especially as a country that has a lot of debts to international donor, Indonesia must ponder and obey the rule and requirement to get another loan.

How could it happen? It means the government runs and strengthens that policy which already has betrayed society mandate and The Constitution 1945. The result is that government sells the state gradually from SOEs to foreign company. Tragically, the target of the privatization is strategic and prospective SOEs that manage public utilities and state needs. That has an opportunity to harm the society life and sovereignty of the state.

Paradigm and Work Frame Change

The establishment of SOEs has been through a long process until now. Our founding fathers took over colonialist companies and changed them to SOEs to avoid monopoly and domination of foreign companies in public utilities. So they are managed only by the state. SOEs also established to gain profit to treasury state. Those aims also support The Constitution of 1945 especially article 33. With all instruments, state must fulfill society needs of goods and services. Above of all, SOEs established as instrument to realize welfare society and state and also to avoid capitalism effect.

As time goes by, the aim of SOEs become blurred because of many factors: like management failure, intervention and corruption. Every regime couldn’t develop SOEs to professional enterprise but use it as their money machine. The result is SOEs management become worst and state burden. Tragically, President Soeharto said that SOEs can be used to pay state debts.

After economic crisis, Indonesia wound of debts to international donor. The donor (IMF, World Bank, WTO, known as Washington Consensus) have some criteria and requirements to give loan for every country, including Indonesia. One of that is privatization program. Beginning from that, many prospective and strategic SOEs already sold to foreign company in irrational price without limitation of share owning.

Besides the loss the SOEs, state sovereignty was ripped because government has not had the authority to take of a decision and manage the state. All conditions must be appropriate to the donor economic formulation to cure the crises. Besides selling the SOEs, government must stop subsidy for some vital commodities and liquidate Logistic Body (BULOG). After few years, the result was disappointing, social and economic sectors never cure even worst.

Privatization is committing of treason of The Constitution article 33. From the beginning, Decree number 19 year 2003 was made to support liberalization and globalization trade that agreed by international community, including Indonesia, such as agreement of WTO, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Service and Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). In Chapter One, Article Two, Point One states that all or at least 51% shares of SOEs in limited liability company (PERSERO) firm is state own. But in point twelve stated that privatization is sells of limited liability company (PERSERO) share, even a part or all to other side in order to increase the performance and the corporate value… also to spread the share ownership to society.

Privatization by salling SOEs share is without limit and irrational prices are not the only solution to cure SOEs illnesses. If we take example from development countries, the society is already wealthy so they can buy the share. But for Indonesian, it is impossible because the society must survive from the crises. That’s why SOEs share bought by foreign company.

Tragically, political elites have different perspective of privatization. They though by sell the majority share of SOEs, the ownership change to foreign company that absolutely has many expert and better management than local company. That is clearly astray thought. The case of Indosat and Telkomsel is factual prove. The government sold it to Tamasek, Singapore’s company, with low price on the other side those company in good performance and very strategic for telecommunication and state defend. They promised that they would bring it to become better company with good management and would local employees take training in Singapore to increase they ability. The fact, Tamasek makes monopoly telecommunication price, the management never changes to become a good management and never sends employees to take training in Singapore.

Government must be wise and not be in hurried to take decision. Like a doctor, government must diagnose the illnesses, find the cause, categorize the illnesses and then give the prescription. After that, the government explains how to use the dose that must be consumed and it also monitors the progress. That action must cure the SOEs illnesses with less cost rather than trust and obey the psychopath doctor from Washington.

It shouldn’t happen if the government implements serious and has professional paradigm to managed SOEs. Radical way to change that condition its a must. As we discussed previously, there are three main SOEs illnesses that already diagnosed: management failure, intervention and corruption. To cure the illnesses SOEs in management failure is change of old management with implement good corporate governance which is include the structure, system, infrastructure, human resources, technology, culture, etc. The government also can hire some expert to help the management to improve performance.

Good corporate governance already proved empirically to improve company performance in many countries. The frame work of good corporate governance is effective, efficient, transparent and professional to reach the goal. So, the management failure could solve it if the government serious, strict and consistent in implement it.

For intervention problem, even from inside or outside the state, the government must take resolute step for it. First of all, the government must have good political will and brave hart to face all intervention form. Exactly, it comes from leadership quality from first man in this country with his related minister and all political elites in Indonesian Legislative Assembly (DPR) which produce the decrees. Besides that, the government and Indonesian Legislative Assembly (DPR) should make strict regulation or decree that clearly arrange the indicators of intervention and the punishment for that action, including foreign side.

