23 Juni 2008

Dialog Dua Hati

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah

Tebet Timur


Pagi itu tak seperti biasanya. Adalah seorang ibu yang duduk di atas kursi kayunya, memandangi dengan seluruh jiwa dan raga, putra satu-satunya. Ada yang berbeda dari pandangan itu. Sebuah harapan terpancar dari raut muka ibunda, yang senyumnya menghangatkan kening sang putra, seorang pemuda yang tengah berlari, menuju kedewasaan akal dan hatinya.

Ibu, apakah yang seharusnya paling diharapkan seorang manusia, sepertiku?

Anakku sayang, setiap manusia, tidak hanya engkau, memiliki harapan-harapan yang sama… Wujudnya boleh jadi berbeda, tetapi hakikatnya sama saja.

Apakah itu, Ibu?

Engkau, Ibu sendiri, dan siapapun yang hadir di dunia ini mengharapkan dua kebahagiaan. Kebahagiaan pertama adalah ketika engkau mendapatkan karunia dari Tuhanmu, sementara Dia mencintai dan ridha kepadamu sehingga Dia memberikannya dengan penuh cinta dan kerahiman-Nya. Engkau pun menyadari bahwa pemberian itu adalah tanda cinta-Nya.

Anakku, bisakah kau bayangkan bagaimana engkau diberikan emas dan perak seukuran bumi, lalu ditambah lagi seukuran bumi. Namun, yang memberikan emas dan perak itu terlebih dahulu menginjak-injak kepalamu sebagai syarat atasmu. Apakah engkau akan menerimanya ataukah engkau menerimanya dengan sepenuh hati, atau bahkan engkau tak peduli sebab injakan itu segera diganti emas dan perak?

Apakah itu yang lebih baik, ataukah jika suatu hari engkau berjalan di siang hari yang terik. Dahagamu tak tertahankan lagi, menunggu sejuknya air untuk membasahi kerongkonganmu sementara pundi-pundi airmu telah kosong dan uangmu tak bersisa. Lalu datang seseorang yang iba padamu. Ia lantas memberikan segelas air untuk kau minum. Ia tersenyum kepadamu penuh keikhlasan. Engkau meneguk air itu dengan semangat sampai rona merah kembali menghiasi wajahmu. Tak lama kemudian, apakah hanya dahaga di sepanjang kerongkonganmu yang hilang? Tidakkah hilang dahaga di hatimu, berganti kegembiraan atas senyuman dan pancaran keikhlasan yang engkau terima?

Anakku sayang, jika demikian, apakah emas dan perak itu lebih berharga daripada segelas air yang kau minum?

Ibu, jika demikian, tentu segelas air lebih berharga bagiku meski emas dan perak lebih mahal jika dijual di pasar-pasar.

(Sang ibu tersenyum) Anakku…memang begitulah. Tidak sedikit manusia yang menilai dari apa yang tampak, apa yang berwujud. Inilah yang membuat mereka tak kuasa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang diuji. Mereka tak sadar bahwa kaki-kaki mereka berpijak di dalam lingkaran fitnah. Anakku, emas dan perak memang mahal, tetapi apalah artinya itu semua jika diberikan dengan penghinaan dan berbalut kebencian. Anakku sayang, berlindunglah kepada Allah agar engkau tidak termasuk orang-orang yang dianugerahi perhiasan dunia yang dengan perhiasan itu Allah bermaksud mengazab mereka. Sesungguhnya Allah telah berfirman mengenai orang-orang yang munafik :

Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk mengazab mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah 55)

Anakku sayang, betapa sengsaranya orang-orang yang ditipu oleh harta dan keturunan mereka, sementara Allah tidak menyukai mereka. Semburat bahagia dan gelak tawa hampir tiap hari mewarnai wajah mereka, tetapi engkau tidak tahu apakah hati mereka juga bahagia, apakah hati mereka juga tertawa. Kalau tidak hari ini hati mereka menangis, maka suatu hari mereka akan menangis di atas tumpukan harta dan di dalam pelukan anak-anak mereka.

Ibuku, apakah salah menjadi manusia yang kaya dan banyak keturunannya?

(Sang ibu tersenyum). Tidak anakku, tidak salah menjadi orang kaya dan tidak salah pula memiliki banyak keturunan. Bukankah mustahil bagimu untuk berjihad dengan harta, ketika tiada sepeserpun yang kau punya. Tidakkah sejuk hatimu, ketika anak-anakmu menjadi qurratu a’yun yang meneruskan perjuanganmu. Anakku, manusia bersalah ketika ia melupakan Dia Yang Menganugerahinya harta dan anak-anak. Anakku sayang, betapa indahnya suasana ketika Allah memberikan dengan penuh cinta dan ridha kepadamu. Sedikit atau banyak tetap penuh keberkahan. Sedikit atau banyak tetap penuh dengan mashlahat. Dan betapa semakin indahnya, ketika engkau pun menyadari bahwa pemberian itu tanda cinta-Nya sehingga engkau tetap waspada dalam kesyukuran dan penghambaan, tenang dalam persangkaan baik kepada-Nya, dan semakin kencang engkau berlari meraih sebagian karunia-Nya. Dan puncaknya, betapa bahagianya dirimu ketika Allah memuliakanmu dengan sebutan ”hamba-Ku” lalu menghadiahi kebahagiaan akhirat kepadamu.

Ibu, aku telah memahami nasihatmu, tetapi apakah salah ketika aku merasa, berat sekali meraih kebahagiaan pertama ini, bukan aku tak ingin, tetapi karena syaithan jin dan syaithan manusia tak pernah berhenti menggodaku.

Anakku, sesungguhnya Ibu pun merasakan hal yang sama. Tiada yang bisa meringankan, tiada yang bisa memudahkan, selain Allah. Semoga kita selalu mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya.

Ibu, lantas apa kebahagiaan yang kedua?

(Sang ibu menghela napas) Anakku sayang, kebahagiaan yang kedua adalah ketika engkau mampu memberi dengan penuh cinta dan keikhlasan kepada orang-orang di sekitarmu sehingga engkau menjadi manusia yang bermanfaat dan tak ternilai. Sedikit atau banyak yang kau beri, tidaklah menjadi ukuran kebahagiaanmu, tetapi keikhlasan dan rasa cinta yang mengiringinya, itulah yang menjadikan kebahagiaanmu berlipat ganda. Tahukah engkau anakku, berapa harga sepiring nasi rames yang kau hidangkan kepada sang tamu yang bertandang ke rumah kita?

Hmmm...kalau dihitung-hitung, harganya enam ribu rupiah.

(Sang ibu tersenyum) Anakku, jika sang tamu membayar enam ribu rupiah kepadamu. Apakah akan engkau terima?

Hihi...ibu bisa saja nih...ya enggak saya terima dong, bu. Kan, rumah kita bukan warteg.

Bagaimana jika ia membayar lima puluh ribu rupiah, engkau tertarik anakku?

Emmm...sepertinya tetap tidak tertarik, bu.

Tampaknya masih kurang ya, bagaimana kalau satu juta rupiah untuk sepiring nasi rames?

Ibu ada-ada saja. Sepiring nasi rames itu kan, bukan untuk diganti dengan uang, bu.

Anakku, jika engkau tak mengharapkan uang, bagaimana jika sang tamu menggantinya dengan satu unit mobil Jaguar terbaru?

He..he...kalau dikasih mobil Jaguar sih mau banget, tapi kalau ada embel-embel bahwa mobil itu sebagai pengganti nasi rames, rasanya aneh aja, bu. Entah mengapa, aku pikir itu tidak pantas.

Anakku, engkau tidak mau menerima uang dan engkau pun segan menerima Jaguar itu sebagai pengganti sepiring nasi rames. Lalu, apa yang sebenarnya engkau harapkan? Jika sang tamu bertanya kepadamu apa yang engkau inginkan sebagai pengganti nasi rames, bagaimana jawabanmu? Waduh...aku bingung harus jawab apa jika ditanya seperti itu. Aku jadi berpikir, apa kira-kira maksud Ibu memberikan permisalan ini?

(Sang Ibu tersenyum) Anakku, semua orang yang normal pasti merasakan hal yang sama jika mereka berada di posisimu. Engkau tidak mau menerima enam ribu rupiah, lima puluh ribu rupiah, satu juta rupiah, bahkan mobil Jaguar sekalipun sebagai pengganti sepiring nasi rames karena harga nasi rames itu sudah tak ternilai lagi.

Apakah yang membuat nasi rames itu tak ternilai, bu?

Bukan karena kelezatannya, bukan karena kandungan gizi di dalamnya, dan bukan pula karena banyaknya. Nasi rames itu tak ternilai karena merupakan pemberian darimu yang penuh cinta dan keikhlasan. Sekecil dan sesedikit apapun yang engkau berikan, ketika diberikan dengan cinta dan keikhlasan, maka seketika itu pula tiada satu makhluk pun yang mampu menilai apa yang engkau berikan, bahkan dirimu sendiri. Seketika itu pula, nilai fisik pemberianmu seolah-olah menjadi tak berarti. Seketika itu pula, hanya Allah yang mampu menilainya secara hakiki dan...siapa yang lebih baik dari Allah dalam menilai dan membalas amal hamba-hamba-Nya? Maka tidaklah heran jika engkau tidak menerima sebesar apapun pembayaran atas pemberianmu, karena tak akan sanggup menyamai nilai apa-apa yang engkau berikan. Anakku, bahkan sebenarnya engkau bisa memberikan yang tak ternilai tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun.

Apakah itu, Ibu?

Senyumanmu. Ya, tersenyumlah kepada mereka yang berjumpa denganmu. Dengan senyum itu, semoga terbetik sedikit kedamaian di hati yang melihatnya atas izin Allah. Dengan senyum itu, semoga hati yang terbakar amarah menjadi tenang kembali atas kehendak-Nya. Dengan senyum itu, semoga menjadi washilah hidayah Allah untuk hati yang terpapar penyakit atau hati yang keras membatu. Masihkah ada yang lebih berharga daripada kedamaian, ketenangan, dan hidayah dari Allah? Anakku, betapa bahagianya engkau jika bisa memberikan sesuatu yang tidak ternilai. Seorang milyuner bisa memberikan segudang emas dan perak, sesuatu yang tetap saja ternilai. Bukankah engkau sejatinya lebih kaya dari milyuner itu, jika engkau bisa memberikan yang tak ternilai? Dan bukankah engkau lebih berbahagia darinya sebab yang engkau berikan jauh lebih berharga, bahkan kau pun tak sanggup menghargakannya? Dan tidaklah seseorang memberikan sesuatu yang tak ternilai, kecuali ia menjadi pribadi yang tak ternilai pula.

Anakku sayang, betapa indah balasan dari Allah bagi pribadi-pribadi yang tak ternilai... (Tanpa terasa air mata terderai, membasahi pipi sang ibu. Tersedu-sedu sang ibu ketika melanjutkan kembali kata-katanya) Betapa.....kebahagiaan pribadi yang tak ternilai tak hanya berlimpah di dunia, tetapi juga berujung pada kebahagiaan di akhirat kelak, seperti halnya kebahagiaan pertama. Allah berfirman dalam al-Quran:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan .Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati . (Al-Insaan 8-11)

(Kini, giliran sang putra yang menitikkan air mata)

Anakku sayang...mengapa engkau menangis? Apakah karena engkau melihat air mata di pipi Ibu?

Ibu, aku menangis karena memikirkan diriku... Selama ini, boleh jadi aku belum memberikan dengan ikhlas, boleh jadi aku belum memberikan dengan cinta...sehingga apa yang kuberikan, mungkin saja tak bernilai sama sekali di sisi Allah...

Anakku, cinta dan keikhlasan kita adalah rahasia Allah. Tiada satupun makhluk di langit dan bumi yang dapat mengetahuinya kecuali Allah mengizinkan. Jangan menyerah anakku sayang. Tugasmu, tugas Ibu, dan tugas kita semua adalah hanyalah berusaha terus dan terus berusaha untuk menggapai cinta dan keikhlasan itu...kemudian, cukuplah Allah menjadi penolong kita dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Semoga Allah merahmati kita semua.

Ibuku, ada lagi yang ingin aku tanya, tapi.... sebenarnya aku malu...

Anakku sayang, mengapa harus malu dengan ibumu sendiri?

Baiklah, bagaimana pendapat Ibu tentang seorang pendamping hidup?

(Sang ibu tersenyum melihat putranya yang agak menunduk) Anakku, Ibu yakin engkau sudah tahu bagaimana perihal seorang pendamping yang tepat untukmu. Ibu yakin, engkau pun paham bahwa yang bersatu di dalam mahligai bukan hanya engkau dengannya, tetapi juga Ibu dengan ibunya, ayahmu dengan ayahnya, saudara kandungmu dengan saudara kandungnya, kerabatmu dengan kerabatnya. Anakku sayang, setelah engkau paham semua itu, Ibu hanya ingin mengingatkan satu hal. Semoga pendamping hidupmu adalah sosok yang mampu menjagamu.

Maksud Ibu? Bukankah aku yang harus menjaganya?

(Sang ibu tersenyum lagi) Anakku, bukanlah karena dia wanita, lantas dia tak wajib menjagamu. Engkau menjaganya adalah hal biasa, tetapi ketika ia mampu menjagamu, itu adalah...hal yang mungkin luar biasa. Aku semakin tidak mengerti Ibu. Apakah maksudnya menjaga kehormatan dan hartaku? Menjaga amanat sebagai ummun wa rabbatul bait dan menjaga kehormatan serta hartamu adalah memang kewajiban pendamping hidupmu. Namun, menurut hemat Ibu, semua itu bermula dari kemampuan untuk menjaga tingkah lakunya agar tak menjadi fitnah bagimu. Engkau pun wajib menjaga tingkah lakumu agar tak menjadi fitnah baginya.

Anakku sayang, tabiat lisan seringkali menceritakan tingkah laku. Ketika lisanmu tidak menjadi telaga yang sejuk baginya, maka mana mungkin kau bisa menghilangkan dahaga kasih sayangnya. Begitu pula dirinya, pendamping hidupmu. Jika lisannya begitu mudah untuk menyebarkan rahasiamu atau rahasia orang lain, menikmati pembicaraan yang belum tentu benar dan salahnya, maka bagaimana mungkin ia mampu menjaga amanatmu, bagaimana mungkin ia mampu menjadi ummun warabbatul bait, bagaimana mungkin ia mampu menjaga kehormatan dan hartamu, sementara ia tak mampu menjaga “kehormatannya” sendiri. Kalaupun ia berhijab dengan sempurna, maka hijabnya tak kan mampu menutupi ketajaman lisannya. Bahkan tak mustahil, nak, lisannya yang tajam itu akan mengoyak-ngoyak hijabnya sehingga seolah-olah dia tak berhijab lagi.

Semoga Allah melindungi kita dari keganasan lisan kita sendiri. Semoga Allah merahmati lisan kita sehingga tabiatnya senantiasa menyejukkan. Semoga Allah berkenan menjadikannya tempat peraduan orang-orang yang merindu kasih sayang.

Terimakasih Ibu... Temani aku selalu dengan doa dan keridhaanmu. Ya Allah, ampunilah dosaku, dan dosa kedua orang tuaku. Rahmatilah keduanya, ya Allah, sebagaimana mereka mendidikku semasaku kecil...


103 TAHUN SYARIKAT ISLAM VS 100 TAHUN BOEDI OETOMO: KEBANGKITAN NASIONAL ATAU KEBANGKRUTAN NASIONAL ???

Oleh : Mardhani

Kader

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Jagakarsa

Setiap tanggal 20 Mei selalu diperingati sebagai hari kebangkitan nasional oleh bangsa kita yang ditandai oleh lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo menurut versi sejarah yang dipelajari di sekolah-sekolah hingga sekarang merupakan organisasi modern pertama di Indonesia yang menjadi organisasi pelopor pergerakan dan cikal bakal persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisasi belanda pada saat itu, padahal kalau kita hendak mempelajari dan mencermati secara seksama organisasi nasional pertama yang mengidam-idamkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisasi Belanda dan organisasi pelopor pergerakan pertama di Indonesia yang menyatakan perlawanan terhadap kolonialisasi Belanda terhadap Indonesia ialah Syarikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi nama Syarikat Islam (SI) yang berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905, atau tiga tahun lebih dulu berdiri dibandingkan dengan Boedi Oetomo. Jadi Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan dan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisasi Belanda pada saat itu adalah suatu kekeliruan sejarah.

Ada beberapa argumentasi dan fakta yang dapat membuktikan hal tersebut, yakni:

1. Syarikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) berdiri pada 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto, yang mana ini membuktikan bahwasanya Syarikat Islam (SI) tiga tahun lebih dulu berdiri dibandingkan dengan Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.

2. Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar yakni para pegawai negeri yang setia kepada pemerintah Belanda sedangkan Syarikat Islam keanggotaannya murni dari masyarakat Indonesia yang anti Belanda.

3. Syarikat Islam bercita-citakan kemerdekaan Islam Raya dan Indonesia Raya, sedangkan Boedi Oetomo hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura.

4. Syarikat Islam bersikap non-kooperatif dan anti terhadap kolonialisasi Belanda, sedangkan Boedi Oetomo bersikap menggalang kerja sama dengan Belanda.

5. Syarikat Islam berjuang melawan kolonialisme Belanda yang bertujuan untuk kemerdekaan Islam Raya dan Indonesia Raya sehingga banyak anggotanya yang masuk penjara dan ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul sedangkan Boedi Oetomo berjuang untuk Jawa dan Madura dan bersifat kooperatif dengan Belanda.

6. Syarikat Islam bersifat kerakyatan (tidak hanya kaum ningrat tapi juga rakyat jelata) dan terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia (tidak hanya Jawa dan Madura) sedangkan Boedi Oetomo seperti yang kita ketahui organisasi yang sempit yang bersifat feodal dan keningratan karena anggotanya hanya dari kalangan priyayi, bahkan lebih sempit lagi hanya untuk kalangan Jawa dan Madura saja (terlalu chauvinis, Betawi sekalipun tidak boleh) selain itu Boedi Oetomo juga bersikap anti Islam yang mana hal tersebut mendapat pembenaran dari sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman.

7. Dalam setiap rapatnya dan tulisan dalam anggaran dasarnya Syarikat Islam berbahasa Indonesia, sedangkan Boedi Oetomo dalam setiap rapat dan anggaran dasarnya berbahasa Belanda.

KH Firdaus AN (mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam) pernah mengatakan, :

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya menjadi batu sandungan bagi upaya mereka.”

Bukan itu saja belakangan terdapat fakta yang mencenggangkan, yaitu banyak tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang ternyata merupakan anggota aktif Freemasonry. Di dalam buku Dr.T.H. Stevens (seorang sejarawan Belanda) yang berjudul “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” disebutkan bahwasannya beberapa tokoh Boedi Oetomo yang dilengkapi dengan foto-foto eksklusif sebagai buktinya adalah merupakan anggota aktif Freemasonry, antara lain: Sultan Hamengkubuwono VIII, RAS. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, Paku Alam VIII, RMAA. Tjokroadikoesoemo, DR. Radjiman Wedyodiningrat, dan banyak pengurus lainnya, bahkan ketua pertamanya yakni Raden Adipati Tirtokusumo (Bupati Karanganyer) adalah seorang anggota Freemasonry.

Hal-hal di atas telah jelas-jelas membeberkan fakta bahwa telah terjadi suatu kesalahan atau penyelewengan sejarah di negeri ini, yang seharusnya cepat-cepat diverivikasi dan dibenahi oleh Pemerintah demi kebenaran dan kejelasan sejarah yang terjadi pada perjuangan bangsa Indonesia ini.

Pada hakekatnya cita-cita yang diidam-idamkan oleh Syarikat Islam yaitu kemerdekaan Indonesia dari pihak kolonial akhirnya membuahkan hasil ketika Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia pada pukul 10.00 WIB. yang bertepatan pada hari Jumat tanggal 11 Agustus 1945 yang menandakan bahwasannya mulai saat itu bangsa Indonesia merupakan bangsa yang merdeka dan berdaulat. Beberapa waktu yang akan datang yang tepatnya tanggal 16 Oktober kita akan memperingati hari yang bersejarah itu yaitu hari lahirnya Syarikat Islam yang ke 103 tahun, namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah bangsa kita sekarang ini sudah benar-benar merdeka?

