26 Oktober 2008

Quo Vadis Keislaman Kita

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah

Tebet Timur


Pada suatu sesi pengajian Ramadhan 1427 H, penceramah yang juga seorang wirausahawan, KH. Toto Tasmara, menyampaikan pertanyaan yang menggelitik ketika beliau memulai ceramahnya. Dengan santai beliau bertanya kepada peserta pengajian, “Yang hadir di sini, semuanya muslim?” Kontan saja, sebagian besar hadirin menyunggingkan senyum dan tergelak mendengar pertanyaan sang ustadz. Mereka kemudian menjawab dengan kompak, “Yaa…”. Tawa-tawa kecil pun ikut meramaikan jawaban tersebut.

Pertanyaan sang ustadz menjadi unik karena terkesan sekedar guyonan. Pasalnya, dapat dipastikan bahwa semua yang hadir di sesi pengajian Ramadhan itu beragama Islam, minimal tertera kata “ISLAM” di KTP mereka. Namun, “dugaan” para peserta pengajian tersebut tampaknya tidak sepenuhnya benar. Ustadz Toto menyambung pertanyaan pertama itu dengan bertanya lagi kepada para peserta, “Siapa yang bilang Anda itu muslim?”

Pertanyaan yang kedua pada intinya mengajak seluruh yang hadir di sesi pengajian itu untuk merenungkan kembali label muslim yang mereka kenakan. Ustadz Toto kemudian menjelaskan bahwa yang menyebut diri kita muslim, yang menyebut bahwa diri kita adalah orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, adalah diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Kemudian, beliau bertanya lagi, “Apakah kita yakin bahwa Allah juga bilang bahwa kita adalah muslim?”

Saudaraku,

Kita harus optimis, tetapi kita sama sekali tidak bisa menjamin bahwa segenap predikat positif yang melekat pada diri kita adalah demikian adanya menurut Allah swt. Begitu pula, ketika kita menyebut diri kita orang yang berislam dan beriman. Kebenaran keislaman dan keimanan kita pada akhirnya kembali kepada penilaian mutlak dari Allah swt, bukan dari siapapun selain-Nya, apalagi dari kata “ISLAM” yang tertera pada kartu identitas kita. Oleh karena itu, sangatlah tidak layak bagi kita untuk merasa “sombong” dengan keislaman kita, merasa diri kita paling benar dalam keislaman kita, apalagi sampai menilai keislaman orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, predikat sebagai muslim bukan sekedar bagaikan lencana yang kita pakai lantas otomatis orang lain mendefinisikan diri kita sesuai makna lencana itu, tetapi predikat ini haruslah berkolerasi dengan ikhtiar terus menerus untuk membuktikan bahwa kita pantas disebut sebagai muslim, dan pada akhirnya ditujukan agar Allah berkenan mengakui keislaman kita.

Kondisi yang kemudian mengemuka adalah bukan dari sisi pengertian kita terhadap konsepsi “kebenaran mutlak” mengenai keislaman dan keimanan kita itu. Artinya, sebenarnya kita sudah mengakui bahwa hanya Allah yang bisa menilai apakah memang benar kita berislam dan beriman. Kita pun sudah dan terus berikhtiar untuk memperbarui syahadat kita sebagai gerbang penyerahan diri kita kepada Allah. Namun, kondisi yang akhirnya memunculkan masalah di tubuh umat Islam adalah pada saat kita terjebak dalam atribut keislaman kita, yakni ketika kita terlena dengan sebutan “muslim” dan merasa cukup dengan “pakaian luar” keislaman kita. Hal ini selanjutnya menjadikan kita lengah dan, tanpa kita sadari, membuat ucapan dan prilaku kita ditafsirkan sebagai upaya untuk menilai keislaman orang lain.

Keterlenaan kita dengan sebutan “muslim” dan perasaan cukup dengan “pakaian luar” keislaman sebenarnya adalah isu klasik yang sudah sangat sering diangkat di berbagai forum pengajian. Hal-hal yang termasuk di dalamnya antara lain: Pertama, kita mengakui bahwa Islam adalah the way of life, tetapi dalam pelaksanaannya, masih terliht berbagai fenomena yang menunjukkan bahwa Islam masih sebatas the way of worship; Kedua, simbol-simbol keislaman menjadi parameter favorit untuk menstratifikasi “tingkat keshalihan” seseorang sementara aspek-aspek substansialnya seringkali terlupakan atau mungkin sengaja dilupakan.

Islam sebagai the way of life berada pada tataran idealisme yang mungkin tidak selalu mudah untuk diimplementasikan, tetapi pasti menjadi cita-cita kita semua. Sementara itu, islam sebagai the way of worship justru menjadi hal yang sangat mudah untuk dicerna dan dipahami karena notabene terlihat oleh mata kepala (seperti ritual shalat, zakat, haji, dll). Islam sebagai the way of worship pada hakikatnya adalah konsepsi yang berada di konstelasi Islam sebagai the way of life. Orang yang menjadikan Islam sebagai the way of life secara otomatis telah mendudukkan Islam sebagai the way of worship, tetapi tidak sebaliknya. Orang yang menjadikan Islam sebatas the way of worship adalah mereka yang hanya berorientasi pada ibadah yang bersifat ritual. Sebagai contoh sederhana, kita tak pernah absen shalat lima waktu, tetapi sebagian dari kita pun seringkali absen kuliah tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, telat datang ke kantor atau kampus, malas belajar, malas bekerja, malas berprestasi, tidak profesional dan hal-hal negatif lainnya.

Paradigma yang hanya mengorientasikan Islam sebagai the way of worship selanjutnya mempengaruhi persepsi kita terhadap pemakaian simbol-simbol keislaman. Kita cenderung mudah untuk mengatakan atau minimal beranggapan bahwa orang yang sering memakai baju koko, wanita yang berjilbab dengan baik, orang yang selalu membawa mushaf al-Quran kemana-mana (kecuali ke kamar kecil), orang yang sering berdzikir dan mengaji di masjid sebagai orang-orang yang shalih (atau seringkali disebut “alim”). Hal ini sama sekali tidak salah dan sangat amat wajar serta relevan. Namun, berawal dari kesan wajar inilah kita kadangkala terlena sampai akhirnya terjebak di dalam pakaian luar keislaman kita sehingga di antara kita ada yang sampai men-cap bahwa orang-orang yang tidak seperti mereka adalah muslim yang tidak shalih. Pada titik inilah, kita, baik sadar maupun tidak, telah menstratifikasi “tingkat keshalihan” seseorang, padahal hanya Allah yang memiliki hak stratifikasi itu.

Satu fenomena lagi yang kerap membuat saya prihatin dan geram terkait dengan stratifikasi keshalihan adalah kebiasaan penggunaan sapaan “ikhwan” dan “akhwat”. Kedua istilah ini memiliki akar makna yang sama, yakni ”saudara”. Namun, saya mengamati kecenderungan bahwa sebutan “ikhwan” dan “akhwat” masing-masing telah menjadi monopoli muslim dan muslimah yang berafiliasi dengan institusi atau lembaga dakwah Islam. Seolah-olah, para muslim dan muslimah yang berada di luar lingkaran komunitas itu tidak berhak disebut “ikhwan” atau “akhwat”. Seolah-olah, seorang muslim harus aktif di organisasi dakwah terlebih dahulu kalau mau disebut “ikhwan”; seolah-olah, seorang muslimah harus berjilbab dengan sempurna terlebih dahulu kalau mau disebut “akhwat”. Seolah-olah, sebutan “ikhwan” dan “akhwat” menjadi representasi status sosial yang tidak serta merta dimiliki oleh setiap pribadi yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Padahal, selama seseorang mengaku muslim dan beriman, berarti dia adalah saudara kita sesama muslim dan berarti pula kita berhak menunjukkan semangat persaudaraan kita dengan menyapa “wahai, akhii” atau “wahai, ukhtii” kepadanya.

