05 September 2008

IKHLAS ITU DINAMIS, BERGERAK & PRESTATIF

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur

Adalah suatu anugerah yang luar biasa, ketika kesempatan untuk menelisik ruang-ruang rahasia kehidupan hadir di hadapan kita. Aku pun berlomba agar Tuhanku berkenan mencurahkan anugerah itu, meskipun aku sadar bahwa hati yang kesat cemerlang menjadi syaratnya. Itulah yang tampaknya berat bagiku. Kuakui, masih jauh kecemerlangan itu dari hati ini. Ketika kita memiliki hati yang bersih, kita bisa merasakannya, dan ketika kita memiliki hati yang kotor, kita pun tak mampu mendustainya. Sebab hati adalah raja diri. Ia lah pemimpin yang “menuntun” langkah ke jalan yang lurus atau berbelok. Ia lah yang menyambut tamu agung berupa hidayah-Nya, atau menerima ajakan berperang raja-raja negeri syaithan.

Saudaraku,

Sebuah ungkapan sarat makna mengemuka dalam pembelajaran tentang hati. Ungkapan itu berbunyi “seolah-olah ilmu tentang hati hanya berbicara tentang keikhlasan.” Sedemikian pentingnya keikhlasan, sampai-sampai ia menjadi primadona dalam konstelasi ilmu hati. Lantas, apa yang ada dalam benak kita tentang keikhlasan?

Meskipun begitu banyak literatur yang menerangkan tentang keikhlasan, tak bisa kita pungkiri bahwa begitu sering kita dicekoki oleh pemahaman yang mempersepsikan keikhlasan secara salah. Ikhlas seringkali disetarakan dengan “rela.” Penyetaraan ini menjadi tidak tepat karena sebenarnya “kerelaan” hanyalah salah satu aspek dalam makna ikhlas. Pada kesempatan lain, ikhlas sering juga dipersepsikan dengan makna “sedikit”. Persepsi ini acapkali kita jumpai dalam aktivitas pemberian sedekah. “Berilah sedekah seikhlasnya,” demikian ungkapan yang akhirnya diterjemahkan sebagai “berilah sedekah meskipun sedikit.” Persepsi lain yang kurang tepat adalah ikhlas dipahami sebagai sikap mental yang menunjukkan ketidaksungguhan. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan “Silakan bantu/kerjakan seikhlasnya.” Pernyataan ini sama saja dengan izin (atau bahkan menjadi sumber motivasi negatif) dari si pembuat pernyataan kepada orang yang dituju untuk “membantu” atau “mengerjakan” secara sembarangan atau tidak optimal. Dengan demikian, penambahan imbuhan “se-nya” pada kata “ikhlas” telah benar-benar mendegradasi makna ikhlas itu sendiri.

Terlepas dari persepsi-persepsi yang kurang tepat seputar keikhlasan, entitas ini memang berada dalam ranah transendental yang definisinya tak selalu mudah dipraktikkan sehingga persepsi-persepsi itu hadir—mungkin—sebagai “solusi praktis” dalam menerjemahkan istilah “ikhlas.”

Akar kata dari “ikhlas” bermakna “bening, tidak ada noda yang tercampur sedikitpun”. Selanjutnya, secara istilah ”ikhlas” diartikan sebagai pengharapan terhadap ridha Allah semata dan tidak mengiringinya dengan pengharapan terhadap ridha dari selain Allah, apalagi hanya mengharap ridha dari selain Allah. Oleh karena itu, wajarlah jika lawan dari sifat ikhlas disebut juga syirik kecil, yakni ketika kita menyandingkan makhluk sejajar dengan Allah sebagai pihak yang dimintai keridhaannya.

Saudaraku,

Ada sebuah pertanyaan mendasar terkait dengan pengharapan terhadap ridha Allah : seperti apa aktivitas ”mengharap ridha Allah”?. Jawaban yang paling mudah adalah kita berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari sifat riya/pamer dan hanya mengharapkan pahala dari Allah semata. Selanjutnya kita pun berulang-ulang kali membangun persepsi dan memotivasi diri sambil berkata dalam hati : ”Saya melakukan ini hanya karena Allah, bukan karena ingin dilihat atau dipuji orang lain.” Dalam rangka mendukung ikhtiar ini, kita yang belajar ikhlas pun berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan kebaikan yang kita lakukan agar tak diketahui khalayak ramai.

Semoga kita tidak puas hanya dengan berdoa dan menyembunyikan kebajikan yang kita lakukan. Semoga kita tidak memisahkan konstelasi ikhlas dari konsep ikhtiar, yakni bersungguh-sungguh, berprestasi, dan profesional dalam beramal. Ha inilah yang tampaknya perlu disemarakkan lebih baik lagi dalam konteks belajar mengikhlaskan hati. Ikhlas harus pula identik dengan upaya bekerja keras dan cerdas sebagai efek positif dari niat yang lurus karena demikianlah yang dituntunkan Allah swt. Ikhlas itu bukan sekedar pasrah, sekedar bersembunyi ketika mengerjakan kebaikan, dan sekedar berdoa, lalu berdiam diri sembari menunggu hujan emas turun dari langit.

