23 Desember 2008

ETIKA POLITIK IBN TAYMIYYAH


Oleh: Okky Tirtoadhisoerjo

Koord.kelompok studi Kedai Pemikiran

Aktivis Nurcholish Madjid Society(NCMS)

Pendahuluan

Etika atau filsafat moral merupakan bagian teoritis dari filsafat. Filsafat (baca: etika) teoritis ini membicarakan atau menyoal akar keberadaan sesuatu. Dalam pada itu, apa yang dimaksud dengan filsafat moral atau sebut saja etika, sejatinya merupakan suatu bidang keilmuan yang bersifat khusus sebagaimana yang disebut Magnis sebagai “einzelwissen schaften” (Suseno,2003: 10) dimana topik pembahasannya adalah tema- tema seputar hal-hal atau ideal- ideal yang normatif. Berkenaan dengan itu, apa yang dimaksud dengan etika politik merupakan suatu bagian ilmu politik yang bersifat khusus dan memiliki kekhasannya sendiri sebagaimana ilmu-ilmu selainnya. Apa yang dimaksud dengan etika politik ialah suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis dan juga normatif. Saya katakana demikian sebab memang dalam kapasitasnya sebagai ilmu teoritis, etika politik hanya bermain pada bidang- bidang yang menyoal hal-ha yang berkenaan dengan politik dalam bingkai normativisme etika.

Karakter demikian itu merupakan bagian inheren dan juga immanen dalam diri etika politik sebab memang ia berada dalam ranah normativisme etika yang berbicara dalam kerangka layak dan atau tidak layak, bukan dalam bingkai benar dan atau salah. Artinya bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, etika politik membahas tentang apa yang seharusnya, apa yang layak, dan apa yang semestinya dilakukan berkenaan dengan dunia politik. Diantara pembahasan pokok yang diangkat ialah perrihal otoritas. Dalam etika politik ,otoritas dimaknai sebagai suatu kewenangan yang terlembaga. Selain itu etika poitik juga mengangkat pembahasan perihal asal muasal kedatangan otoritas tersebut.

Dalam hal ini, kita mengenal istilah legitimasi kekuasaan, yang dimaksud adalah pembahasan seputar dari mana datangnya hak kuasa satu phak atas pihak lain dan apa alasan yang melatari sehingga lahir pengakuan terhadap kekuasaan tersebut. Dalam kajian etika politik, terdapat beragam tipologi legitimasi kekuasaan. Ada legitimasi religius kekuasaan, yakni suatu konsep tentang penerimaan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain atas dasar doktrin religiusitas yang bersifat devine. Magnis meliat bahwa kelemahan dari teori ini adalah rawannya terjadi ”kebocoran” dengan mengklaim bahwa apapun yang dilakukan penguasa merupakan ”mandat langit” sehingga ketika terjadi kesalahan pun sang penguasa tidak berkewajiban menyerahkan pertanggungjawaban(Suseno,2003:48). Menurut saya, ini sangat merugikan bagi pihak yang berada dibawah kekuasaan sebab apapun yang dilakukan penguasa adalah suatu hal yang tak boleh dipertanyakan pertanggungjawabannya, sehingga rawan terjadi malpraktik kekuasaan. Otoritas berubah menjadi otoritarianisme atas nama mandat langit dimana penguasa mengklaim dirinya sebagai zilalillah fil ardh (bayang-bayang Tuhan di bumi).

Pada kesempatan ini saya akan mengetengahkan pandangan Ibn Taymiyyah berkenaan dengan tema etika politik yang mengerucut pada pembahasan seputar legitimasi kekuasaan dalam panadangan Ibn Taymiyyah yang juga merupakan konsep pemikiran politik beliau tentang dasar pendirian suatu negara.

Pemikiran Politik

Dalam peta pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan kedalam kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran beliau yang bercorak rigid dalam menafsirkan ajaran agama yang tertuang dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang merupakan representasi kalangan fundamentalis literal (Isfunlit, meminjam istilah Haidar Bagir) atau skripturalis. Kategorisasi ini benar ketika kita berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang berkenaan dengan doktrin keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain sebagainya. Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam domain sosial politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya sekularitas Ibn Taymiyyah ini justeru lahir dari rahim fundamentalisme literal yang dianutnya, bukan dari liberalisme.

Artinya bahwa pandangan Ibn Taymiyyah dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler tersebut lahir dari pemahaman beliau terhadap teks suci yang beliau taafsirkan secara rigid. Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal pendirian negara, berbeda dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa tidak perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada gilirannya ada sebuah negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah dinamika sosial politik yang menghendaki negara tersebut berdiri, bukan merupakan hasil dogma agama. Sebab dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun yang menyuruh mendirikan negara Islam (lihat.Khan,2001:69). Dalam karyanya, Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang cenderung pada paham anarkisme(tanpa negara).

Menurut Ibn Taymiyyah, kendati pada akhirnya, tegaknya negara Islam dapat membantu Islam itu sendiri, namun mendirikan negara Islam bukan merupakan bagian dari pokok ajaran melainkan hanya hasil dari fenomena atau proses sosiologis. Menurut saya disini letak perbedaan beliau dengan Khawarij. Bahwa Ibn Ttaymiyyah tidak menolak berdirinya suatu negara Islam, hanya saja yang beliau persoalkan adalah problematik legitimasi kekuasaannya.

Legitimasi kekuasaan: religius atau moral?

Di awal pembahasan telah kita singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa yang kita inginkan atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu pembenaran atau alas an penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang dikuasai atas kekuasaan pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan tersebut legitimate. Bentuk dari legitimasi kekuasaan ini beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi religius dan legitimasi etis yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih spesifik semisal legitimasi moral etis, legitimasi tradisional, rasional legal, dan lain sebagainya.

Membahas hal ini, ada yang menarik dari pemikiran Ibn Taymiyyah. Sebagai tokoh yang termasuk dalam kategori fundamentalis, idealnya beliau termasuk pemikir politik Islam yang setuju terhadap konsep legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis lain semisal al-Mawardi, al-Maududi, Khomeini, dan lain semacamnya. Dalam pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya merupakan representasi Ilahiyah yang mengemban tugas- tugas langit. Dalam kapasitas ini, penguasa tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi pembelokan otoritas dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa despotik yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Ini telah terjadi pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu’awiyah yang memerintah atas nama Ilahi namun sewenang-wenang dalam otoritasnya. Dalam posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk mempertanyakan pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan karena memang konsep legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan adanya pertanggung jawaban penguasa atas rakyatnya.

Mengenai hal yang berkenaan dengan legitimasi ini, Ibn Taymiyyah berpandangan bahwa dasar legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah doktrin religiusitas. Sebab dalam pandangannya, Islam tidak pernah menyuruh untuk mendirikan negara. Menurut Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun dalam Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mendirikan negara Islam. Ini bukan berarti ia menolak negara Islam. Namun kalau toh pada gilirannya negara Islam itu berdiri, maka yang menjadi dasar legitimasinya bukanlah Islam itu sendiri melainkan legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom up). Kesadaran dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni rakyat merasakan dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan kehidupan sosial rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa disejahterakan, maka semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan tersebut.

Konklusi

Dari sini saya coba menarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Taymiyyah, legitimasi moral lah yang ia anggap layak diterapkan mengingat itu menguntungkan ummat. Ini tercermin dalam pernyataan beliau yang dikutip Qamaruddin Khan : ”kesejahteraan ummat tidak dapat terwujud melainkan dalam sebuah tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung. Dan oleh karenanya masyarakat membutuhkan seorang untuk mengatur mereka” (Khan,2001:58). Dari pernyataan ini jelas bahwa yang menjadi titik tekan bagi Taymiyyah adalah problem sosial, ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan karenanya pemikirannya lebih cenderung pada legitimasi etis moral kekuasaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.