Perkara penyebutan “ikhwan” dan “akhwat” di atas memang hal kecil dan terkesan sepele, tetapi tidak sepenuhnya demikian menurut saya. Jika kita tidak berhati-hati dengan hal kecil tersebut, saya khawatir hal itu secara perlahan akan semakin mengeksklusifkan para aktivis dakwah di masyarakat. Keeksklusifan ini pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi efektivitas aktivitas dakwah itu sendiri.

Saudaraku,

Jika kita terlena di balik pakaian luar keislaman kita, maka mungkin kita akan lupa untuk memberikan apresiasi positif kepada para muslim yang selalu tepat waktu, muslim yang profesional, muslim yang bekerja keras dan cerdas, terlebih lagi jika mereka tidak selalu akrab simbol-simbol keislaman. Boleh jadi, mereka lebih suka memakai kemeja dan mencukur jenggotnya dibandingkan mengenakan koko dan memanjangkan rambut di dagu; boleh jadi, jilbab mereka tetap menutup aurat dengan baik meskipun ujungnya tidak sampai segaris dengan lutut. Bahkan, mungkin mereka baru saja belajar memakai jilbab di tengah desakan hebat tren jilbab modis yang sedikit-banyak mengaburkan pemahaman sebagian muslimah mengenai syariat penutupan aurat wanita.

Saudaraku,

Uraian singkat yang dikemukakan pada baris demi baris di atas, insya Allah, sama sekali tidak diniatkan untuk menyudutkan atau mendiskreditkan para muslim dan muslimah yang akrab dengan simbol-simbol keislaman, tetapi semoga menjadi salah satu bahan untuk merefleksikan kembali jati diri keislaman kita.

Simbol-simbol keislaman, bagaimanapun, adalah sarana pertama yang paling mudah bagi orang untuk mencitra kepribadian kita sebagai muslim atau muslimah. Lebih jauh, sebagian besar simbol-simbol itu pun adalah bentuk aktualisasi dari perintah Allah dan rasul-Nya. Beragam ibadah ritual pun sudah semestinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian kita. Namun, hal-hal tersebut tentu saja belum cukup. Yang jauh lebih penting dan tentu saja lebih berat adalah mengimplementasikan nilai-nilai ruhiyyah yang kita raih darinya di dalam kehidupan bermasyarakat (hablum min an-naas). Dalil yang menjadi landasan semangat kita untuk kaaffah dalam berislam sangat banyak kita temukan di al-Quran. Salah satunya yang sangat populer adalah pernyataan Allah yang disebut berulang kali di dalam Kitab-Nya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih”… Saya memahami “amal shalih” secara luas sebagai implementasi terbaik dari nilai-nilai keimanan yang terpatri di dalam hati.

Dengan demikian, semoga Allah menganugerahkan kekuatan kepada kita untuk berikhtiar terus menerus agar Islam benar-benar menjadi the way of life kita, menjadi kepribadian kita, dan tidak sekedar pakaian belaka.

Islam sebagai the way of life adalah cita-cita kita semua. Dalam perjalanan kita menuju cita-cita itu, tak terhitung badai godaan yang menerjang kita. Salah satu godaan yang mungkin jarang kita sadari adalah kecenderungan untuk tergesa-gesa menilai keislaman orang lain dari aspek lahiriyah baik secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak. Semoga Allah memberikan kekuatan bagi kita untuk menyelamatkan diri daripadanya. Salah satu senjata yang Allah anugerahkan kepada kita adalah perenungan terhadap ayat-ayat pamungkas dari surat Al-Ghasyiyah:

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan…

Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,

Tetapi orang yang berpaling dan kafir,

Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar

Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,

Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab (menilai) mereka

Pada akhirnya, semoga refleksi terhadap jati diri keislaman kita menjadi bekal untuk menjawab dengan tegas dan tepat pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Quo Vadis, Keislaman Kita?

Wallahu a’lam…


Tidak ada komentar: