22 Juli 2008

PROTESIKLIK

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen dakwah dan Ukhuwah

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur


Hmmmpppphh…Huuufff…. Menarik napas panjang dan melepaskannya sambil melemaskan badan hampir setiap hari kita lakukan. Maksudnya bukan untuk olahraga atau pun bermalas-malasan, tetapi merupakan ekspresi fisik dari ruhani kita yang prihatin. Prihatin merenungi dosa-dosa sendiri dan prihatin melihat orang-orang yang senangnya bermain saja.

Kita melihat para pemimpin negara yang senangnya bermain dengan kekuasaan. Sebelum terpilih, mereka meyakinkan diri dengan slogan-slogan penuh semangat, seolah berusaha menghangatkan rakyat dengan cahaya ketulusan hati mereka. Mereka yakin, sebagian rakyat pun yakin, sebagian lagi meragukan, dan sebagian lagi apatis alias masa bodoh.

Kita tak boleh berburuk sangka kepada mereka, dengan terburu-buru menganggap janji-janji mereka hanya dagelan semata. Namun, boleh jadi kita merasa lelah, karena sudah berulang kali kita menelan pil janji pendahulu mereka yang terasa pahit. Karena itulah, mari kita doakan saja mereka agar tak melupakan kata-kata mereka sendiri. Meski berat, ayo kita kuatkan langkah mereka dengan doa dan kepercayaan kita. Semoga itu menjadi setitik harapan agar Allah swt menjaga mereka dalam amanah dan menerangi jalan mereka dengan cahaya petunjuk-Nya.

Demikianlah kecenderungan fisik manusia. Manusia semakin lapar ketika semakin banyak makan dan semakin haus ketika semakin banyak minum,…dan semakin miskin ketika semakin banyak harta yang dimiliki. Ketidakpuasan, inilah satu-satunya frase yang dikenal oleh aspek tanah diri manusia. Aspek tanah ini tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan hanyalah dimiliki oleh aspek langit dalam diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa fenomena pergeseran aspek langit ke aspek tanah dalam diri manusia telah lama menjangkiti manusia, mulai dari rakyat biasa hingga para pemimpin mereka. Karena para pemimpin yang sering tampil di depan publik, maka fenomena pergeseran itu lebih sering dikaitkan dengan tingkah laku mereka.

Sebelum menjadi apa-apa, ketika masih berlomba meraih kemenangan, dan pada momen-momen awal setelah sumpah jabatan itu terucap, (mungkin) hanya aspek langit-lah yang menyelimuti jiwa dan raga mereka. Seiring waktu berjalan, para syaithan semakin gencar mengadu domba antara aspek tanah dan langit dalam diri mereka. Sebagian dari mereka takluk hingga aspek tanah yang disponsori syaithan berhasil menginjak-injak aspek langit. “Dunia” mereka telah berbalik, bukan lagi “tanah yang beratapkan langit”, tetapi “langit yang berlangitkan tanah”. Langit mereka tidak lagi berhiaskan bintang, tetapi malah berhiaskan binatang tanah. Mulai saat itulah, berbagai penyimpangan tinggal menunggu waktu untuk dikuak, diprotes oleh mahasiswa, dihujat, dan dijebloskan ke penjara (kalo hakimnya tidak “kasihan” sama mereka). Kasihan para pemimpin, karena tidak ada yang mengasihani mereka setelah itu…

Saya jadi berpikir, betapa “membosankan”-nya realita itu. Saat muda dan masih mahasiswa, mereka mengumbar idealisme putih dan panji-panji kebenaran. Saat mapan dalam kekuasaan, idealisme itu luruh perlahan dan panji kebenaran pun jatuh dari genggaman tangan. Kemudian, mereka diprotes oleh anak-anak muda yang tak lain, adalah gambaran diri mereka di masa lampau. Apakah nanti anak-anak muda yang memprotes mereka akan juga diprotes oleh para mahasiswa masa depan? Pertanyaan yang menyedihkan ini seolah menjadi penegas bahwa rantai siklus protes (protesiklik) adalah suatu keniscayaan. Si A akan diprotes oleh “anak”nya yang bernama Si B. Kemudian, Si B akan diprotes oleh “anak”nya yang bernama Si C. Demikianlah seterusnya hingga hari kiamat tiba.