Bekerja keras dan cerdas secara profesional sesuai dengan karakter amal yang kita lakukan adalah juga sumber keridhaan Allah swt sehingga aspek-aspek ikhtiar ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari makna ikhlas itu sendiri. Seorang guru boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apabila ia tidak menyiapkan materi dan silabus pengajaran dengan sebaik-baiknya. Seorang pembantu rumah tangga boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, ketika ia tidak berupaya memisahkan pakaian yang luntur dari pakaian yang tidak luntur pada saat mencuci pakaian. Seorang pegawai boleh jadi belum sempurna ikhlasnya ketika tidak berupaya optimal untuk mencapai target pekerjaan yang telah ditetapkan. Seorang pelajar boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apabila ia bermalas-malasan dalam mengerjakan tuga-tugas sekolah. Jadi, ikhlas itu sesuatu yang dinamis, bergerak, dan prestatif.

Terkait dengan kedinamisan implementasi keikhlasan, tampaknya kita perlu sedikit membahas perihal keutamaan menyembunyikan amal kebajikan. Menyembunyikan amal memang menjadi bentuk upaya mengikhlaskan hati. Namun, hal ini tidak serta merta menghadirkan logika bahwa jika tidak menyembunyikan amal, berarti tidak ikhlas. Muhammad bin Shalih Al-Munajjid dalam bukunya yang berjudul ”Silsilah Amalan Hati” mengutip pendapat Ibnu Qudamah dan kemudian merincikan prinsip-prinsip dalam memperlihatkan dan menyembunyikan amal sebagai berikut :

- Amal perbuatan yang dianjurkan oleh sunnah untuk dikerjakan secara rahasia hendaknya

dikerjakan secara rahasia.

- Amal perbuatan yang dianjukan oleh sunnah untuk dikerjakan dengan terang-terangan,

hendaknya dikerjakan dengan cara terang-terangan.

- Amal perbuatan yang dapat dilakukan, baik secara rahasia maupun terang-terangan, jika orang

yang bersangkutan termasuk orang yang kuat menanggung pujian orang lain atau celaan mereka,

maka bagi dia boleh dilakukan secara terang- terangan. Akan tetapi, jika dia termasuk orang yang

tidak kuat menyangga hal tersebut, maka hendaklah dia mengerjakannya dengan sembunyi-

sembunyi. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika jiwa seseorang kuat untuk

menghindar dari riya’, tidaklah mengapa baginya jika menonjolkan amalnya, karena

sesungguhnya dalam keadaan seperti itu hal yang lebih baik adalah dengan menonjolkannya,

agar dapat diteladani oleh yang lain.

Dari paparan Al-Munajjid di atas, kita bisa memahami bahwa memperlihatkan atau menyembunyikan amal bukanlah parameter absolut keberhasilan kita dalam mengikhlaskan hati, melainkan tetap hanya sebagai usaha untuk meraih keikhlasan itu sendiri. Oleh karena itu, tak selayaknya kita merasa cukup seolah-olah berada dalam zona aman ketika kita sudah ”berhasil” menyembunyikan amal kita. Jika kita demikian, jadilah kita pribadi yang statis dan belum tentu juga Allah menilai kita sebagai manusia yang ikhlas. Kita harus bergerak, melatih diri, dan terus berusaha agar semakin hari semakin kuat menanggung pujian atau celaan sehingga niat yang hadir sejak awal tetap lurus ketika memberikan contoh teladan yang baik melalui sebagian amal kita.

Keteladanan yang dapat kita contohkan melalui amal-amal kita adalah poin prestasi tingkat berikutnya dari implementasi keikhlasan karena hal ini menunjukkan kita tidak sedang memikirkan diri sendiri, tetapi juga sedang memberikan manfaat bagi orang lain. Adalah prestasi yang lebih hakiki, ketika kita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungan kita, daripada sekedar menjadi pribadi yang berprestasi untuk kepentingan diri sendiri.

Saudaraku,

Di atas semua rangkaian kata yang terjalin ini, Al-Munajjid menuturkan bahwa sesungguhnya ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya, tiada yang mengetahuinya, baik malaikat pencatat amal perbuatan maupun syaithan yang berupaya merusak amal sang hamba. Bahkan, kita pun mungkin tidak yakin seratus persen bahwa setiap niat yang terbetik sejak sebelum amal, pada saat beramal, dan setelah amal, benar-benar terjaga kemurniannya. Inilah jua yang menjadi pelajaran bagi kita dalam konteks dinamika dan progresivitas keikhlasan, yakni tiada alasan bagi kita untuk ”puas” dan merasa ikhlas. Kita harus terus berlatih untuk meraih keikhlasan yang lebih baik. Anggaplah kehidupan ini sebagai sarana untuk berlatih ikhlas sepanjang masa, sehingga kita kita terus bergerak, dinamis, dan prestatif. Aamiin.

Tidak ada komentar: