Ahmad Fikri Adriansyah
Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur
Pagi itu tak seperti biasanya. Adalah seorang ibu yang duduk di atas kursi kayunya, memandangi dengan seluruh jiwa dan raga, putra satu-satunya. Ada yang berbeda dari pandangan itu. Sebuah harapan terpancar dari raut muka ibunda, yang senyumnya menghangatkan kening sang putra, seorang pemuda yang tengah berlari, menuju kedewasaan akal dan hatinya.
Ibu, apakah yang seharusnya paling diharapkan seorang manusia, sepertiku?
Anakku sayang, setiap manusia, tidak hanya engkau, memiliki harapan-harapan yang sama… Wujudnya boleh jadi berbeda, tetapi hakikatnya sama saja.
Apakah itu, Ibu?
Engkau, Ibu sendiri, dan siapapun yang hadir di dunia ini mengharapkan dua kebahagiaan. Kebahagiaan pertama adalah ketika engkau mendapatkan karunia dari Tuhanmu, sementara Dia mencintai dan ridha kepadamu sehingga Dia memberikannya dengan penuh cinta dan kerahiman-Nya. Engkau pun menyadari bahwa pemberian itu adalah tanda cinta-Nya.
Anakku, bisakah kau bayangkan bagaimana engkau diberikan emas dan perak seukuran bumi, lalu ditambah lagi seukuran bumi. Namun, yang memberikan emas dan perak itu terlebih dahulu menginjak-injak kepalamu sebagai syarat atasmu. Apakah engkau akan menerimanya ataukah engkau menerimanya dengan sepenuh hati, atau bahkan engkau tak peduli sebab injakan itu segera diganti emas dan perak?
Apakah itu yang lebih baik, ataukah jika suatu hari engkau berjalan di siang hari yang terik. Dahagamu tak tertahankan lagi, menunggu sejuknya air untuk membasahi kerongkonganmu sementara pundi-pundi airmu telah kosong dan uangmu tak bersisa. Lalu datang seseorang yang iba padamu. Ia lantas memberikan segelas air untuk kau minum. Ia tersenyum kepadamu penuh keikhlasan. Engkau meneguk air itu dengan semangat sampai rona merah kembali menghiasi wajahmu. Tak lama kemudian, apakah hanya dahaga di sepanjang kerongkonganmu yang hilang? Tidakkah hilang dahaga di hatimu, berganti kegembiraan atas senyuman dan pancaran keikhlasan yang engkau terima?
Anakku sayang, jika demikian, apakah emas dan perak itu lebih berharga daripada segelas air yang kau minum?
Ibu, jika demikian, tentu segelas air lebih berharga bagiku meski emas dan perak lebih mahal jika dijual di pasar-pasar.
(Sang ibu tersenyum) Anakku…memang begitulah. Tidak sedikit manusia yang menilai dari apa yang tampak, apa yang berwujud. Inilah yang membuat mereka tak kuasa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang diuji. Mereka tak sadar bahwa kaki-kaki mereka berpijak di dalam lingkaran fitnah. Anakku, emas dan perak memang mahal, tetapi apalah artinya itu semua jika diberikan dengan penghinaan dan berbalut kebencian. Anakku sayang, berlindunglah kepada Allah agar engkau tidak termasuk orang-orang yang dianugerahi perhiasan dunia yang dengan perhiasan itu Allah bermaksud mengazab mereka. Sesungguhnya Allah telah berfirman mengenai orang-orang yang munafik :
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk mengazab mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah 55)
Anakku sayang, betapa sengsaranya orang-orang yang ditipu oleh harta dan keturunan mereka, sementara Allah tidak menyukai mereka. Semburat bahagia dan gelak tawa hampir tiap hari mewarnai wajah mereka, tetapi engkau tidak tahu apakah hati mereka juga bahagia, apakah hati mereka juga tertawa. Kalau tidak hari ini hati mereka menangis, maka suatu hari mereka akan menangis di atas tumpukan harta dan di dalam pelukan anak-anak mereka.
Ibuku, apakah salah menjadi manusia yang kaya dan banyak keturunannya?
(Sang ibu tersenyum). Tidak anakku, tidak salah menjadi orang kaya dan tidak salah pula memiliki banyak keturunan. Bukankah mustahil bagimu untuk berjihad dengan harta, ketika tiada sepeserpun yang kau punya. Tidakkah sejuk hatimu, ketika anak-anakmu menjadi qurratu a’yun yang meneruskan perjuanganmu. Anakku, manusia bersalah ketika ia melupakan Dia Yang Menganugerahinya harta dan anak-anak. Anakku sayang, betapa indahnya suasana ketika Allah memberikan dengan penuh cinta dan ridha kepadamu. Sedikit atau banyak tetap penuh keberkahan. Sedikit atau banyak tetap penuh dengan mashlahat. Dan betapa semakin indahnya, ketika engkau pun menyadari bahwa pemberian itu tanda cinta-Nya sehingga engkau tetap waspada dalam kesyukuran dan penghambaan, tenang dalam persangkaan baik kepada-Nya, dan semakin kencang engkau berlari meraih sebagian karunia-Nya. Dan puncaknya, betapa bahagianya dirimu ketika Allah memuliakanmu dengan sebutan ”hamba-Ku” lalu menghadiahi kebahagiaan akhirat kepadamu.
Ibu, aku telah memahami nasihatmu, tetapi apakah salah ketika aku merasa, berat sekali meraih kebahagiaan pertama ini, bukan aku tak ingin, tetapi karena syaithan jin dan syaithan manusia tak pernah berhenti menggodaku.
Anakku, sesungguhnya Ibu pun merasakan hal yang sama. Tiada yang bisa meringankan, tiada yang bisa memudahkan, selain Allah. Semoga kita selalu mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya.
Ibu, lantas apa kebahagiaan yang kedua?
(Sang ibu menghela napas) Anakku sayang, kebahagiaan yang kedua adalah ketika engkau mampu memberi dengan penuh cinta dan keikhlasan kepada orang-orang di sekitarmu sehingga engkau menjadi manusia yang bermanfaat dan tak ternilai. Sedikit atau banyak yang kau beri, tidaklah menjadi ukuran kebahagiaanmu, tetapi keikhlasan dan rasa cinta yang mengiringinya, itulah yang menjadikan kebahagiaanmu berlipat ganda. Tahukah engkau anakku, berapa harga sepiring nasi rames yang kau hidangkan kepada sang tamu yang bertandang ke rumah kita?
Hmmm...kalau dihitung-hitung, harganya enam ribu rupiah.
(Sang ibu tersenyum) Anakku, jika sang tamu membayar enam ribu rupiah kepadamu. Apakah akan engkau terima?
Hihi...ibu bisa saja nih...ya enggak saya terima dong, bu. Kan, rumah kita bukan warteg.
Bagaimana jika ia membayar lima puluh ribu rupiah, engkau tertarik anakku?
Emmm...sepertinya tetap tidak tertarik, bu.
Tampaknya masih kurang ya, bagaimana kalau satu juta rupiah untuk sepiring nasi rames?
Ibu ada-ada saja. Sepiring nasi rames itu kan, bukan untuk diganti dengan uang, bu.
Anakku, jika engkau tak mengharapkan uang, bagaimana jika sang tamu menggantinya dengan satu unit mobil Jaguar terbaru?
He..he...kalau dikasih mobil Jaguar sih mau banget, tapi kalau ada embel-embel bahwa mobil itu sebagai pengganti nasi rames, rasanya aneh aja, bu. Entah mengapa, aku pikir itu tidak pantas.
Anakku, engkau tidak mau menerima uang dan engkau pun segan menerima Jaguar itu sebagai pengganti sepiring nasi rames. Lalu, apa yang sebenarnya engkau harapkan? Jika sang tamu bertanya kepadamu apa yang engkau inginkan sebagai pengganti nasi rames, bagaimana jawabanmu? Waduh...aku bingung harus jawab apa jika ditanya seperti itu. Aku jadi berpikir, apa kira-kira maksud Ibu memberikan permisalan ini?
(Sang Ibu tersenyum) Anakku, semua orang yang normal pasti merasakan hal yang sama jika mereka berada di posisimu. Engkau tidak mau menerima enam ribu rupiah, lima puluh ribu rupiah, satu juta rupiah, bahkan mobil Jaguar sekalipun sebagai pengganti sepiring nasi rames karena harga nasi rames itu sudah tak ternilai lagi.
Apakah yang membuat nasi rames itu tak ternilai, bu?
Bukan karena kelezatannya, bukan karena kandungan gizi di dalamnya, dan bukan pula karena banyaknya. Nasi rames itu tak ternilai karena merupakan pemberian darimu yang penuh cinta dan keikhlasan. Sekecil dan sesedikit apapun yang engkau berikan, ketika diberikan dengan cinta dan keikhlasan, maka seketika itu pula tiada satu makhluk pun yang mampu menilai apa yang engkau berikan, bahkan dirimu sendiri. Seketika itu pula, nilai fisik pemberianmu seolah-olah menjadi tak berarti. Seketika itu pula, hanya Allah yang mampu menilainya secara hakiki dan...siapa yang lebih baik dari Allah dalam menilai dan membalas amal hamba-hamba-Nya? Maka tidaklah heran jika engkau tidak menerima sebesar apapun pembayaran atas pemberianmu, karena tak akan sanggup menyamai nilai apa-apa yang engkau berikan. Anakku, bahkan sebenarnya engkau bisa memberikan yang tak ternilai tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun.
Apakah itu, Ibu?
Senyumanmu. Ya, tersenyumlah kepada mereka yang berjumpa denganmu. Dengan senyum itu, semoga terbetik sedikit kedamaian di hati yang melihatnya atas izin Allah. Dengan senyum itu, semoga hati yang terbakar amarah menjadi tenang kembali atas kehendak-Nya. Dengan senyum itu, semoga menjadi washilah hidayah Allah untuk hati yang terpapar penyakit atau hati yang keras membatu. Masihkah ada yang lebih berharga daripada kedamaian, ketenangan, dan hidayah dari Allah? Anakku, betapa bahagianya engkau jika bisa memberikan sesuatu yang tidak ternilai. Seorang milyuner bisa memberikan segudang emas dan perak, sesuatu yang tetap saja ternilai. Bukankah engkau sejatinya lebih kaya dari milyuner itu, jika engkau bisa memberikan yang tak ternilai? Dan bukankah engkau lebih berbahagia darinya sebab yang engkau berikan jauh lebih berharga, bahkan kau pun tak sanggup menghargakannya? Dan tidaklah seseorang memberikan sesuatu yang tak ternilai, kecuali ia menjadi pribadi yang tak ternilai pula.
Anakku sayang, betapa indah balasan dari Allah bagi pribadi-pribadi yang tak ternilai... (Tanpa terasa air mata terderai, membasahi pipi sang ibu. Tersedu-sedu sang ibu ketika melanjutkan kembali kata-katanya) Betapa.....kebahagiaan pribadi yang tak ternilai tak hanya berlimpah di dunia, tetapi juga berujung pada kebahagiaan di akhirat kelak, seperti halnya kebahagiaan pertama. Allah berfirman dalam al-Quran:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan .Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati . (Al-Insaan 8-11)
(Kini, giliran sang putra yang menitikkan air mata)
Anakku sayang...mengapa engkau menangis? Apakah karena engkau melihat air mata di pipi Ibu?
Ibu, aku menangis karena memikirkan diriku... Selama ini, boleh jadi aku belum memberikan dengan ikhlas, boleh jadi aku belum memberikan dengan cinta...sehingga apa yang kuberikan, mungkin saja tak bernilai sama sekali di sisi Allah...
Anakku, cinta dan keikhlasan kita adalah rahasia Allah. Tiada satupun makhluk di langit dan bumi yang dapat mengetahuinya kecuali Allah mengizinkan. Jangan menyerah anakku sayang. Tugasmu, tugas Ibu, dan tugas kita semua adalah hanyalah berusaha terus dan terus berusaha untuk menggapai cinta dan keikhlasan itu...kemudian, cukuplah Allah menjadi penolong kita dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Semoga Allah merahmati kita semua.
Ibuku, ada lagi yang ingin aku tanya, tapi.... sebenarnya aku malu...
Anakku sayang, mengapa harus malu dengan ibumu sendiri?
Baiklah, bagaimana pendapat Ibu tentang seorang pendamping hidup?
(Sang ibu tersenyum melihat putranya yang agak menunduk) Anakku, Ibu yakin engkau sudah tahu bagaimana perihal seorang pendamping yang tepat untukmu. Ibu yakin, engkau pun paham bahwa yang bersatu di dalam mahligai bukan hanya engkau dengannya, tetapi juga Ibu dengan ibunya, ayahmu dengan ayahnya, saudara kandungmu dengan saudara kandungnya, kerabatmu dengan kerabatnya. Anakku sayang, setelah engkau paham semua itu, Ibu hanya ingin mengingatkan satu hal. Semoga pendamping hidupmu adalah sosok yang mampu menjagamu.
Maksud Ibu? Bukankah aku yang harus menjaganya?
(Sang ibu tersenyum lagi) Anakku, bukanlah karena dia wanita, lantas dia tak wajib menjagamu. Engkau menjaganya adalah hal biasa, tetapi ketika ia mampu menjagamu, itu adalah...hal yang mungkin luar biasa. Aku semakin tidak mengerti Ibu. Apakah maksudnya menjaga kehormatan dan hartaku? Menjaga amanat sebagai ummun wa rabbatul bait dan menjaga kehormatan serta hartamu adalah memang kewajiban pendamping hidupmu. Namun, menurut hemat Ibu, semua itu bermula dari kemampuan untuk menjaga tingkah lakunya agar tak menjadi fitnah bagimu. Engkau pun wajib menjaga tingkah lakumu agar tak menjadi fitnah baginya.
Anakku sayang, tabiat lisan seringkali menceritakan tingkah laku. Ketika lisanmu tidak menjadi telaga yang sejuk baginya, maka mana mungkin kau bisa menghilangkan dahaga kasih sayangnya. Begitu pula dirinya, pendamping hidupmu. Jika lisannya begitu mudah untuk menyebarkan rahasiamu atau rahasia orang lain, menikmati pembicaraan yang belum tentu benar dan salahnya, maka bagaimana mungkin ia mampu menjaga amanatmu, bagaimana mungkin ia mampu menjadi ummun warabbatul bait, bagaimana mungkin ia mampu menjaga kehormatan dan hartamu, sementara ia tak mampu menjaga “kehormatannya” sendiri. Kalaupun ia berhijab dengan sempurna, maka hijabnya tak kan mampu menutupi ketajaman lisannya. Bahkan tak mustahil, nak, lisannya yang tajam itu akan mengoyak-ngoyak hijabnya sehingga seolah-olah dia tak berhijab lagi.
Semoga Allah melindungi kita dari keganasan lisan kita sendiri. Semoga Allah merahmati lisan kita sehingga tabiatnya senantiasa menyejukkan. Semoga Allah berkenan menjadikannya tempat peraduan orang-orang yang merindu kasih sayang.
Terimakasih Ibu... Temani aku selalu dengan doa dan keridhaanmu. Ya Allah, ampunilah dosaku, dan dosa kedua orang tuaku. Rahmatilah keduanya, ya Allah, sebagaimana mereka mendidikku semasaku kecil...