Mungkinkah kita memutus rantai protesiklik?? Sebelum menjawab ini, saya mencoba memosisikan diri sebagai pihak yang melakukan protes dan pihak yang diprotes. Jika saya menjadi pihak yang melakukan protes, maka kehidupan saya relatif “lurus”, apa adanya, dan tidak disibukkan dengan berbagai polemik, siasat, dan kepentingan sana-sini yang bernilai ratusan juta rupiah atau bahkan lebih. Singkatnya, saya tidak perlu berpusing-pusing ria dengan segala fitnah yang membuat mata menjadi “hijau”. Saya pun merasa bisa menjaga diri dengan kadar keimanan yang “segini” dan kalaupun berbuat dosa, umumnya tidak sampai terjerembab ke jurang korupsi dan kolusi yang merugikan rakyat banyak serta bermewah-mewahan seraya berdiri di atas kepala kaum dhuafa.

Hmm… selanjutnya saya membayangkan jika saya menjadi pihak yang diprotes. Otak saya tidak hanya penuh dengan janji-janji dan program-program yang begitu mulia, tetapi berseliweran pula di sekelilingnya, lintasan-lintasan hati yang berwujud jutaan lembar kertas persegi panjang bergambar George Washington atau Ki Hajar Dewantara. Aahh…berat sekali rasanya otak ini. Godaannya sungguh ruaarrr biasa. Saya pun membatin: Kalau saya masih punya kadar keimanan yang cuma “segini” dan tetap “segini” saja, mampukah saya mempertahankan janji dan program-program mulia itu di otak saya? Mampukah saya menahan diri agar tidak tergiur dengan jutaan rupiah dan dolar itu? Tidaaaak, tidak mungkin!

Sebelum saya menjadi penguasa, mungkin nilai godaan itu cuma 5 dalam skala 10 dan keimanan saya pun kira-kira bernilai 5 sehingga kondisinya cukup ‘aman’. Namun, saat ini, ketika pangkat dan kekuasaan bertumpuk di pundak saya, nilai godaan itu melesat hingga 10, dan keimanan saya masih bernilai 5 atau bahkan turun drastis setelah kalah telak dalam perang melawan syaithan. Secara matematis saja, jelas tidak mungkin bagi saya untuk mempertahankan idealisme saya sendiri. Lebih lagi, perkara godaan dan iman sebenarnya tidak bisa di-matematiskan sehingga mungkin nilai godaan itu jauh lebih besar dan keimanan itu jauh lebih rendah lagi.

Dari sinilah saya memikirkan dua hal terkait dengan upaya memutus rantai protesiklik. Pertama, bahwa kita harus lebih arif dalam mengkritisi dan memprotes para penguasa/pejabat. Ketika mengkritik atau memprotes, maka sebenarnya tanggung jawab terbesar dari kritik dan protes itu kembali ke diri kita sendiri: apakah kita mampu menjaga diri agar TIDAK menjadi SEPERTI MEREKA pada saat kita mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan mereka kelak? Pertanyaan ini secara logis sangat mudah dijawab oleh kita. Kebanyakan kita pasti menjawab “SUDAH” atau “YA” saat ini, tetapi nanti? Apakah kita tetap menjawab dengan jawaban yang sama?

Kedua, bahwa kesadaran kita untuk memegang dan menjaga amanah kepemimpinan dan kekuasaan tidaklah berada dalam konstelasi logika. Siapa di antara para penguasa itu yang belum tahu bahwa korupsi itu adalah suata dosa? Kemudian, siapakah di antara mereka yang tidak diajari oleh ibu kandung mereka bahwa “mencuri itu tidak boleh”? Selanjutnya, adakah di antara mereka yang ketika kuliah diperkenankan oleh dosen mereka untuk saling mencontek saat ujian? Dan, berapa banyak di antara mereka yang belum mengikuti penataran/pendidikan/pelatihan mengenai kepemimpinan yang baik dan benar? Meskipun mereka cerdas, intelek, dan bahkan ada juga yang pintar ilmu agama, ternyata itu semua tidak menjamin bahwa mereka tidak akan mengkhianati kepercayaan rakyat. Jelas sudah, bahwa kekuatan logika bukanlah satu-satunya kekuatan, bahkan seringkali tak berdaya, dalam membangun kesadaran menjaga amanah. Akal yang mengharamkan pengkhianatan tidak akan berdaya dan akhirnya menunduk patuh pada Hati yang memerintahkan kita untuk berkhianat.

Lantas, konstelasi apakah yang melingkupi dan mengendalikan kesadaran untuk menjaga amanah? Saya yakin Anda dan kita semua sudah tahu, dialah konstelasi keimanan. Konstelasi keimanan terkait dengan rendah atau tingginya keimanan dalam hati kita. Ketika iman kita sedang rendah, maka peluang berbuat dosa pun semakin besar. Sebaliknya, saat keimanan kita memuncak, maka pintu perbuatan dosa semakin merapat dan amal shalih pun mudah tercipta. Karena itu lah, kita semua yang akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, berkewajiban mengorientasikan diri agar grafik keimanan kita terus menaik positif. Keimanan adalah nutrisi bagi pohon diri kita yang terus tumbuh tinggi menjulang agar tetap lurus ke atas dan kuat menahan angin godaan yang semakin kencang.

Jadi, mungkinkah kita memutus protesiklik? Mungkin saja, jika kita bertanggung jawab atas kritik dan protes yang keluar dari mulut kita sendiri. Refleksi dari tanggung jawab itu adalah sejauh mana kita merapatkan diri selalu dalam konstelasi keimanan.

Saudaraku,

Kita harus terus berlatih untuk sadar bahwa keimanan berada di hati. Hati adalah raja diri, tempat segala keputusan akhir mengenai tingkah laku kita bermuara. Apapun yang diminta oleh Akal dan yang dihasut oleh Syahwat, hanya akan terbukti dalam perbuatan setelah Hati memberikan atau tidak memberikan “cap” persetujuan. Kita lah yang memilih siapa yang akan menggerakan Hati kita, apakah keimanan atau syaithan. Semoga kita dimudahkan oleh Allah SWT.

Wallahu a’lam...

KEKUATAN DOA

Oleh:

Ir. Naba Aji Notoseputro .
(
Direktur Akademi- akademi BSI)

Suatu waktu ada sebuah pesawat tempur dengan 2 (dua) orang pilot yang sedang terbang di atas laut tiba-tiba saja mengalami kerusakan mesin. Secara cepat pilot kemudian berupaya mencari pulau terdekat untuk mendaratkan pesawat tersebut. Akhirnya dengan susah payah, pesawat tersebut berhasil mendarat di laut dan kedua pilot berenanglah menyelamatkan diri menuju pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Kedua pilot yang selamat tersebut tak tahu apa yang harus dilakukan karena seluruh peralatan yang ada telah rusak terendam air. Namun keduanya yakin dan percaya bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Allah. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling ‘makbul’ (dikabulkan), kemudian mereka sepakat untuk untuk saling berpisah menjauh menuju sisi-sisi pulau yang saling berseberangan.

Setelah beberapa hari menunggu di sisi-sisi pulau yang saling berjauhan dan menunggu bantuan atau tim penolong tiba, mereka mulai merasakan lapar dan haus yang amat sangat. Kemudian pilot pertama mulai berdoa agar ia diberikan makanan. Tanpa disangka keesokan harinya, begitu pilot pertama bangun ia telah mendapatkan sebuah pohon yang penuh dengan buah. Tetapi, nun jauh disisi pulau yang lain pilot kedua tidak merasakan hal tersebut.

Setelah mengetahui bahwa Allah maha mengabulkan, kemudian pilot pertama mulai berdoa memohon untuk diberikan makanan, pakaian, rumah dan segala macam yang ia butuhkan. Keesokan harinya, seperti ada keajaiban saja, maka semua yang ia minta telah tersedia dihadapnya. Sedangkan pilot yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.

Akhirnya, dengan sangat khusyu bercampur haru pilot pertama mulai berdoa agar ia diselamatkan dari pulau tersebut untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Pagi harinya ia telah mendapatkan sebuah sampan tertambat di sisi pantai, lengkap dengan perbekalannya.

Segera saja pilot pertama segera naik ke atas sampan dan bersiap-siap berlayar untuk meninggalkan pulau tersebut. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan temannya (pilot kedua) di pulau tersebut.

Menurut pilot pertama, memang temannya tersebut (pilot kedua) tidak pantas menerima pemberian Allah, karena doa-doanya tidak pernah dikalbulkan. Begitu pilot pertama hendak berangkat, ia mendengar suara menggema dari langit. “Wahai pilot pertama, mengapa engkau tega meninggalkan temanmu di pulau ini?”. Kemudia pilot pertama menjawab, “Berkah-Mu hanyalah untukku, ya Maha Agung, karena hanya doakulah yang Engkau kabulkan. Doa-doa temanku itu tidak pernah Engkau kabulkan, maka ia tidak pantas untuk mendapatkan apa-apa”.

Kemudian pilot pertama kembali berujar, “Katakanlah ya Allah, doa macam apa yang ia panjatkan kepada-Mu, sehingga aku harus berbagi keberkahan dan ridho-Mu atas semua ini kepadanya?”. Kemudian terdengar suara menggema, “Teman mu, hanya berdoa agar semua doa mu dikabulkan”.

Jadi kesombongan dan keserakahan macam apakah yang memuat kita menganggap bahwa hanya doa-doa kita yang terkabulkan oleh-Nya?. Tak selayaknyakah? kita mengabaikan peran orang lain, yang selalu dengan ikhlas berdoa untuk kesuksesan kita. (Renungan Ramadhan).

ILMU DAN IMAN

Mardanih

Kader Pimpinan Cabang

Pemuda Muhammadiyah Jagakarsa


lmu dan iman merupakan suatu kesatuan yang seharusnya tidak terpisahkan, karena apabila suatu ilmu tidak disertai dengan iman maka hal tersebut akan cenderung melampaui batas, salah satu contohnya ialah ketika Darwin mencetuskan suatu teori tentang asal usul manusia yaitu pada asalnya manusia itu berasal dari kera, hal tersebut jelas-jelas apabila dilihat dari kaca mata iman merupakan suatu penyimpangan yang melampaui batas.

Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan fitrah yang bersih dan mulia di dalam diri setiap manusia, kemudian melengkapinya dengan bakat dan sarana pemahaman yang baik yang memungkinkan untuk manusia mengetahui kenyataan-kenyataan besar di jagat raya ini. Ilmu yang diperoleh manusia semestinya dapat membuahkan penanaman aqidah dan pendalaman keimanan yang tulus kepada Allah SWT. Keimanan merupakan kebutuhan fitrah setiap manusia di dunia ini disamping merupakan kebutuhan akal manusia. Manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan ini karena ia telah ditanamkan di dalam dirinya, dan manusia sendiri diciptakan dengan fitrah itu dan tidak hanya manusia yang di ciptakan dengan fitrah tersebut tetapi seluruh alam raya ini diciptakan dengan fitrah keimanan kepada Allah SWT.

Dalil atau ayat yang berkaitan dengan hal tersebut terdapat di dalam surat Al-A’raf:172 dan surat Al-Isra: 44:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “mereka menjawab, ‘’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).” (QS Al-A’raf: 172)

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah SWT. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Al-Isra’:44)

Hakikat hubungan antara ilmu dan iman adalah ilmu diikuti oleh iman secara langsung tanpa jeda, dan iman diikuti oleh gerakan hati yang tunduk dan khusyuk kepada Allah SWT. Dengan demikian ilmu akan membuahkan keimanan dan keimanan akan membuahkan kekhusyukan dan sikap taat dan tunduk kepada-Nya. Islam sendiri memerintahkan kepada manusia untuk berfikir (menggali ilmu sebanyak-banyaknya), tapi tentu saja tidak melampaui batas kemampuan manusia itu sendiri, hal tersebut dikarenakan kemampuan manusia terhadap ilmu atau segala sesuatunya ada batasannya atau sedikit, karena yang maha sempurna dan maha mengetahui tentang segala sesuatu di jagat raya ini hanyalah Allah SWT.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu adalah urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS Al-Isra’:85)

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman, ”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami, Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman, “Hai Adam beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS Al-Baqarah:31-33)

Di dalam Al-Qur’an sendiri banyak sekali ungkapan-ungkapan yang berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang menandakan bahwasanya umat islam diwajibkan untuk berfikir untuk mencari tahu segala sesuatu yang tentu saja tidak melampaui batas kemampuan manusia itu sendiri, salah satu contohnya ialah di dalam Al-Qur’an banyak sekali ungkapan-ungkapan yang berbentuk pertanyaan, seperti tidakkah kalian berpikir? Tidakkah kalian memikirkan? Tidakkah kalian perhatikan? Tidakkah mereka memperhatikan? Tidakkah mereka berpikir? Ada juga ungkapan seperti bagi kaum yang memikirkan, bagi kaum yang mengetahui, dan bagi kaum yang berpikir. Tidak diragukan lagi bahwasanya Al-Qur’an dengan anjuran untuk memperhatikan dan berpikir yang diulanginya beberapa kali menjadikan aktifitas studi dan penelitian dalam berbagai bidang sebagai sebuah keharusan bagi umat Islam, selain itu juga Rasulullah SAW bersabda bahwasanya mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Oleh karena itulah Islam mewajibkan kepada umat untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya seperti peribahasa yang telah diungkapkan oleh Rasulullah SAW “Tuntutlah ilmu walau harus ke negeri China”.

Apabila saat ini umat manusia dapat menyeimbangkan antara ilmu dan iman maka tentu saja kehidupan sekarang ini bisa dipastikan akan menjadi lebih baik dibanding dengan sekarang ini. Tetapi yang terjadi saat ini adalah tidak seperti yang diharapkan, kesenjangan ekonomi dimana-mana, penindasan terhadap sesama manusia dimana-mana dan masih banyak lagi yang lainnya, sedangkan para penguasa yang notabenenya merupakan orang-orang yang berpendidikan (berilmu) lebih mementingan nafsu duniawinya (kepentingan individunya) dari pada kemaslahatan umat pada umumnya. Padahal jabatan atau kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat umat yang harus dijalaninya dengan sebaik-baiknya dan harus amanat, hal tersebut terjadi karena ilmu yang dimiliki oleh para pemegang kekuasaan tersebut tidak dibarengi dengan keimanan, yang menyebabkan kebejatan moral para penguasa tersebut yang hanya memikirkan kepentingan individu dan golongannya sendiri.

Oleh sebab itulah ilmu dan iman harus terus berjalan berdampingan, agar tidak melampaui batas, dan agar tercipta keseimbangan, karena apapun bentuknya apabila tidak diiringi dengan kekuatan iman maka akan melampaui batas yang tidak hanya merugikan satu orang saja tapi juga akan membawa kemudharatan bagi umat…

Semoga kita semua senantiasa dapat memadukan ilmu dan iman yang kita miliki agar senantiasa tercipta keseimbangan diantara keduanya, yang Insya Allah dapat membawa kemaslahatan kepada diri kita sendiri dan umat pada umumnya. Amin Allahuma Amin

Referensi :

· Al-Qur’an Nulkarim