29 April 2008

SETETES EMBUN PADA KESEJATIAN YANG TERLUKA

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur


Buat saya yang awam, eksistensi profil pemimpin sejati di negeri Indonesia ini benar-benar menjadi sesuatu yang sangat langka. Apa yang tertulis di media cetak, tergambar dan terdengar dari media elektronik, atau terlihat oleh mata kepala, tak pernah jemu membuat hati kita miris. Hampir seluruh media massa dan realita itu mengisyaratkan, ketika banyak orang yang merana akibat bencana, terlilit kemiskinan dan kebodohan dalam kungkungan “lingkaran setan” struktur sosial-ekonomi yang begitu menjepit, para pejabat negara yang juga (katanya disebut) pemimpin bangsa malah terperangkap dalam intrik-intrik politik yang menyesakkan dada, “ribut-ribut” pembagian kekuasaan, sibuk mengundang para VOC baru untuk menguras kekayaan negeri sendiri, dan memulai manuver-manuver politik untuk menjemput peluang sukses pada pemilu 2009padahal masih banyak problem bangsa hingga tahun 2007 ini yang belum jua terselesaikan.

Dalam skala dan hierarki yang non-strategis, kita pun tak kalah prihatinnya. Lihat saja bagaimana para pejabat negara tampak tersenyum dalam kemewahan yang di luar kepantasan, tergoda oleh insting dasar manusia yang tak pernah merasa kaya dan puas sehingga kenaikan gaji, komisi, pendapatan, fasilitas, atau apalah namanya itu, dianggap sebuah kewajaran (atau mungkin sebuah keharusan?). Tanpa merasa risih, di antara kenaikan itu ada yang dipertontonkan kepada publik dengan alasan bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar terhadap tugas-tugas kenegaraan. Sebagian dari mereka bahkan tak kuasa menahan desakan syahwatnya sehingga korupsi pun tak terelakkan. Kita lihat pula, bagaimana aturan protokoler yang menyertai para pejabat digulirkan. Warga sipil dianggap wajar menikmati kemacetan dan efek pemutarbalikan aturan rambu-rambu lalu lintas, tetapi tidak demikian untuk para pejabat setingkat gubernur hingga presiden. Sebab, bagi mereka, semua sudut dan lajur di jalan raya harus menjadi jalan bebas hambatan. Alasannya memang sangat logis : supaya mereka tidak terlambat dalam menunaikan tugas-tugas kenegaraan!

Sebagian besar fenomena di atas mungkin bukanlah suatu kepincangan ketika dipandang melalui kacamata hukum positif dan aturan-aturan di negeri ini, tetapi jelas, menjadi fakta yang melukai kesejatian sebuah proses kepemimpinan. Pun demikian, setidaknya kita masih layak untuk berbahagia karena di tengah kesejatian yang terluka itu, ternyata ada potret teladan yang mengharukan sekaligus membanggakan.

Potret yang bagaikan setetes embun segar itu adalah kisah kepemimpinan seorang Hamdan (50), pria lulusan sekolah dasar yang menjadi Kepala Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara. Kisah empatik ini ini disuguhkan oleh harian Republika edisi Jumat, 12 Oktober 2007. Kita akan coba ulas lagi kisahnya pada alinea berikutnya. Namun, izinkan saya dahulu untuk sedikit berseloroh : Wahai para pemimpin negeri, tidak perlulah negara merogoh koceknya hingga puluhan juta rupiah hanya untuk biaya training kepemimpinan Anda. Anda cukup menyiapkan tiket pesawat ke Bengkulu dan menginap beberapa hari di Dusun Penyangkak untuk berguru pada Pak Hamdan.

**

Dusun Penyangkak adalah satu dari sekian banyak daerah yang porak-poranda akibat gempa Sumatera di awal bulan puasa tahun ini. Di dusun ini, banyak rumah warga yang luluh lantak, termasuk rumah Pak Hamdan. Tentu saja setiap warga sangat mengharapkan agar rumah mereka kembali dibangun dan tak mau berlama-lama berteduh di bawah tenda. Meskipun demikian, Pak Hamdan tidak ingin pembangunan rumah keluarganya dinomorsatukan hanya karena ia adalah seorang kepala dusun. “Selesaikan rumah warga dulu, saya belakangan saja”, demikian perintah Pak Hamdan kepada warganya. Tidak hanya masalah rumah, Pak Hamdan pun memilih untuk memastikan bahwa setiap warganya sudah berteduh di bawah tenda sebelum diri dan keluarganya sendiri. Terpal biru yang beliau dapatkan bahkan adalah terpal terakhir dari seluruh terpal yang disediakan untuk warga.

Pak Hamdan juga berhati-hati dalam segenap aktivitas pemberian bantuan atau penggunaan fasilitas yang terkait dengan keluarga dan kerabatnya. Kalau diistilahkan secara populer, Pak Hamdan tak ingin terjebak dalam KKN, apalagi di tengah suasana sulit kala itu. “Dia masih keponakan saya, tolong pengurus posko saja yang memutuskan”, pesannya suatu saat ketika mendistribusikan sembako. Pada kesempatan lain, seorang relawan hendak memakai sebilah papan untuk tiang posko. Pak Hamdan pun melarangnya dengan halus, “Jangan bayari papan itu, pak. Karena dia adik saya, apa nanti kata warga. Lebih baik bapak pakai papan warga saja. ”

Pak Hamdan menjadi sosok yang berupaya menjaga harga diri pribadi dan keluarganya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin warga Dusun Penyangkak. Ia tidak tergoda untuk memanfaatkan “jabatannya” sebagai alat untuk memuluskan dan memprioritaskan pemenuhan keinginan dan kebutuhan keluarganya, bahkan di tengah-tengah bencana, saat semua orang tanpa terkecuali sama-sama membutuhkan bantuan sandang, pangan, dan papan. Ia berusaha menjaga diri dan keluarganya dari fitnah, karena memang jabatan bisa menjadi sumber fitnah dimanapun dan kapanpun. Pak Hamdan dan keluarganya, berusaha menahan penderitaan lebih lama dari derita para warga. Ia akan mengambil paling terakhir, itupun jika masih ada sisa.

Tak hanya untuk diri dan keluarganya, teladan ini ia ajarkan pula kepada warganya. Pada saat, sebagian warga korban gempa di sepanjang jalur Lais hingga Muko Muko mempersempit jalan dengan meminta-minta bantuan, Pak Hamdan melarang keras warganya melakukan itu. “Kalau rezeki kita, pasti tidak kemana. Jangan memaksa orang membantu dengan mengiba-iba. Apalagi memaksa, kemana harga diri kita. Bukannya mereka mau membantu malah segan berhenti memberikan bantuan”, terangnya. Nasihat Pak Hamdan ini berbuah sikap tenang dan bijak para warganya. Meski 90 persen rumah di Dusun Penyangkak hancur total, warga tidak terpancing untuk bertindak anarkis. Pada suatu rapat dengan warga, Pak Hamdan berpesan, “Kita tidak perlu marah pada pemerintah dan bupati. Bukan mereka yang membuat gempa ini. Biar saja, kita urus masalah kita sendiri. Kedatangan pejabat juga tidak akan menyelesaikan masalah. Kita tunggu dengan sabar bantuan pemerintah, sambil kita berusaha bangkit sendiri”. Subhaanallah...

Kearifan kepemimpinan Pak Hamdan yang diiringi oleh kesabaran dan ikhtiar para warganya, ibarat doa mustajab yang mengetuk pintu-pintu keberkahan di langit. Dusun Penyangkak kebanjiran bantuan dari para donatur. Semua warga dusun sudah mendapatkan lebih dari cukup termasuk keperluan lebaran. Pak Hamdan yang mengetahui kondisi ini berusaha mengingatkan warganya agar tidak bersikap egois. Atas persetujuan dari warga, kelebihan bantuan itu didistribusikan ke desa-desa lain. Pak Hamdan memimpin sendiri pendistribusian bantuan itu hingga ke Serangai (satu jam perjalanan dari Penyangkak)

“Kami sudah dapat lebih dari cukup hingga lebaran nanti. Saudara kami di desa lain belum tentu mendapat keberkahan sebesar ini. Semoga ini bermanfaat untuk warga bapak”, ujar Pak Hamdan pada tokoh Desa Kembang Manis, Lais.

**

Demikianlah cuplikan kisah kepemimpinan Pak Hamdan di tengah suasana pasca gempa Sumatera. Boleh jadi, sebagian dari pembaca yang budiman merasa heran dan tak percaya bahwa masih ada sosok pemimpin seperti Pak Hamdan di negeri ini. Kisah Pak Hamdan bukanlah cerita dalam novel, tetapi memang benar-benar ada dan nyata. Meskipun latar kisahnya adalah suasana pasca bencana, kita patut untuk yakin bahwa keteladanan yang ditunjukkan Pak Hamdan itu merepresentasikan kepemimpinannya pada hari-hari biasa dan normal. Bukankah karakter manusia yang sesungguhnya akan terlihat jelas pada saat-saat terjepit dan menderita?

Para pembaca yang budiman, tulisan ini disajikan bukanlah untuk melebih-lebihkan satu pihak dan kemudian mengabaikan pihak lainnya. Kita perlu optimis bahwa masih banyak Pak Hamdan-Pak Hamdan lainnya di berbagai pelosok negeri ini dan tak mustahil ada pula para pemimpin seperti Pak Hamdan dalam lembaga tinggi dan tertinggi negeri ini. Mereka bukanlah pemimpin yang bebas dari kekurangan dan kelemahan, tetapi mereka adalah pemimpin yang perlahan tapi pasti, terus berjuang dengan kekuatannya untuk mengobati luka pada kesejatian sebuah proses kepemimpinan, mengakui kelemahan mereka agar bisa dilengkapi sehingga menjadi hebat tanpa pakaian keangkuhan, menjiwai intisari kepemimpinan sehingga mereka berjaya karena berusaha membahagiakan semua orang, bukan dengan membahagiakan sebagian orang lantas menindas sebagian lainnya.

Siapa pun kita, yang terlibat dalam proses kepemimpinan dimana pun dan kapan pun, perlu mengambil dan mengimplementasikan hikmah dari kisah kepemimpinan orang-orang seperti Pak Hamdan. Tidak mudah menjadi mereka, tapi jejak langkah mereka jelas-jelas merupakan ikhtiar untuk menjadi pemimpin sejati. Semakin sulit menjadi seperti mereka, ketika pangkat dan kekuasaan kita semakin tinggi dan harta kita semakin menumpuk, karena hal-hal inilah yang terus menjadi kendaraan syaithan untuk melesatkan syahwat kita hingga terjerumus ke dalam lembah kecurangan, kepentingan-kepentingan sesaat, pengabaian hak-hak wong cilik, dan bermegah-megahan dalam kemewahan.

Wallahu a’lam bi ash-shawwaab...

* Percakapan dan sebagian pernyataan dalam artikel ini dikutip dari kolom Lirih bertema “Keteladanan Pemimpin dari Kampung Gempa” di harian Republika, Jumat 12 Oktober 2007.


MENGOPTIMALKAN ZAKAT

Sarana Realiasasi Solidaritas Sosial

Muhammad Iqbal
Ketua Majelis Pendidikan Kader
Pimpinan Cabang Muhammadiyah
Tebet Timur

"Dan dirikanlah salat dan tunaikan zakat" (Q.S 2:43)

Oleh Allah zakat disebut dalam al-Qur'an sebanyak 30 kali, 27 di antaranya berhubungan dengan salat. Hal ini menunjukkan urgensitas zakat.

Abu Bakar As-Shiddiq ra. berani mengambil keputusan untuk memerangi mereka yang menahan zakat. Sementara para sahabat lainnya diam. Kalaulah bukan karena posisi zakat. Beliau tak akan memutuskan demikian.

Kewajiban zakat yang beriringan dengan salat memiliki karakteristik yang sama. Yaitu sebagai ibadah yang 'wajibnya' disepakati oleh kaum muslimin. Di samping itu ia mempunyai dimensi sosial sebagaimana salat berjama'ah, yaitu menumbuhkan semangat kesatuan dan solidaritas sosial.

Sebenarnya, yang diinginkan Islam adalah agar kekayaan dan sumber daya alam terkumpul dalam satu tempat dalam tatanan sosial. Tak selayaknya bagi mereka yang memperoleh kelapangan ”karena nasib baik” di atas kebutuhan mereka, kemudian puas menumpuk dan menyimpannya. Semestinya mereka berpikir, mengapa ada di antara mereka yang giat bekerja namun karena kurang baik nasibnya, mereka kekurangan. Mereka perlu uluran tangan. Karena seseorang merupakan unsur dari sebuah tatanan sosial. Pun seseorang bisa disebut kaya karena ada fakir dan miskin.

Tatanan sosial dalam suatu komunitas, ibaratnya bagai sebuah bejana berhubungan. Jika suatu bagian naik, maka seyogyanya bagian yang rendah bisa naik. Jalur hubungan antar anggota masyarakat tersebut di antaranya zakat, di samping ada pintu-pintu pendukung, seperti sedekah, hadiah, hibah dan lain-lain.

Terbukti sistem kapitalis-materialis hanya sebagai jagal strata bawah. Karena hanya akan memunculkan jurang diskriminasi. Si kaya makin kaya, sedang si miskin makin tercekik dengan bunga hutang yang berlipat dari aslinya. Demikian juga sosialis yang terlalu generalis, menyamaratakan kekayaan dan merampas kepemilikan individu adalah 'perampokan' yang berbahasa halus. Di samping merupakan idealisme yang berlawanan dengan fitrah manusia. Perampokan, pencurian, dan pembunuhan merupakan bukti hilangnya kontrol dan keseimbangan tatanan sosial dalam komunitas masyarakat.

Pendidikan dan pembinaan Allah terhadap kaum muslimin lewat zakat bukan hanya berdimensi sosial tapi juga berdimensi spiritual atau mental berupa pembersih jiwa (Q.S al-Taubah:103) juga berdimensi latihan administrasi dan pemerataan harta zakat (Q.S al-Taubah:60).

Sedikit, kita coba merenungi firman Allah Q.S Ali Imran:180. "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil (pelit) dengan harta mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."


Sungguh, apa yang membuat mereka bakhil? Tak lain adalah sebuah kekhawatiran; jangan-jangan harta mereka akan berkurang atau bahkan habis. Lantas bagaimanakah nasib mereka setelah itu. Pola pikir ini terbentuk oleh kehidupan dan arus meterialis. Maka cara dan pola ukur standar yang digunakan menaksir juga meteri.

Memang materi apabila diambil terus akan berkurang. Namun sadarkah mereka bahwa materi ini adalah karunia Allah. Dan hanya di tangan Allah lah hak menambah dan merenungi atau menurunkan berkah dan rahmat-Nya kepada hamba-Nya. Bukankah Allah menjanjikannya? (Q.S Ibrahim:7).

Pola pikir di atas mengkristal karena mareka merasa bahwa merekalah yang mendapatkan kekayaan. Padahal dalam bahasa sunnah Allah, manusia tidak pernah mendapat namun 'menerima'. Mereka hanya menerima pembagian Allah lewat malaikat. Jika logika setiap yang berusaha pasti 'dapat' tentulah tak ada orang miskin dan fakir kecuali yang malas. Sedangkan realita menuturkan bahwa hanya hadh (bagian/nasib) saja yang belum berpihak pada si fakir. Sementara berapa banyak orang kaya karena keturunan, kedekatan, dan persahabatan. Meski ada juga yang start dari titik nol.

Zakat, baik mal (harta) dan fitrah mendidik seorang muslim merasakan nasib saudaranya yang belum beruntug. Setelah ditempa dalam madrasah kesabaran, madrasah perjuangan dan pusat tela'ah al-Qur'an, dan madrasah tahunan 'Ramadhan'.

Sarana yang diberikan Allah adalah terjemah nyata berdimensi sosial setelah manusia terbina dari dalam lewat salat, rutinitas harian yang berfungsi komunikasi vertikal dan lewat puasa, rutinitas tahunan sebagai ajang perlombaan dalam kebaikan. Zakat merupakan dimensi amal yang lebih bersifat interaksi keluar (sosial) di samping, tentunya merupakan ibadah. Karena terbukti ada perbedaan antara zakat wajib, sedekah sunah, hibah, hadiah, dll. Semuanya yang membedakan adalah niat dari seseorang.

Zakat tak lain, merupakan transfer sumber daya alam sebagian anggota masyarakat yang mampu ke saudaranya yang kurang mampu. Ia ibarat memindah sebagian isi dari genggaman tangan kanan ke tangan kiri yang masih kosong atau ada isinya, namun hanya sebutir atau dua butir. Kedua tangan ini adalah anggota tubuh seorang manusia. Demikian juga kedua nasib anak manusia yang berbeda (kaya/miskin) keduanya adalah satu tubuh dalam tatanan sosial.

Hal inilah yang dijadikan sasaran ibadah zakat, sense of solidarity. Inilah yang hilang dari tatanan masyarakat yang tercekoki mode materialis. Yang mengukur harga manusia lewat pangkat dan jabatan, standar kekayaan dan simpanan di bank, cantik dan tampan, dan strata sosial lewat tingginya pendidikan formal. Jarang yang mau mengukur senyawa manusia yang berupa akhlak dan budi pekerti. Kesalahan individulah yang mampu menahan seseorang untuk tidak menelan harta masyarakat meski saat itu ia hanya berteman bangku-bangku kantor.

Zakat adalah model alternatif yang dijadikan masyarakat muslim sebagai refleksi solidaritas yang tidak perlu lagi menggantungkan diri dengan struktur sistem ekonomi ribawi. karena mereka bagaikan satu badan sebagaimana dibahasakan sabda Rasul saw. atau pantulan cahaya ilahi yang membahasakannya lewat Q.S al-Hujurat:10, "sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara". Ikatan imam seorang mukmin dengan mukmin lainnya disamakan dengan ikatan kekeluargaan. Tak heran jika proses berdirinya masyarakat madani di Madinah pertama kali di bangun atas dasar kokohnya ruh ukhuwah (jiwa persaudaraan).


ENERGY AND LIFE SUSTAINABILITY

Zaki Mubarak
Ketua Umum
Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur

One vital element which has important part in civilization development is energy. It has maximizing human being invention and innovation to stimulate development acceleration. From generation to generation, energy consumption has grows and increases adapted with technology and population. Informer times, people were used energy in simple way to full fill their needs. Using of animal in agriculture, human (slave) to lift up the water or rowing a boat, firewood for household needs also wind energy for sailing, proved how important energy in support human life (Yusgiantoro, 2000).

As time goes by, people were found fossil energy from like, oil, coal and natural gas. That makes people make some explorations to find sources in order to provide need of energy which has increase drastically together with rapid population grow. Based on time variable, energy has two classifications, first, renewable resource for example water, air, sunlight, firewood, etc. Second, non-renewable resource for example oil, coal, natural gas, etc.

On the other hands, source of energy is limited and utility of energy has made negative impact for animal, human being, plan and environment. Nowadays, those issues are taking global intention. The core problems are, how to full fill need of energy and to reduce negative impact to protect sustainable of life for now and next generation.

FOSSIL FUELS COME FROM

There are three major forms of fossil fuels: coal, oil and natural gas. All three were formed many hundreds of millions of years ago before the time of the dinosaurs - hence the name fossil fuels. The age they were formed is called the Carboniferous Period. It was part of the Paleozoic Era. "Carboniferous" gets its name from carbon, the basic element in coal and other fossil fuels. The Carboniferous Period occurred from about 360 to 286 million years ago. At the time, the land was covered with swamps filled with huge trees, ferns and other large leafy plants. The water and seas were filled with algae - the green stuff that forms on a stagnant pool of water. Algae is actually millions of very small plants. Some deposits of coal can be found during the time of the dinosaurs. For example, thin carbon layers can be found during the late Cretaceous Period (65 million years ago) - the time of Tyrannosaurus Rex (www.energyquest.ca.gov, …).

As the trees and plants died, they sank to the bottom of the swamps of oceans. They formed layers of a spongy material called peat. Over many hundreds of years, the peat was covered by sand and clay and other minerals, which turned into a type of rock called sedimentary. More and more rock piled on top of more rock, and it weighed more and more. It began to press down on the peat. The peat was squeezed and squeezed until the water came out of it and it eventually, over millions of years, it turned into coal, oil or petroleum, and natural gas (www.energyquest.ca.gov, …).

HISTORY OF ENERGY USED

Everything we do is connected to energy is one form or another. Energy is defined as the ability to do work… Energy is measured in many ways. One of the basic measuring blocks is called a Btu. This stands for British thermal unit and was invented by, of course, the English… Energy also can be measured in joules. Joules sounds exactly like the word jewels, as in diamonds and emeralds. A thousand joules is equal to a British thermal unit… The term "joule" is named after an English scientist James Prescott Joule who lived from 1818 to 1889. He discovered that heat is a type of energy… 1,000 joules = 1 kilojoule = 1 Btu (www.energyquest.ca.gov, …).

Before people, in traditional period, were found fossil energy, they were used natural energy like human and animal energy or water, sun light and wind to support their activities. With those sources, their productivities were low. But people thought were change, based on their experiences, they finally found new energy source and made simple mechanic tools that operated with fossil energy, like coal, in England and then spread to Europe and then exported to Asia.

Many invention were created from the expert, one of them is James Watt who was created steam machine. His creation gave significant impact to Industry Revolution. Even though steam machine was used for windmill and water circulation, the core energy was human energy. That was limited industry production capacity. Due to steam machine invention, it was eliminated (Hart, 1989). Coal was use intensively with growing of steam machine since Industry Revolution (1780’s). At the first time, oil was used for engine lubricant (1860’s) become coal competitor, especially after the price was cheaper… However petroleum used for many households light energy… Natural gas take part in market after long distance transportation technology was developed with cheap price in 1930’s (Yusgiantoro, 2000).

World industry was growing significantly and need more fossil energy to operate the machines. In the same way, technology bring world to modern era which is need huge energy supply. The reality, energy stock to supply the demand is not able in every country. Energy source especially fuel, which are need for every human and industry activities, available in Middle East countries. Because of that, fuel price is very depends from policy and situation from those countries.

In 1973, there was energy crisis because Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), majority members come from Middle East, made embargo for fuel supply. October 17, 1973, Egypt and Syria were succeeded to approach OAPEC, including Arabic countries as OPEC members, made fuel embargo to Israel allies countries. Targets are US, Holland, and European countries as US allies. Those countries were panic and Yom Kippur War was made world energy crisis (Angkasa, 2007). At the end of that year, vehicle drivers in all over the world were queue up in gas station, and crude oil price increase from 3 USD per barrel become more than 13 USD per barrel (Flavin, 1995). In January 1979, Iran Shah was escape from Teheran, after revolution movement for a year by religious leader and secular whose are revolted with corruption by shah’s family and despotic regime (Flavin, 1995). In response to the revolutionary turmoil in Iran, they increased prices again. World oil prices soared from $2.50 to $34 a barrel. The impact on economies around the world was devastating (Roskin, 1994). After that, many oil crisis were happened until the latest oil crisis is today, when the price touch 120 USD per barrel.

Based on that fact, many countries had made some research and development for alternative energy to avoid oil dependency. Nuclear energy is alternative energy which is use in many development countries. It was very potential and has bright future, but world was shocked after some nuclear tragedies in some countries. Three serious accidents have affected nuclear reactor for electricity production through the world… : in Windscale (Great Britain) in 1957, Three Mile Island (United State) in 1979, the last in Tchernobyl (Soviet Union) in 1986. The two among those, Windscale and Tchernobyl were had consequences for population and environment (Mandil, 1996).

ENERGY PLANNING

Before we decide to make a decision, we must make a comprehensive planning. It is very important because we must know how we can apply. Good energy planning can integrate all energy sub-sector, including village energy sector, and related aspects with energy sector as one unity. The related aspects are social-economic, environment, balance of payments, etc. The important ones that must do in energy planning is identifying group of data which is need to energy demand analysis, examine any sources of energy to fulfill the demand, and developing any balance alternative of energy demand-offer. The analysis result used as basic to take decision in energy policy… In general, principal objective of energy planning is to maximize net benefit for economy (Yusgiantoro, 2000).

Daftar pustaka:

Angkasa, The Yom Kippur War October 1973, Jakarta: PT. Gramedia, 2007.

Christopher Flavin dan Nicholas Lessen, Gelombang Revolusi Energi alih bahasa oleh Nicolas Hasibuan dan S. Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.


Claude Mandil, L’energie Nucleaire En 110 Questions, Paris: Le Cherche Midi Editeur, 1996.Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktek, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2000.

Michael Hart, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah alih bahasa oleh Mahbub Djunaeri, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Michael G. Roskin (et al.), Political Science: An Introduction, New Jersey: Englewood Cliffs, 1994.

Internet:

www.energyquest.ca.gov.


13 April 2008

CITY GREEN OPEN SPACE AND MANGROVES FOREST EXISTENCY

Zaki Mubarak
Ketua Umum
Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur

Every second, human activities always move to new level to reach better life quality. In this modern era, people must adapt with quick changes in every part of life. People who lived in capital city, like Jakarta, must be felt that situation. Usually in every capital city, many people from different background and area came to work and reach their dreams. Many villagers come to capital city with that reason. That’s what we called urbanization.

Massive urbanization movement makes a lot of problems for this city. Unbalanced composition between job seekers and field of jobs, high cost life and less income, limited area of residence and huge population, and more, make serious social problems. On the other side, province government, as a side who has power and authority to manage city, trapped in corruption and conspiracy circle. As time goes by, city has complex problems caused by huge population and land abuse.

One of some problems which have significant correlation with city existence and city resident life quality are green open space and mangroves forest. Are they available with balanced proportion or paradox situation that makes us take a deep breath to realize the reality?

The Importance of Them

City green open space and mangroves forest are not only just for city supplement or aesthetics element, but more important, it for balance element to continuation of life. With that important part, province government, people and all city elements must take part to preserve them. As a city resident, we already felt the consequences from treat them badly, like flood, water crisis, erode the sea’s edge, damaged of animal ecosystem, and more.

City green open space is part of a city area open spaces which is filled of plants and vegetations to support direct benefit and/or indirect benefit which is produced from green open space in city that are security, pleasure, wealth, and beauty (IPB, 2005).

City green open space with their soil and trees has multi function to fulfill city resident needs. First, absorb carbon dioxide and preserve oxygen. That’s very useful to eliminate air pollution like smoke from car, motorcycle, factory, etc. It also can reduce global warming phenomena. Second, water preserve. When rain fall to earth, they will absorb and keep it deep inside soil. When people need it, they just grave the soil and find a good quality water to consume. Third, animals and plants ecosystem. With limited area, city is not ideal area for them to life but with green open space, they can survive and growth. Fourth, recreational place. High activities frequency makes city resident, even adult and child, easy to get stress and depression. One of some solution to release the problems is use the green open space or city forest to do some sport activities like jogging, play football, etc. Also for family, they can use it for picnic and family gathering activities.

Mangroves forest also has significant part to make city save from sea disaster. First, beach support area. This is very important to reduce wave negative impact and to avoid aberration. Second, animals ecosystem. Mangroves forest provide place to live for many water animal species and non animal water species, like fish and heron.

REALITY

Terrible, that’s one word to express green open space or city forest and mangroves forest latest conditions. We can see how many land abuse happened surround us. Jakarta Province Government explained there are 302 parks with 105,9 hectare. But, Jakarta Gardens Official expressed, around 250 parks location already change the function, that are 42 locations in Central Jakarta, 27 locations in North Jakarta, 48 locations in West Jakarta, 77 locations in South Jakarta, and 56 locations in East Jakarta (Mokoginta, 2006).

Majority, that lands used for residents and economic place activities for long times. Because of that, people who lived there feel that they are owner of the land. Why they can feel like that? They argued that they also pay the tax to government officials. Actually, what they have paid was not tax but toll. The nearest example is Jalur Hijau in Tebet which already occupied since 1970’s and now more dense become squatter area. Besides that, we can see Hilton Hotel in Senayan was built in green open space or city forest. In academic circle also emerge discussion about base resident legal status in city, that are slum (base, but legal) and squatter (base and lived illegally, usually in neglect land and outskirt of infrastructure way). For second category, province government has a right to condemnation in the name of law without thinking what will happen to the occupants (Herlambang, 2006). In beach area, we can see many mangroves forest areas was reclaimed become luxury residents for the have.

SOLUTION

Those problems must take quick decision and right treatment from province government to reduce negative effects for people and next generation. Every change must take social and economic cost. That is what province government and city resident must face. In reality, many people live in city green open space areas and they won’t go from there. Province government must take quick action and distinct policy, even it not popular, to clean city green open space areas. Condemn and relocate their resident are some of many policy as shock therapy action and to restore city green space core function. It is not only for squatter area but also to luxury resident in beach area. Certainly, that policy must be socialized before execution and also give proper compensation to them.

To avoid that situation in next time, province government should make comprehensive city development plan, arranged by government side, expert and city stake holders (city resident, businessman, etc). Based on that plan, province government makes a policy to manage city comprehensively and distinctly. Focus to completely remove poverty, environment protecting, and increase city productivity called triangle of sustainability according to Serageldin (Nugroho, 2004), consist of aims interaction economic, social and ecology which is complete another and protect one another (Nugroho, 2004).

The important one is province government good will to make and implement it and also city resident paradigm changes about life quality for now and next generation, environment preservation and also city continuation. It never started if all elements never realize and do positive things now, from individual to institutional.

Toll : tariff collected without proper legal authority

IPB – Lab Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian, Ruang Tebuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan, www.

Lukman F. Mokoginta, Nasib Taman Kota Jakarta dalam Politik Kota dan Hak Warga Kota Masalah Keseharian Kota Kita, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006, hal 15.

Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, Pengembangan Wilayah : Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, Jakarta : LP3ES, 2004, hal. 224.

Soerjono Herlambang, Kisah Lapangan Monas, Politik Kota dan Hak Atas Kota dalam Politik Kota dan Hak Warga Kota Masalah Keseharian Kota Kita, Jakarta: PT . Kompas Media Nusantara, 2006, hal. xvi.

Semburat Bahagia di Jalan Dakwah

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur



Apa yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini? Inilah pertanyaan mendasar yang seringkali ditanyakan saat kita merenungi makna hidup. Apa kira-kira jawaban Anda? Tidak peduli siapapun Anda; mahasiswa, karyawan, direktur, guru, supir angkot, koruptor, perampok, penjudi, atau apapun predikat yang Anda sandang, saya cukup yakin bahwa jawaban Anda dan kita semua sama pada intinya. Jawaban itu adalah : Saya ingin BAHAGIA. Ya, mahasiswa giat belajar supaya bahagia; karyawan gigih bekerja supaya bahagia; direktur memimpin dengan seluruh jiwa dan raga agar bahagia; supir angkot rela berpeluh ria mengelilingi kota supaya bahagia; koruptor berpikir mati-matian agar dapat meraup duit secara haram tapi elegan, tidak lain supaya bahagia; perampok rela tidak beristirahat di malam hari agar bisa merampok dengan sukses, itu pun untuk mencari kebahagiaan; penjudi juga begitu, ia rela mempertaruhkan sedikit atau banyak uang yang dimilikinya agar meraih uang yang jauh lebih banyak lagi karena ia ingin bahagia. Kita semua, siapapun kita, ingin bahagia…

Keinginan untuk hidup bahagia adalah salah satu wujud fitrah manusia. Semua orang ingin bahagia, karena bahagia itu menyenangkan, jauh dari kesedihan, dan sangat dekat dengan kenyamanan. Namun, sangat disayangkan apabila fitrah manusia yang satu ini dikotori oleh hawa nafsu dan syahwat yang tak terkendali. Kedua hal inilah yang menjadi kendaraan syaithan untuk membawa kita pada kebahagiaan yang semu, membuat kita lupa akan kebahagiaan yang sesungguhnya, dan menjadikan kita merasa cukup dengan kebahagiaan dunia yang akan hancur binasa. Lain halnya dengan orang yang terus berusaha mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya dalam kerangka ketakwaan kepada Allah swt. Dunia menyuguhinya beribu pernik kebahagiaan, tetapi ia tidak memandangnya, melainkan hanya sebagai anak-anak tangga menuju puncak kebahagiaan. Fokusnya adalah meraih puncak kebahagiaan sehingga ia terus berjalan menuju puncak itu. Ia tidak berhenti pada salah satu anak tangga, tetapi terus mendaki dengan susah payah agar sampai pada kebahagiaan sejati.

Lantas, apakah puncak kebahagiaan itu? Allah telah menggambarkannya dengan indah dalam surat Al-Fajr : 28 dan Al-Bayyinah : 8. Pada kedua ayat ini Allah menjelaskan kondisi orang-orang yang dihadiahi surga sebagai kenikmatan tertinggi, yaitu orang yang ridha kepada Allah dan Allah pun ridha kepadanya. Inilah keridhaan resiprokal yang melahirkan efek berupa kebahagiaan terdahsyat seantero alam semesta! Inilah puncak kebahagiaan itu. Jika anda telah bersuami atau beristri, bayangkan suatu saat Anda berbuat salah kepada suami atau istri Anda. Anda berdua sebenarnya tetap saling mencintai, tetapi boleh jadi saat itu suami atau istri Anda marah kepada Anda karena kesalahan Anda. Pertanyaannya adalah : apakah pada kondisi tersebut Anda berdua bahagia? Saya yakin Anda berdua tetap bahagia. Namun, apakah derajat kebahagiaannya sama dengan kondisi ketika Anda berdua saling mencintai dan tidak marah satu sama lain? Tentu kondisi kedua ini lebih membahagiakan Anda bukan? Inilah analogi sederhana--meskipun jauh dari kesebandingan--dari keluarbiasaan puncak kebahagiaan, yakni ketika Allah ridha pada kita, dan kita pun ridha kepada-Nya. Subhaanallaah...

Meraih puncak kebahagiaan tentu tidaklah mudah, tetapi Allah telah menunjukkan kepada kita jalan menuju puncak tersebut dan bagaimana supaya mampu bertahan dalam perjalanan itu. Segenap aturan yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah jalan menuju puncak kebahagiaan.

Lalu, bagaimana caranya supaya kita mampu bertahan dalam perjalanan itu, atau dengan kata lain, bagaimana supaya kita tetap istiqamah dalam menjalankan aturan Allah dan Rasul-Nya? Jawabannya adalah : DAKWAH.

Mari kita perhatikan dua ungkapan yang terlontar dari lisan para ulama salaf berikut ini. “Seandainya raja-raja dan anak raja itu mengetahui apa yang kami rasakan, pasti mereka menguliti kami dengan pedang untuk mendapatkan kesenangan yang kami miliki.” “Sungguh sengsara sekali orang-orang yang lalai. Mereka meninggalkan dunia ini, tapi mereka belum pernah merasakan kenikmatan yang paling indah di dunia ini.” Hmmm..apa sebenarnya kesenangan yang mereka maksud? Ternyata, kesenangan yang dimaksud adalah DAKWAH. Sungguh menarik sekali, karena ternyata dakwah bagi mereka tidak hanya menjadi sarana untuk mencapai puncak kebahagiaan, tetapi dakwah juga menjadi kebahagiaan itu sendiri. Para ulama salaf itu mengalami saat-saat bahagia yang luar biasa ketika mereka bergelut dalam aktivitas dakwah. Subhaanallaah...

Ungkapan dahsyat para ulama salaf di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa dakwah sebenarnya menjadi “puncak” kebahagiaan para da’i di dunia sebelum sampai ke puncak kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak (bertemu langsung dengan Allah sebagai konsekuensi dari keridhaan resiprokal). Lantas, seperti apakah kebahagiaan di jalan dakwah itu? Kita akan coba merenunginya pelan-pelan pada beberapa rangkai uraian berikut ini.

Sebagian dari kita mungkin masih secara sempit mengartikan dakwah sekedar berbentuk ceramah di masjid, kajian al-Quran dan hadits tiap minggu, tabligh akbar di lapangan besar, dan yang sejenis itu. Ketika kita berpikir sempit seperti ini, boleh jadi kita menganggap bahwa dakwah (berikut kebahagiaan di dalamnya) hanyalah milik para kiyai, guru agama Islam, dan para ulama yang memang secara khusus menekuni ilmu agama Islam. Tidak, anggapan ini sangatlah tidak benar. Kesempatan berdakwah adalah nikmat Allah untuk kita semua. Kita semua, apapun latar belakang pendidikan dan profesi kita, berhak berdakwah. Kebahagiaan di jalan dakwah bukan hanya milik mereka yang sering digelari “al-ustadz”. Kita semua yang mengaku muslim, sangat-sangat berhak dan seharusnya merasakan juga kebahagiaan tersebut.

Mungkin ada sebagian dari kita yang kemudian bertanya: Bukankah dakwah itu ada aturannya, ada prinsip-prinsip dan pedomannya? Ya, ini benar sekali. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan rambu-rambu ini, yang kemudian dirangkum oleh para ulama dalam bab Fiqh Dakwah. Setiap pribadi yang berjalan di jalan dakwah seyogyanya mempelajari dan memahami bab ini. Namun, bagaimana dengan kita yang bahkan membaca bab ini saja belum pernah, apalagi memahaminya,atau merasa belum memiliki ilmu agama yang cukup? Apakah lantas kita merasa tidak perlu atau menganggap diri kita tidak boleh berdakwah? Saudaraku.., semoga kita tidak berpikir seperti ini karena siapapun kita sebenarnya bisa berproses untuk memiliki pemahaman yang komprehensif dan ilmiah tentang dakwah serta terus memperbaiki diri. Hal yang lebih penting dan utama adalah bagaimana kita mengobarkan ghirah (semangat) dakwah dalam diri dan mencintai dakwah itu sendiri. Semangat dan cinta itulah yang selanjutnya memotivasi kita untuk terus berusaha memahami ilmu dakwah dan meningkatkan kualitas penghambaan kita kepada Allah swt. Dan..tahukah engkau wahai saudaraku.., kita akan sangat semangat dan mencintai sesuatu kalau kita paham bahwa sesuatu itu akan sangat membahagiakan kita. Saat kita memahami kebahagiaan berdakwah, semoga semangat dan rasa cinta itu mulai dan akan terus berkobar dalam dada...

Dakwah dalam arti luas berarti mengajak orang lain melalui hikmah dan pengajaran yang baik, agar senantiasa mengesakan Allah serta beramal shalih yang dicintai-Nya sekaligus meninggalkan segala bentuk kemusyrikan, sikap dan perilaku yang dimurkai serta dibenci Allah swt. Ketika diniatkan untuk meraih ridha Allah semata dan berlandaskan kesadaran penuh bahwa mengajak kepada kebenaran adalah amanah tiap muslim, maka setiap perbuatan kita yang sejalan dengan pengertian ini, insya Allah, termasuk dalam kerangka dakwah. Jika demikian, seorang polisi yang bekerja mengatur lalu lintas supaya pengguna jalan berlaku tertib pada hakikatnya telah berdakwah; seorang guru yang mengajarkan ilmunya agar anak didiknya sukses pada hakikatnya telah berdakwah; seorang direktur yang memimpin dengan sebaik-baiknya agar etos kerja anak buahnya meningkat pesat pada hakikatnya telah berdakwah; seorang ibu yang merelakan lebih dari setengah waktunya dalam 24 jam untuk mendidik putra-putrinya pada hakikatnya telah berdakwah; seorang mahasiswa yang memotivasi rekannya agar rajin belajar pada hakikatnya telah berdakwah.. Inilah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa betapa banyak kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk bergelut dalam aktivitas dakwah, meskipun terkadang tidak kita sadari. Jika kita memanfaatkan kesempatan-kesempatan emas itu, maka peluang kita untuk meraih kebahagiaan di jalan dakwah semakin terbuka lebar sehingga kebahagiaan itu menjadi milik kita semua, bukan hanya milik kiyai semata…

Lantas, dimana sebenarnya letak kebahagiaan berdakwah itu? Pada hakikatnya, seluruh bentuk aktivitas dakwah yang kita lakukan dapat membahagiakan kita jika direnungkan dengan sebaik-baiknya. Namun, ada satu hal yang menurut saya menjadi titik pusat kebahagiaan dalam berdakwah. Titik pusat itu adalah “memberi”. Aktivitas memberi dalam kerangka dakwah bukanlah aktivitas memberi yang biasa-biasa saja. Aktivitas memberi tersebut tercakup dalam maksud firman Allah di surat Ash-Shaff ayat 10 dan 11:

Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Kalau kita menjual sesuatu, maka kita memberikan barang kepada pembeli lalu pembeli itu memberikan imbalan kepada kita atas barang tersebut. Analogi inilah yang digunakan Allah untuk menggambarkan perdagangan terdahsyat yang pernah ada! Allah yang membeli (dijelaskan lebih eksplisit dalam surat At-Taubah 111) dan kita yang menjual. Imbalan yang Allah berikan kepada kita adalah sesuatu yang tak ternilai dan tak terbayarkan oleh apapun di seluruh jagat raya ini, yaitu surga (Ash-Shaff ayat 12). Wow, kalau imbalannya surga, lantas apa yang kita jual?? Tentunya sesuatu yang juga tak ternilai. Bukankah tidak mungkin kita memberikan sesuatu yang ternilai lalu mendapatkan imbalan berupa sesuatu yang tak ternilai? Hukum jual beli hanya mengakui transaksi yang dianggap setara; sepotong tempe goreng dihargai 250 rupiah, sebuah Mercedes Benz S-Class dihargai hampir setengah milyar atau bahkan lebih, maka sesuatu yang tak ternilai dihargai dengan sesuatu yang tak ternilai pula!

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “perdagangan” yang dimaksudkan Allah pada ayat di atas mencakup aktivitas “menolong agama Allah” yang disebutkan pada surat Muhammad ayat 7 dan Al-Hajj ayat 40. Berdakwah di jalan Allah adalah ikhtiar yang paling nyata untuk menolong agama Allah sehingga dengan sendirinya ketika kita berdakwah, berarti kita tengah terlibat dalam “perdagangan” terdahsyat itu. Dengan demikian, saat kita berdakwah secara ikhlas, kita sejatinya sedang memberikan sesuatu yang tak ternilai untuk hamba Allah untuk mendapatkan sesuatu yang tak ternilai (surga Allah). Dengan kata lain, nasihat dan ajakan kepada orang lain dalam kerangka dakwah adalah suatu pemberian yang tak ternilai! Subhaanallaah...

Betapa bahagianya orang yang bisa memberikan sesuatu yang tak ternilai, sesuatu yang tidak pantas dibayar dengan ucapan terimakasih, uang, pemberian yang serupa, bahkan dengan seluruh isi alam semesta! Ya, inilah pusat kebahagiaan berdakwah, yakni ketika kita memberikan sesuatu yang tak ternilai. Sesuatu yang tak ternilai bukan berarti tidak punya nilai, tetapi kita tidak sanggup menilainya karena terlalu agung. Sesuatu itu menjadi tak ternilai bukan karena harganya yang mahal secara duniawi atau karena jumlahnya yang banyak, tetapi karena diberikan dengan penuh keikhlasan dalam rangka menghadirkan perubahan yang positif. Orang yang ikhlas dalam memberikan nasihat, mengajak orang lain menuju kebaikan, atau berinfak di jalan Allah tidak pernah mengharapkan balasan dari manusia dalam bentuk apapun, karena secara sadar atau tidak, ia menganggap balasan-balasan duniawi itu tidak akan sanggup membayar apa yang telah ia berikan. Menurutnya, hanya balasan Allah berupa keridhaan dan surga-Nya yang setara dengan nilai perbuatannya itu. Dengan demikian, apa yang diberikan orang ikhlas itu telah menjadi sesuatu yang tak ternilai dan hanya bisa dibalas dengan sesuatu yang tak ternilai pula!.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak ikhlas dalam berdakwah? Orang-orang yang tidak ikhlas dalam berdakwah boleh jadi memberikan hal yang sama dengan orang yang ikhlas. Namun, sayang sekali, ia sendiri (dengan bantuan syaithan) yang menurunkan derajat pemberiannya itu yang seharusnya tak ternilai menjadi ternilai. Hal ini disebabkan ia “menerima” dengan senang hati penilaian manusia terhadap pemberiannya itu. Na’udzubillah min dzaalik...

Saudaraku...,

Sekali lagi, titik pusat kebahagiaan dalam berdakwah berada pada pemberian yang tak ternilai dan ketidakternilaiannya itu hanya bisa diraih dengan keikhlasan. Dari titik pusat itu, keluarlah jari-jari kebahagiaan yang akan membentuk lingkaran keberkahan hidup. Lingkaran itu terus meluas selama kita istiqamah di jalan dakwah. Jari-jari kebahagiaan yang sekarang terlihat mungkin tidak banyak, tetapi kita harus sadar bahwa jari-jari itu sebenarnya berjumlah tidak terhingga, karena titik-titik yang membentuk keliling lingkaran juga tidak berhingga jumlahnya. Semakin luas lingkaran keberkahan, maka secara otomatis jari-jari yang tak berhingga itu pun semakin banyak. Jari-jari kebahagiaan itulah yang membentuk kekayaan hakiki di dunia dan akhirat.

Itulah perumpamaan sederhana tentang melimpahnya keberkahan hidup selama kita berada di jalan dakwah. Keberkahan itu di alam dunia berbentuk keterjagaan dalam keshalihan, ketenangan hati, dan kelapangan rizki. Insya Allah, berbagai bentuk kebahagiaan “kecil” di dunia selama kita berada di jalan dakwah akan membawa kita kepada kebahagiaan “besar” di kampung akhirat kelak. Kebahagiaan “besar” itu adalah keridhaan resiprokal dan surga-Nya yang teramat tinggi. Allaahumma Innaa nas-aluka ridhaaka wal jannah, wa na’uudzubika min sakhatika wa an-naar...

Wallahu a’lam

Daftar Pustaka :

*Al-Quranul Kariim

*Katsir, Ibnu.Tafsir Ibn Kathir (digital format)

*Madjid, Nurcholish.Pesan-Pesan Takwa.2000.Jakarta:Paramadina

*Mahmud.Ali Abdul Halim Mahmud.Dakwah Fardiyah: Metode Membentuk Pribadi Muslim.1995.Jakarta:Gema Insani Press

*Marpaung, Parlindungan. Setengah Isi Setengah Kosong.2005.Bandung:MQS Publishing

*Nursani, Muhammad.Berjuang di Dunia Berharap Pertemuan di Surga.2005.Jakarta:Tarbawi Press

*Setyawan, Palgunadi T. Daun Berserakan Sebuah Renungan Hati.2004.Jakarta:Gema Insani Press

*Yasmin, Ummu. Materi Tarbiyah.2003.Solo:Media Insani Press

Taushiyah di lingkungan Keluarga Remaja Islam Salman (Karisma) ITB




Smart Card, Solusi atau Masalah ?

Andhika Saputra

Ketua Departemen Pengkaderan, Pengembangan SDM dan KOKAM

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur

Saat ini bangsa Indonesia mengalami berbagai macam cobaan dan ujian yang datang terus-menerus. Keterpurukan menyelimuti bangsa ini dan hampir di setiap lini kita mengalami kesulitan mulai dari bencana alam sampai kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada rakyat. Awal Maret, kita dikagetkan dengan adanya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang semakin menyulitkan perekonomian rakyat. Ditambah lagi, naiknya harga minyak mentah dunia yang berada dikisaran lebih dari 100 Dollar (AS) per barel.

Naiknya harga minyak mentah dunia terdapat efek samping cukup besar yang akan dirasakan rakyat Indonesia. Pemerintah tidak sanggup lagi mensubsidi secara penuh BBM, karena harga minyak jauh dari perkiraan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008. Perlu diketahui nilai subsidi BBM tahun anggaran 2008 sebesar 45,8 triliun, kemudian diadakan perubahan APBN 2008 menjadi 102,1 triliun. Menurut Kepala Divisi RITEL BBM Pertamina, Djaelani Sutomo mengatakan, “Saat ini konsumsi nasional pertamax dan pertamax plus baru sekitar 0,5 juta kiloliter/tahun. Bandingkan dengan pemakaian premium yang mencapai 17 juta kiloliter/tahun.” (KOMPAS, 2007). Dari hasil analisis ini, pemerintah harus berupaya keras mengatasi masalah tersebut agar tidak membebani keuangan negara (menghemat anggaran subsidi BBM) dan juga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

Beberapa solusi serta opsi muncul di kalangan pemerintah, yang pada akhirnya solusi yang diambil adalah membatasi volume pemakaian BBM jenis premium dan solar. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian, Boediono, “Pembatasan penggunaan premium adalah langkah efektif yang mungkin bisa diterapkan saat ini.” Untuk membatasi penggunaan BBM jenis premium dan solar adalah dengan cara penggunaan Smart Card (kartu pintar).

Smart Card

Smart card (kartu pintar) adalah stiker yang memiliki kode angka (barcode) diperuntukkan bagi kendaraan pribadi yang menggunakan BBM bersubsidi. Smart card ini ditempel di kaca kendaraan dan bersifat permanen. Sehingga tidak dapat dipindahtangankan atau dicopot. Smart card menggunakan teknologi digital yang semua data-data kendaraan pibadi sudah termuat di dalam komputer dan online 24 jam. Dengan alat kendali ini, pengguna sepeda motor, mobil dan kendaraan umum tidak bisa lagi membeli bensin semaunya.

Reporter SCTV, Jasmine Valentine melaporkan, Rabu (13/02) kemungkinan alokasi premium yang akan diterima konsumen adalah pemakai motor 0,5-1 liter/hari, mobil 4-5 liter/hari dan kendaraan umum disubsidi penuh. (Liputan 6.com, 2008). Jika jatah pembeli hanya 5 liter perhari maka ketika membeli 10 liter harus membayar sisa 5 liter dengan harga lebih mahal.

Total target penghematan penggunaan BBM sebesar 10 triliun dengan pembatasan konsumsi premium dan solar sekitar 7-8 triliun dan untuk minyak tanah sekitar 2-3 triliun. Sedang biaya yang diperlukan untuk smart card sebesar 250 milyar. Rencananya program ini akan berjalan pada bulan Mei atau Juni 2008 di wilayah Jabodetabek dan selanjutnya mencakup seluruh Jawa dan Bali hingga akhir 2008. Sebenarnya ide pembatasan BBM dengan smart card berasal dari Inggris. Ini dimulai tahun 1998 ketika harga BBM naik, di Inggris smart card digunakan untuk mensubsidi rakyatnya yang menderita Fuel Poverty. Fuel Poverty adalah rumah tangga yang menggunakan lebih dari sepertiga pendapatan untuk membeli BBM (untuk listrik, masak dan alat penghangat). Tapi karena kompleksnya masalah, pemerintah Inggris berharap pada 2016 keputusan yang diambil tepat pada sasaran. Dengan begitu, Inggris butuh waktu 18 tahun untuk mengatur semuanya agar subsidi tidak meleset, mengatur infrastruktur dan mencegah kemungkinan penyelewengan dengan segala macam aturan dan ancaman-ancaman hukuman bagi pelanggarnya.

Kontradiksi Smart Card

Diterapkannya smart card, sedikit banyak akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Apalagi jika tidak ada sosialisasi pastinya akan ada kekacauan. Sepintas smart card memang memberikan jalan keluar, tapi sifatnya mancari upaya penghematan BBM jangka pendek. Rencana ini harus diperhitungkan, jangan sampai aksi jangka pendek ini tidak nyambung dengan kondisi jangka panjang. Ini bukanlah langkah bijaksana, banyak masalah yang akan timbul dari diterapkannya sistem ini. Jika perencanaan tidak matang dan pengawasan tidak ketat pastinya banyak terjadi kebocoran dan kecurangan, misal, bisa saja petugas SPBU berbuat curang dengan memberikan BBM bersubsidi lebih dari kuota yang ditetapkan untuk kendaraan. Selain itu distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan lainnya dipastikan terhambat serta ruang gerak pelaku ekonomi jadi terbatas. Sehingga akan terjadi penyeludupan atau pasar gelap premium dan solar dan berbagai macam penipuan atas penggunaan smart card.

Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi melihat pembatasan ini akan berdampak pada perkembangan industri. “Masyarakat akan semakin selektif dalam berbelanja. Mereka akan lebih mengalokasikan uangnya untuk kebutuhan BBM.” (Koran SINDO, 2008). Di Inggris membutuhkan 18 tahun untuk mengimplementasikan smart card, bayangkan di Indonesia yang dalam kurun waktu kurang dari setahun akan menerapkan sistem ini. Sepertinya pemerintah masih terpesona dengan keajaiban Loro Jonggrang yang bisa membangun Candi Prambanan hanya semalam. Hampir dipastikan kebijakan smart card akan bernasib sama bahkan lebih kacau dibanding kebijakan Pemda DKI (Perda Antirokok), Bantuan Langsung Tunai (BLT), POLRI (penggunaan lampu bagi pengguna motor), dll. Semuanya hanya seumur jagung dan menjadi kebijakan “3M” : Menggagas, Melaksanakan dan Menghilang.

Sekretaris Jenderal Komite Indonesia untuk Pengawasan Energi (KIPPER), Sofyano Zakaria, menilai bahwa konversi BBM ke gas lebih efektif daripada pembatasan BBM.“Pengalihan penggunaan BBM ke gas mempunyai dampak sosial lebih kecil daripada pembatasan BBM.” Sehingga selain menghemat anggaran juga mengurangi polusi kendaraan bermotor. Muncul gagasan lain, pemerintah harus menyediakan jasa angkutan umum yang aman, nyaman dan tepat waktu. Jika kita memiliki transportasi publik seperti yang diharapkan, maka kemacetan akan berkurang, menghemat BBM dan udara Jakarta lebih bersih. Ada juga gagasan pemberlakuan pajak BBM bagi pemilik kendaraan lebih dari satu seperti yang sudah diterapkan di Malaysia. Sebenarnya banyak ususlan dari kalangan masyarakat dan DPR tetapi pemerintah kita tidak akomodatif terhadap usulan-usulan tersebut. Sekarang masyarakat tinggal menunggu apa yang akan terjadi. Segala upaya patut dicerca dan dimaki, tapi juga patut kita apresiasi sebagai bukti kesungguhan pemerintah dalam mengusahakan keberlanjutan hidup kita di masa yang akan datang. Pemerintah harus tegas menentukan pihak yang mengimplementasikan dan mengontrol pelaksanaan kebijakan ini agar dapat menghindari praktik manipulasi. Mudah-mudahan segala yang dilakukan pemerintah benar-benar untuk rakyat dan rakyat harus mendukung program-program yang dilakukan pemerintah demi kemaslahatan kita semua. Juga segala krisis yang menimpa bangsa ini dapat segera berakhir dan tuntas. Wallahu‘alam bisshawab…

Daftar Pustaka :

KORAN SINDO, Pembatasan BBM Menyeluruh, Jumat, 08 Februari 2008.

KOMPAS, Sabtu, 1 Desember 2007.

Liputan 6.com, smart card kartu BBM bersubsidi, 2008.