Satu abad lebih sudah Syarikat Islam lahir dan sebentar lagi kita juga akan memperingati hari kemerdekaan negara kita yang ke 63 tahun, namun hingga saat ini bangsa kita masih belum sepenuhnya merdeka. Segala macam permasalahan masih terus menyelimuti bangsa ini, baik permasalahan ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan, kedaulatan, dsb. Kemiskinan masih melanda negeri ini, pengangguran semakin banyak, anak putus sekolah terus berlangsung, KKN semakin menggila, ancaman disintegrasi semakin marak, budaya kitapun semakin terpinggirkan akibat masuknya budaya asing, dsb. Sedangkan para elit senantiasa sibuk atas kepentingan individu dan golongannya tanpa memikirkan kepentingan rakyat secara keseluruhan, pemerintah selalu ragu-ragu dalam setiap pengambilan kebijakan yang jarang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

Selain itu rakyatpun semakin menderita atas kenaikan harga BBM yang berdampak kepada naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang semakin melambung tinggi. Asumsi kenaikan BBM tersebut dikarenakan harga minyak dunia yang semakin melambung tinggi yang sekarang sudah mencapai 135 US dollar perbarrel, sedangkan pemerintah pada tahun 2007 dalam APBNP ketika itu hanya menganggarkan subsidi 55-60 US dollar perbarrel terhadap BBM yang kemudian pada perkembangannya diubah menjadi 95 US dollar perbarrel yang dikarenakan harga minyak dunia yang mulai merangkak naik. Kegelisahanpun terjadi di masyarakat dan pemerintah, dengan dalih untuk mengurangi dampak dari kenaikkan harga BBM, disalurkan bantuan langsung tunai (BLT) yang akan disalurkan kepada 19,1 juta rakyat miskin perkepala keluarga yang mana mendapatkan bantuan senilai Rp. 100.000/bulan selama 6 bulan.

Dapat kita bayangkan langkah yang diambil oleh pemerintah begitu instan dan tidak mendidik, dapat kita katakan langkah tersebut dapat kita golongkan sebagai salah satu upaya “suap” pemerintah terhadap rakyat untuk melegalkan kebijakan yang diambilnya. Padahal kondisinya Indonesia merupakan negeri yang kaya akan SDA dan Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak di dunia tetapi karena aset-aset kita telah dikuasai oleh asing maka kita tidak dapat memaksimalkan kekayaan yang kita miliki itu untuk kepentingan bangsa.

Padahal SDA yang kita miliki memungkinkan untuk pemerintah berpikir kreatif dan imajinatif, agar tidak senantiasa selalu mengandalkan minyak bumi sebagai bahan bakar atau bahan energi, salah satu contohnya adalah pengembangan energi alternatif atau energi lain selain minyak bumi, seperti yang kita ketahui negeri kita kaya akan gas, batu bara. Tanah kita juga sangat subur untuk dapat kita tanami tumbuh-tumbuhan yang dapat diolah menjadi bahan energi penganti minyak bumi. Selain itu, negara kita merupakan negara tropis yang hanya memiliki 2 musim saja, yaitu musim panas dan musim hujan dimana energi gratis telah diciptakan oleh Allah SWT yaitu energi matahari dan angin yang semestinya juga dapat menjadi inspirasi pemerintah. Tetapi hal tersebut kurang menjadi perhatian pemerintah, padahal dengan cadangan minyak bumi kita yang hanya tinggal sekitar 80 milyar barrel, tentu kita harus bersiap diri untuk mencari energi alternatif penganti minyak bumi.

Dilain sisi, pemerintah sepertinya tidak mau belajar dari pengalaman. Pemerintah bukan hanya menetapkan kebijakan untuk menaikan harga BBM tetapi yang lebih parah lagi pemerintah hendak akan memprivatisasi 44 BUMN yang kita miliki padahal semestinya pemerintah seharusnya berusaha untuk mengambil kembali BUMN yang telah dijual pada masa sebelumnya atau menasionalisasikan aset. Apabila nasionalisasi aset terlalu ekstrim, hendaknya pemerintah mengadakan renegosiasi kembali aset-aset kita agar kitapun menikmati keuntungan. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, padahal sudah jelas-jelas negara dirugikan atas kebijakan tersebut. Privatisasi pada dasarnya mengarah pada konsep “one-size-fits-all golden straits jacket” ala Thomas L. Friedman. Menurutnya, sebagai pembela globalisasi yang diilhami oleh neoliberalisme dan neokonservatisme, jaket pengaman emas buat ekonomi yang cocok untuk segala ukuran (tidak perduli negara besar atau kecil, negara maju atau terbelakang, negara industri atau pertanian) itu mencakup: upah buruh direndahkan untuk menekan laju inflasi, privatisasi BUMN dan memasukan BUMN ke dalam pasar sekuritas global, menghapus tarif dan kuota agar barang bisa bergerak bebas menerobos batas-batas negara, memprioritaskan produksi barang-barang ekspor, dan membuka seluruh bidang ekonomi bagi kepemilikan asing. Hal tersebut tentu saja akan sangat merugikan negara lemah. Salah satu contoh yang konkret adalah perpanjangan kontrak Freeport Indonesia yang diperpanjang hingga tahun 2041 dan pengoperasian blok Cepu oleh Exxon Mobil hingga tahun 2036, padahal negara hanya mendapatkan royalty sebesar 1-3.5 % dari Freeport sedangkan 96.5 - 99 % keuntungan masuk ke kantong Freeport sendiri.

Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah semakin hari semakin menyengsarakan rakyat, memberikan kesan bahwasanya Pemerintah kita tidak beradab, padahal bangsa kita adalah bangsa yang beradab. Seorang profesor yang berasal dari Brasil yaitu Prof. Santos telah melakukan sebuah penelitian geologi dan beliau menyatakan bahwasanya benua atlantis (negeri atlantis) yang merupakan benua yang hilang yang memiliki peradaban yang maju di zaman dahulu berada di samudera pasifik dan beliau juga menyatakan bahwasanya Indonesia adalah benua/negeri atlantis tersebut, hal tersebut adalah merupakan salah satu alasan mengapa fosil manusia purba tertua di temukan di Indonesia yaitu Pithecanthropus Erectus, apabila penelitian yang dilakukan oleh Prof. Santos benar adanya dapat kita bayangkan dahulu kita adalah bangsa yang besar, maju dan merdeka tetapi mengapa sekarang bangsa kita bisa seperti sekarang ini?

Enam Presiden telah memimpin negeri ini tetapi belum ada seorangpun yang dapat mewujudkan Indonesia yang merdeka dalam arti yang sesungguhnya sesuai dengan cita-cita para Founding Fathers dan Founding Mothers kita. Kedepan, semoga para pemimpin kita selalu mau belajar dari pengalaman / sejarah karena merupakan guru yang sangat berharga. George Santayana, seorang filosof Spanyol berpendidikan AS (1863-1952), pernah memperingatkan bahwa mereka yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengalami atau mengulangi pengalaman sejarah itu. Nabi Muhammad SAW. pernah mengatakan mengenai pentingnya belajar dari pengalaman atau kesadaran sejarah, beliau berkata:

“Barang siapa memiliki masa sekarang yang lebih bagus dari masa lalunya, ia tergolong orang yang beruntung, bila masa sekarangnya sama dengan masa lalunya, ia termasuk orang yang merugi, bila masa sekarangnya lebih buruk dari masa lampaunya, ia tergolong orang yang bangkrut.”

Lantas yang menjadi pertanyaan sekarang adalah termasuk kebagian yang manakah bangsa kita sekarang ini? Kemudian apakah keadaan bangsa Indonesia yang sekarang ini dapat dikatakan merupakan suatu kebangkitan nasional atau kebangkrutan nasional? Wallahu a’lam bi ash-shawwaab...

Daftar pustaka:

Headline News, MetroTV.

http://faisalman.wordpress.com.

Tjatur Sapto Edy, dalam Dialog Energi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Jakarta, 14 April 2008.

Thomas L. Friedman, The World is Flat, London: Penguins Books, 2006.

A SOCIAL CRITIC; SOCIETY PARADIGM OF EDUCATION

Zaki Mubarak, S.ip

Ketua

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah

Tebet Timur


H

uman being are said to lead and manage the world. Their thoughts and actions influence their surrounding since they have special instrument: brain, giving them the highest position among other creatures. Their brains are keys to fulfill their needs and develop the civilization. Such view is supported by Alfred North Whitehead, history of all Western philosophy is footnote series from two Greek great thinkers, Plato and Aristoteles (Suhelmi, 2007). That’s why their thought and action gave guidance and direction to make history of human being and gave deep influence until now.

Equipped with their amazing ability of their brain and inspired by their dream, people determine to change their lives. In doing so, they need education to help them plan and prevent them from alienation in competitive era. Education provides people with knowledge on how to build paradigm and attitude to conquer the world.

As a developing country, Indonesia has many education problems from colonial until now. Our founding fathers realized that to reach independence they had to establish organizations to organize massive movement from intellectuals who have diplomacy which had significant power to gain international support. The problem was only few people could reach high education because the Dutch colonial prohibited people to have access to education. With limited well-educated people, Indonesia could proclaim the independence and defend it with diplomacy strategies. Many great thinkers and intellectuals were born and had international reputation like, Soekarno, Hatta, M. Natsir, Hamka, Tan Malaka, etc. Like in India, Middle East, Philippines, Indonesia, China and another countries – where intellectual group were promoted the independence – their contribution were conspicuous (Alatas, 1988). In that time, education was something that almost impossible for ordinary people to get.

In globalization era, education is not only instrumental part of human life but also an agent of change. To adapt to the environment, people must have good educational background to prevent them from being marginalized in a tight competition, like what Thomas Hobbes said, humans become wolf to others (homo homini lupus). The higher education level people have, more expert and competent they are.

In Islam, education is a must for everyone and is called lifelong education. According to John Dewey, education is renewal process of experiences sense through process of incidental transmission and intentional. Educated person is realized that they are subject not object in this world. According to Paulo Freire, conscientization is dimension basis of human reflection act which is expressing knowing process, that suppressed individual become subject or a process that human being is getting consciousness which is more deeper about culture reality which covered their life and ability to change the reality.

It has significant correlation among individual, nation, and international level. More well-educated people in one country, it is a guaranty to accelerate the development. When one country has success development, automatically bargaining position will be increase in international politics. Like what N. Syam said, because of education, society would progress. Likewise, advance education take places only in progress society.

Now the questions are; how important is education for people? What will they do with their knowledge that they have got from education institutions? How far is their passion to education?

Analysis of the Condition

History proves that education could make a nation or a country have a great civilization. Many education institutions were established, such as university, prove to became an integral part in a society. It caused the citizen to be more well educated, more civilized and became example for another. They were written in world history and have influenced to next generation, like Greek, Roman and Persia civilization.

As time goes by, Indonesia’s social condition changes with the growth of the technology. Global situation also contribute to alter every aspect of life. Rapid changes of economic and social life cause people to think that education is very important to survive and to compete in globalization era. Unfortunately, there are so many national education problems in supra structure like, regulation often change depends on the regime and infra structure level, like school building and education tools does not qualified.

Life becomes more individualistic, materialistic and consumptive as result of the western influenced like, liberal paradigm and capitalism system which are accumulated in globalization concept. The bad influenced faded society value, distinctive feature and identity, which have positive influence to balance social life. The impact infects every part of life without exception, including education. If we analysis to John Dewey statement, the condition is very contradictive. People orientation of education is to get certificate, after that working to gain much money become rich people and get happy life with beautiful wife and cute child, the last is died in peace and give much legacy to next generation.

Nowadays, certificate duplicating is instant way to get education legality to get a job or a promotion. The fact is very ironic, knowledge is a social process which is need to renewal empirically to adapt the social condition. Research is one of the way to renewal knowledge but the reality, scholars ignore it just few people who have progressive paradigm, which have desire to their knowledge capacity and implement what they’ve got like do some research. That is why knowledge progress in this country moving slowly.

Capitalism system was built to get high profit with less capital. That mindset made businessman with their company exploit the labors or employees and treat them like commodity. They push them to work hard without proper payment and permanent status. That is proved what Thomas Hobbes said that humans become wolf to others (homo homini lupus). They went from home early in the morning and back to home in the late of night through bad traffic jam and uncomfortable transportation services. Sometimes, in holiday they also have a job, overtime.

That condition makes people tired and don’t have a time with families moreover to develop their knowledge. People use and give majority of their time and life to the job. So, people life for a job not a job for life. We can say that people or employee become object not subject. How come people that have knowledge through education process trapped in this condition without effort to changes it. That is what Paulo Freire concerned that he captured the Portugal imperialism condition in his homeland, Brazil and which has related to Indonesia’s condition.

Mass media especially television also has important participation with their film or Indonesia drama series (sinetron) and celebrities infotainment which gave an ideal life with having much money. They gave poison that makes people have narrows minded, passive and weak of critical and progressive thought.

Natural characteristic that native have also make influence to the condition. Native characteristic also takes important part for this condition. According to Mochtar Lubis, Indonesians acknowledge characteristically respect, calm, trustworthy, nice, royal, friendly to guests, and gentle. But said, Indonesian people don’t want to think difficult things. They don’t have any idealism, don’t have effort, can’t take decision (Lubis, 1977). One of the vital problems in developing society is laziness of intellectual itself (Alatas, 1988). Some of the characteristics are not relevant anymore, but it can illustrate Indonesians and society in developing country. Honestly, those characteristic is true which are influencing attitude pattern in society.

Conclusions

The condition must be changed. The important one to do is to change people paradigm of education by education system and the way how educator teaching. Government also must make supporting regulation, facilities and budget to upgrade education quality and to do research activities that involving academics and students. It will take long time, but if implementing gradually could changes the conditions.

So, is education very important to develop your knowledge become intellectual or intelligence (specialist or professional) or just for a certificate to get a job to survive? That question is back to you how to consider the essence of education.

References:

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Mochtar Lubis, Manusia Indonesia; Sebuah Pertanggungan Jawab, Jakarta: Idayu Press, 1977.

Siti Murtinigsih, Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Yogyakarta: Resist Book, 2004.

Syed Hussein Alatas, Intelektual Masyarakat Berkembang alih bahasa oleh Bambang Supriady, Jakarta: LP3ES, 1988.

Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.

01 Juni 2008

Dimulai Dari Angka Nol

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur


Dimulai dari angka nol ya pak”, begitulah kira-kira ungkapan dalam iklan salah satu perusahaan minyak di Indonesia yang mulai sering menghiasi layar kaca. Kalau kita perhatikan, isi dari iklan itu merupakan deskripsi itikad dan rencana baik perusahaan pengiklan untuk memberikan layanan yang jujur dan prima kepada masyarakat. Itu semua terwakili dengan pernyataan yang inspiratif: “dimulai dari angka nol”. [Ini bukan promosi lho, cuma sekedar contoh]

Secara manusiawi, semua kita pasti—setidaknya—akan mencium aroma kebaikan di balik ungkapan “dimulai dari nol”. Jika kita mengisi bensin dan petugasnya mengucapkan “dimulai dari angka nol”, kita akan termotivasi untuk menyakini kejujuran si petugas dan sistem pengisian bahan bakar yang digunakan. Jika seorang pengusaha sukses mengucapkan “saya memulainya dari nol”, maka akan tergambarkan bagaimana gigihnya ikhtiar sang pengusaha yang tak kenal menyerah dan rela jatuh-bangun sehingga bisa sukses di kemudian hari. Jika kita menimbang sesuatu, maka kita akan percaya dengan hasil timbangan itu jika jarum penunjuknya berawal dari angka nol.

Pada kenyataannya, konsep “dimulai dari nol” tidak hanya berkorelasi dengan fakta matematis dan konkret seperti di atas. Lebih mendasar lagi, konsep ”dimulai dari nol” pun sudah diisyaratkan dalam al-Quran sehingga konsep ini merupakan nilai universal yang berlaku pada setiap aspek kehidupan kita. Pada ranah yang paling fundamental, konsep ”dimulai dari nol” tercermin dalam kalimat tauhid ”Laa ilaaha illa Allah”.

Frase ”La ilaaha” dalam kalimat tauhid adalah sebentuk penihilan (an-nafyu) atau me-nol-kan atau mengarahkan jarum penunjuk penghambaan diri kita pada posisi nol. Pe-nol-an ini adalah upaya untuk membersihkan jiwa dan raga kita dari penghambaan yang tidak benar dan menghilangkan semua ketergantungan kepada tuhan-tuhan yang tak layak di sembah. Setelah bersih, baru disambung dengan frase ”illa Allah” (al-itsbaat). Melalui frase ini, jarum penunjuk penghambaan yang sebelumnya berada pada posisi nol/netral diarahkan agar menunjuk pada tujuan yang benar, yakni Allah swt. Pengarahan kepada tujuan yang benar ini tidak berangkat dari angka selain nol, karena pengarahan ini harus terjaga kemurniannya sejak pertama kali ia bergerak. Saudaraku, apakah mungkin kita menyeduh air murni pada gelas yang di dalamnya sudah tercampur bubuk kopi atau teh, atau bahkan gula sekalipun? Bukankah air murni hanya bisa didapatkan pada gelas yang sebelumnya kosong tak berisi?

Posisi nol pada konteks kalimat tauhid melambangkan pembersihan, penyucian, kejujuran, dan kegigihan seorang hamba untuk memurnikan penghambaan dirinya kepada satu-satunya Dzat yang patut disembah. Padanya terwujud ketenangan hati, seperti—meski tidak sebanding—pembeli yang merasa tenang karena timbangan dari sang penjual benar-benar dimulai dari angka nol. Padanya terwujud kegigihan hati, kepuasan hati dan rasa memiliki yang luar biasa terhadap satu-satunya Tuhan, seperti—meski tidak sebanding—sang pengusaha yang meraih kepuasan batin dan rasa memiliki yang prima terhadap usahanya yang dirintis dengan gigihnya mulai dari nol.

”Dimulai dari nol” : langkah pertama dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan

Konsep ”dimulai dari nol” yang nafasnya dihembuskan dari kalimat tauhid seyognyanya menjadi teladan dalam sikap hidup kita, terutama dalam rangka menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan. ”Dimulai dari nol” pada hakikatnya adalah pangkal strategi dalam setiap pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Karena itu, langkah pertama yang mesti kita ambil ketika menemukan suatu masalah kehidupan adalah justru dengan tidak melangkah sedikitpun, dengan berhenti sejenak, dengan tidak melakukan apapun pada pertama kalinya; bukan dengan tergopoh-gopoh memikirkan bagaimana solusinya, bukan pula dengan langsung merumuskan urut-urutan tindakan untuk memecahkan masalah tersebut. Berhentilah sejenak dan ”mulailah dari nol”. Hal ini merupakan upaya untuk menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan menyiapkan energi yang cukup untuk beralih ke langkah selanjutnya. Jika demikian, maka upaya perumusan strategi pemecahan masalah insya Allah akan terasa lebih mudah dan keputusan yang diambil cenderung lebih efektif serta efisien karena diawali dengan kemurnian hati dan pikiran yang berada di ”posisi nol” sebelum melesat dengan cepatnya.

Jadi, jika Anda menemukan masalah pelik yang terungkap dalam suatu rapat/forum diskusi, janganlah bertindak apapun sebelum Anda luangkan waktu untuk diam sejenak sambil menyunggingkan senyum. Anda tidak hanya berupaya menenangkan hati Anda sendiri, tapi Anda pun berperan untuk menularkan emosi positif kepada orang lain melalui senyuman Anda. Jika seseorang tiba-tiba marah pada Anda, maka sempatkan diri Anda untuk diam sejenak; turunkan emosi Anda hingga ”menunjuk pada angka nol” sebelum Anda memutuskan untuk menanggapi amarah itu. Anda tidak hanya sekedar beritikad untuk menuntaskan kemarahan orang itu, tetapi sebenarnya Anda juga sedang melapangkan hatinya agar tersedia jalan yang cukup lebar bagi Anda berdua menuju solusi terbaik.

Tunggu apa lagi sahabat, mari kita latih diri kita untuk ”memulai dari nol” dari sekarang .