In order to restore state credibility and sovereignty, government must be brave and firm to any intervention from foreign sides, even a company, state or donor. By doing so, government has authority to take the best policy in order to develop society and state to become developed and prestigious country.

Corruption is problem that already became a culture. Like intervention problem, this problem must take serious action and good political will from all elements that related with SOEs. To eliminate it, SOEs must have strict regulation to control finance circulation. In order to prove the validity of finance report, it must investigate by Finance Investigation Bureau (BPK). It is prevented action to avoid corruption because the main action to cure this illness is prevention. Besides that, SOEs must make cooperation with Corruption Abolishment Commission (KPK) as super body to investigate and to get the evidence of corruption indication, even in the past.

If all run well, SOEs could reach people’s trust and get the credibility back. The important one, SOEs would grow and can compete in global competition. On top of that, SOEs can give the best goods and services to society and also become the source of the state treasury. When it all becomes reality, our founding fathers spirit would smile and be proud because their struggle will already pay off.

References:

· Asha Gupta, Beyond Privatization, London: Macmillan Press Ltd, 2000.

· Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

· Djokosusanto Moeljono, Reinvensi BUMN, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2004.

· Erma Wahyuni, et.al., Kebijakan dan Manajemen Privatisasi BUMN/BUMN, Yogyakarta: YPAPI, …

· E.S. Savas, Privatization and Public-Private Partnerships, New York: Seven Bridges Press, 2000.

· Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia (Privatisasi atau Korporisasi), Jakarta: Literata Lintas Media, 2003.

· Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia!, Yogyakarta: PPSK Press, 2008.

22 Juli 2008

PROTESIKLIK

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen dakwah dan Ukhuwah

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur


Hmmmpppphh…Huuufff…. Menarik napas panjang dan melepaskannya sambil melemaskan badan hampir setiap hari kita lakukan. Maksudnya bukan untuk olahraga atau pun bermalas-malasan, tetapi merupakan ekspresi fisik dari ruhani kita yang prihatin. Prihatin merenungi dosa-dosa sendiri dan prihatin melihat orang-orang yang senangnya bermain saja.

Kita melihat para pemimpin negara yang senangnya bermain dengan kekuasaan. Sebelum terpilih, mereka meyakinkan diri dengan slogan-slogan penuh semangat, seolah berusaha menghangatkan rakyat dengan cahaya ketulusan hati mereka. Mereka yakin, sebagian rakyat pun yakin, sebagian lagi meragukan, dan sebagian lagi apatis alias masa bodoh.

Kita tak boleh berburuk sangka kepada mereka, dengan terburu-buru menganggap janji-janji mereka hanya dagelan semata. Namun, boleh jadi kita merasa lelah, karena sudah berulang kali kita menelan pil janji pendahulu mereka yang terasa pahit. Karena itulah, mari kita doakan saja mereka agar tak melupakan kata-kata mereka sendiri. Meski berat, ayo kita kuatkan langkah mereka dengan doa dan kepercayaan kita. Semoga itu menjadi setitik harapan agar Allah swt menjaga mereka dalam amanah dan menerangi jalan mereka dengan cahaya petunjuk-Nya.

Demikianlah kecenderungan fisik manusia. Manusia semakin lapar ketika semakin banyak makan dan semakin haus ketika semakin banyak minum,…dan semakin miskin ketika semakin banyak harta yang dimiliki. Ketidakpuasan, inilah satu-satunya frase yang dikenal oleh aspek tanah diri manusia. Aspek tanah ini tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan hanyalah dimiliki oleh aspek langit dalam diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa fenomena pergeseran aspek langit ke aspek tanah dalam diri manusia telah lama menjangkiti manusia, mulai dari rakyat biasa hingga para pemimpin mereka. Karena para pemimpin yang sering tampil di depan publik, maka fenomena pergeseran itu lebih sering dikaitkan dengan tingkah laku mereka.

Sebelum menjadi apa-apa, ketika masih berlomba meraih kemenangan, dan pada momen-momen awal setelah sumpah jabatan itu terucap, (mungkin) hanya aspek langit-lah yang menyelimuti jiwa dan raga mereka. Seiring waktu berjalan, para syaithan semakin gencar mengadu domba antara aspek tanah dan langit dalam diri mereka. Sebagian dari mereka takluk hingga aspek tanah yang disponsori syaithan berhasil menginjak-injak aspek langit. “Dunia” mereka telah berbalik, bukan lagi “tanah yang beratapkan langit”, tetapi “langit yang berlangitkan tanah”. Langit mereka tidak lagi berhiaskan bintang, tetapi malah berhiaskan binatang tanah. Mulai saat itulah, berbagai penyimpangan tinggal menunggu waktu untuk dikuak, diprotes oleh mahasiswa, dihujat, dan dijebloskan ke penjara (kalo hakimnya tidak “kasihan” sama mereka). Kasihan para pemimpin, karena tidak ada yang mengasihani mereka setelah itu…

Saya jadi berpikir, betapa “membosankan”-nya realita itu. Saat muda dan masih mahasiswa, mereka mengumbar idealisme putih dan panji-panji kebenaran. Saat mapan dalam kekuasaan, idealisme itu luruh perlahan dan panji kebenaran pun jatuh dari genggaman tangan. Kemudian, mereka diprotes oleh anak-anak muda yang tak lain, adalah gambaran diri mereka di masa lampau. Apakah nanti anak-anak muda yang memprotes mereka akan juga diprotes oleh para mahasiswa masa depan? Pertanyaan yang menyedihkan ini seolah menjadi penegas bahwa rantai siklus protes (protesiklik) adalah suatu keniscayaan. Si A akan diprotes oleh “anak”nya yang bernama Si B. Kemudian, Si B akan diprotes oleh “anak”nya yang bernama Si C. Demikianlah seterusnya hingga hari kiamat tiba.

Mungkinkah kita memutus rantai protesiklik?? Sebelum menjawab ini, saya mencoba memosisikan diri sebagai pihak yang melakukan protes dan pihak yang diprotes. Jika saya menjadi pihak yang melakukan protes, maka kehidupan saya relatif “lurus”, apa adanya, dan tidak disibukkan dengan berbagai polemik, siasat, dan kepentingan sana-sini yang bernilai ratusan juta rupiah atau bahkan lebih. Singkatnya, saya tidak perlu berpusing-pusing ria dengan segala fitnah yang membuat mata menjadi “hijau”. Saya pun merasa bisa menjaga diri dengan kadar keimanan yang “segini” dan kalaupun berbuat dosa, umumnya tidak sampai terjerembab ke jurang korupsi dan kolusi yang merugikan rakyat banyak serta bermewah-mewahan seraya berdiri di atas kepala kaum dhuafa.

Hmm… selanjutnya saya membayangkan jika saya menjadi pihak yang diprotes. Otak saya tidak hanya penuh dengan janji-janji dan program-program yang begitu mulia, tetapi berseliweran pula di sekelilingnya, lintasan-lintasan hati yang berwujud jutaan lembar kertas persegi panjang bergambar George Washington atau Ki Hajar Dewantara. Aahh…berat sekali rasanya otak ini. Godaannya sungguh ruaarrr biasa. Saya pun membatin: Kalau saya masih punya kadar keimanan yang cuma “segini” dan tetap “segini” saja, mampukah saya mempertahankan janji dan program-program mulia itu di otak saya? Mampukah saya menahan diri agar tidak tergiur dengan jutaan rupiah dan dolar itu? Tidaaaak, tidak mungkin!

Sebelum saya menjadi penguasa, mungkin nilai godaan itu cuma 5 dalam skala 10 dan keimanan saya pun kira-kira bernilai 5 sehingga kondisinya cukup ‘aman’. Namun, saat ini, ketika pangkat dan kekuasaan bertumpuk di pundak saya, nilai godaan itu melesat hingga 10, dan keimanan saya masih bernilai 5 atau bahkan turun drastis setelah kalah telak dalam perang melawan syaithan. Secara matematis saja, jelas tidak mungkin bagi saya untuk mempertahankan idealisme saya sendiri. Lebih lagi, perkara godaan dan iman sebenarnya tidak bisa di-matematiskan sehingga mungkin nilai godaan itu jauh lebih besar dan keimanan itu jauh lebih rendah lagi.

Dari sinilah saya memikirkan dua hal terkait dengan upaya memutus rantai protesiklik. Pertama, bahwa kita harus lebih arif dalam mengkritisi dan memprotes para penguasa/pejabat. Ketika mengkritik atau memprotes, maka sebenarnya tanggung jawab terbesar dari kritik dan protes itu kembali ke diri kita sendiri: apakah kita mampu menjaga diri agar TIDAK menjadi SEPERTI MEREKA pada saat kita mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan mereka kelak? Pertanyaan ini secara logis sangat mudah dijawab oleh kita. Kebanyakan kita pasti menjawab “SUDAH” atau “YA” saat ini, tetapi nanti? Apakah kita tetap menjawab dengan jawaban yang sama?

Kedua, bahwa kesadaran kita untuk memegang dan menjaga amanah kepemimpinan dan kekuasaan tidaklah berada dalam konstelasi logika. Siapa di antara para penguasa itu yang belum tahu bahwa korupsi itu adalah suata dosa? Kemudian, siapakah di antara mereka yang tidak diajari oleh ibu kandung mereka bahwa “mencuri itu tidak boleh”? Selanjutnya, adakah di antara mereka yang ketika kuliah diperkenankan oleh dosen mereka untuk saling mencontek saat ujian? Dan, berapa banyak di antara mereka yang belum mengikuti penataran/pendidikan/pelatihan mengenai kepemimpinan yang baik dan benar? Meskipun mereka cerdas, intelek, dan bahkan ada juga yang pintar ilmu agama, ternyata itu semua tidak menjamin bahwa mereka tidak akan mengkhianati kepercayaan rakyat. Jelas sudah, bahwa kekuatan logika bukanlah satu-satunya kekuatan, bahkan seringkali tak berdaya, dalam membangun kesadaran menjaga amanah. Akal yang mengharamkan pengkhianatan tidak akan berdaya dan akhirnya menunduk patuh pada Hati yang memerintahkan kita untuk berkhianat.

Lantas, konstelasi apakah yang melingkupi dan mengendalikan kesadaran untuk menjaga amanah? Saya yakin Anda dan kita semua sudah tahu, dialah konstelasi keimanan. Konstelasi keimanan terkait dengan rendah atau tingginya keimanan dalam hati kita. Ketika iman kita sedang rendah, maka peluang berbuat dosa pun semakin besar. Sebaliknya, saat keimanan kita memuncak, maka pintu perbuatan dosa semakin merapat dan amal shalih pun mudah tercipta. Karena itu lah, kita semua yang akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, berkewajiban mengorientasikan diri agar grafik keimanan kita terus menaik positif. Keimanan adalah nutrisi bagi pohon diri kita yang terus tumbuh tinggi menjulang agar tetap lurus ke atas dan kuat menahan angin godaan yang semakin kencang.

Jadi, mungkinkah kita memutus protesiklik? Mungkin saja, jika kita bertanggung jawab atas kritik dan protes yang keluar dari mulut kita sendiri. Refleksi dari tanggung jawab itu adalah sejauh mana kita merapatkan diri selalu dalam konstelasi keimanan.

Saudaraku,

Kita harus terus berlatih untuk sadar bahwa keimanan berada di hati. Hati adalah raja diri, tempat segala keputusan akhir mengenai tingkah laku kita bermuara. Apapun yang diminta oleh Akal dan yang dihasut oleh Syahwat, hanya akan terbukti dalam perbuatan setelah Hati memberikan atau tidak memberikan “cap” persetujuan. Kita lah yang memilih siapa yang akan menggerakan Hati kita, apakah keimanan atau syaithan. Semoga kita dimudahkan oleh Allah SWT.

Wallahu a’lam...

KEKUATAN DOA

Oleh:

Ir. Naba Aji Notoseputro .
(
Direktur Akademi- akademi BSI)

Suatu waktu ada sebuah pesawat tempur dengan 2 (dua) orang pilot yang sedang terbang di atas laut tiba-tiba saja mengalami kerusakan mesin. Secara cepat pilot kemudian berupaya mencari pulau terdekat untuk mendaratkan pesawat tersebut. Akhirnya dengan susah payah, pesawat tersebut berhasil mendarat di laut dan kedua pilot berenanglah menyelamatkan diri menuju pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Kedua pilot yang selamat tersebut tak tahu apa yang harus dilakukan karena seluruh peralatan yang ada telah rusak terendam air. Namun keduanya yakin dan percaya bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Allah. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling ‘makbul’ (dikabulkan), kemudian mereka sepakat untuk untuk saling berpisah menjauh menuju sisi-sisi pulau yang saling berseberangan.

Setelah beberapa hari menunggu di sisi-sisi pulau yang saling berjauhan dan menunggu bantuan atau tim penolong tiba, mereka mulai merasakan lapar dan haus yang amat sangat. Kemudian pilot pertama mulai berdoa agar ia diberikan makanan. Tanpa disangka keesokan harinya, begitu pilot pertama bangun ia telah mendapatkan sebuah pohon yang penuh dengan buah. Tetapi, nun jauh disisi pulau yang lain pilot kedua tidak merasakan hal tersebut.

Setelah mengetahui bahwa Allah maha mengabulkan, kemudian pilot pertama mulai berdoa memohon untuk diberikan makanan, pakaian, rumah dan segala macam yang ia butuhkan. Keesokan harinya, seperti ada keajaiban saja, maka semua yang ia minta telah tersedia dihadapnya. Sedangkan pilot yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.

Akhirnya, dengan sangat khusyu bercampur haru pilot pertama mulai berdoa agar ia diselamatkan dari pulau tersebut untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Pagi harinya ia telah mendapatkan sebuah sampan tertambat di sisi pantai, lengkap dengan perbekalannya.

Segera saja pilot pertama segera naik ke atas sampan dan bersiap-siap berlayar untuk meninggalkan pulau tersebut. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan temannya (pilot kedua) di pulau tersebut.

Menurut pilot pertama, memang temannya tersebut (pilot kedua) tidak pantas menerima pemberian Allah, karena doa-doanya tidak pernah dikalbulkan. Begitu pilot pertama hendak berangkat, ia mendengar suara menggema dari langit. “Wahai pilot pertama, mengapa engkau tega meninggalkan temanmu di pulau ini?”. Kemudia pilot pertama menjawab, “Berkah-Mu hanyalah untukku, ya Maha Agung, karena hanya doakulah yang Engkau kabulkan. Doa-doa temanku itu tidak pernah Engkau kabulkan, maka ia tidak pantas untuk mendapatkan apa-apa”.

Kemudian pilot pertama kembali berujar, “Katakanlah ya Allah, doa macam apa yang ia panjatkan kepada-Mu, sehingga aku harus berbagi keberkahan dan ridho-Mu atas semua ini kepadanya?”. Kemudian terdengar suara menggema, “Teman mu, hanya berdoa agar semua doa mu dikabulkan”.

Jadi kesombongan dan keserakahan macam apakah yang memuat kita menganggap bahwa hanya doa-doa kita yang terkabulkan oleh-Nya?. Tak selayaknyakah? kita mengabaikan peran orang lain, yang selalu dengan ikhlas berdoa untuk kesuksesan kita. (Renungan Ramadhan).

ILMU DAN IMAN

Mardanih

Kader Pimpinan Cabang

Pemuda Muhammadiyah Jagakarsa


lmu dan iman merupakan suatu kesatuan yang seharusnya tidak terpisahkan, karena apabila suatu ilmu tidak disertai dengan iman maka hal tersebut akan cenderung melampaui batas, salah satu contohnya ialah ketika Darwin mencetuskan suatu teori tentang asal usul manusia yaitu pada asalnya manusia itu berasal dari kera, hal tersebut jelas-jelas apabila dilihat dari kaca mata iman merupakan suatu penyimpangan yang melampaui batas.

Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan fitrah yang bersih dan mulia di dalam diri setiap manusia, kemudian melengkapinya dengan bakat dan sarana pemahaman yang baik yang memungkinkan untuk manusia mengetahui kenyataan-kenyataan besar di jagat raya ini. Ilmu yang diperoleh manusia semestinya dapat membuahkan penanaman aqidah dan pendalaman keimanan yang tulus kepada Allah SWT. Keimanan merupakan kebutuhan fitrah setiap manusia di dunia ini disamping merupakan kebutuhan akal manusia. Manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan ini karena ia telah ditanamkan di dalam dirinya, dan manusia sendiri diciptakan dengan fitrah itu dan tidak hanya manusia yang di ciptakan dengan fitrah tersebut tetapi seluruh alam raya ini diciptakan dengan fitrah keimanan kepada Allah SWT.

Dalil atau ayat yang berkaitan dengan hal tersebut terdapat di dalam surat Al-A’raf:172 dan surat Al-Isra: 44:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “mereka menjawab, ‘’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).” (QS Al-A’raf: 172)

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah SWT. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Al-Isra’:44)

Hakikat hubungan antara ilmu dan iman adalah ilmu diikuti oleh iman secara langsung tanpa jeda, dan iman diikuti oleh gerakan hati yang tunduk dan khusyuk kepada Allah SWT. Dengan demikian ilmu akan membuahkan keimanan dan keimanan akan membuahkan kekhusyukan dan sikap taat dan tunduk kepada-Nya. Islam sendiri memerintahkan kepada manusia untuk berfikir (menggali ilmu sebanyak-banyaknya), tapi tentu saja tidak melampaui batas kemampuan manusia itu sendiri, hal tersebut dikarenakan kemampuan manusia terhadap ilmu atau segala sesuatunya ada batasannya atau sedikit, karena yang maha sempurna dan maha mengetahui tentang segala sesuatu di jagat raya ini hanyalah Allah SWT.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu adalah urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS Al-Isra’:85)

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman, ”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami, Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman, “Hai Adam beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS Al-Baqarah:31-33)

Di dalam Al-Qur’an sendiri banyak sekali ungkapan-ungkapan yang berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang menandakan bahwasanya umat islam diwajibkan untuk berfikir untuk mencari tahu segala sesuatu yang tentu saja tidak melampaui batas kemampuan manusia itu sendiri, salah satu contohnya ialah di dalam Al-Qur’an banyak sekali ungkapan-ungkapan yang berbentuk pertanyaan, seperti tidakkah kalian berpikir? Tidakkah kalian memikirkan? Tidakkah kalian perhatikan? Tidakkah mereka memperhatikan? Tidakkah mereka berpikir? Ada juga ungkapan seperti bagi kaum yang memikirkan, bagi kaum yang mengetahui, dan bagi kaum yang berpikir. Tidak diragukan lagi bahwasanya Al-Qur’an dengan anjuran untuk memperhatikan dan berpikir yang diulanginya beberapa kali menjadikan aktifitas studi dan penelitian dalam berbagai bidang sebagai sebuah keharusan bagi umat Islam, selain itu juga Rasulullah SAW bersabda bahwasanya mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Oleh karena itulah Islam mewajibkan kepada umat untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya seperti peribahasa yang telah diungkapkan oleh Rasulullah SAW “Tuntutlah ilmu walau harus ke negeri China”.

Apabila saat ini umat manusia dapat menyeimbangkan antara ilmu dan iman maka tentu saja kehidupan sekarang ini bisa dipastikan akan menjadi lebih baik dibanding dengan sekarang ini. Tetapi yang terjadi saat ini adalah tidak seperti yang diharapkan, kesenjangan ekonomi dimana-mana, penindasan terhadap sesama manusia dimana-mana dan masih banyak lagi yang lainnya, sedangkan para penguasa yang notabenenya merupakan orang-orang yang berpendidikan (berilmu) lebih mementingan nafsu duniawinya (kepentingan individunya) dari pada kemaslahatan umat pada umumnya. Padahal jabatan atau kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat umat yang harus dijalaninya dengan sebaik-baiknya dan harus amanat, hal tersebut terjadi karena ilmu yang dimiliki oleh para pemegang kekuasaan tersebut tidak dibarengi dengan keimanan, yang menyebabkan kebejatan moral para penguasa tersebut yang hanya memikirkan kepentingan individu dan golongannya sendiri.

Oleh sebab itulah ilmu dan iman harus terus berjalan berdampingan, agar tidak melampaui batas, dan agar tercipta keseimbangan, karena apapun bentuknya apabila tidak diiringi dengan kekuatan iman maka akan melampaui batas yang tidak hanya merugikan satu orang saja tapi juga akan membawa kemudharatan bagi umat…

Semoga kita semua senantiasa dapat memadukan ilmu dan iman yang kita miliki agar senantiasa tercipta keseimbangan diantara keduanya, yang Insya Allah dapat membawa kemaslahatan kepada diri kita sendiri dan umat pada umumnya. Amin Allahuma Amin

Referensi :

· Al-Qur’an Nulkarim