Ahmad Fikri Adriansyah
Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah
Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur
Apa yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini? Inilah pertanyaan mendasar yang seringkali ditanyakan saat kita merenungi makna hidup. Apa kira-kira jawaban Anda? Tidak peduli siapapun Anda; mahasiswa, karyawan, direktur, guru, supir angkot, koruptor, perampok, penjudi, atau apapun predikat yang Anda sandang, saya cukup yakin bahwa jawaban Anda dan kita semua sama pada intinya. Jawaban itu adalah : Saya ingin BAHAGIA. Ya, mahasiswa giat belajar supaya bahagia; karyawan gigih bekerja supaya bahagia; direktur memimpin dengan seluruh jiwa dan raga agar bahagia; supir angkot rela berpeluh ria mengelilingi kota supaya bahagia; koruptor berpikir mati-matian agar dapat meraup duit secara haram tapi elegan, tidak lain supaya bahagia; perampok rela tidak beristirahat di malam hari agar bisa merampok dengan sukses, itu pun untuk mencari kebahagiaan; penjudi juga begitu, ia rela mempertaruhkan sedikit atau banyak uang yang dimilikinya agar meraih uang yang jauh lebih banyak lagi karena ia ingin bahagia. Kita semua, siapapun kita, ingin bahagia…
Keinginan untuk hidup bahagia adalah salah satu wujud fitrah manusia. Semua orang ingin bahagia, karena bahagia itu menyenangkan, jauh dari kesedihan, dan sangat dekat dengan kenyamanan. Namun, sangat disayangkan apabila fitrah manusia yang satu ini dikotori oleh hawa nafsu dan syahwat yang tak terkendali. Kedua hal inilah yang menjadi kendaraan syaithan untuk membawa kita pada kebahagiaan yang semu, membuat kita lupa akan kebahagiaan yang sesungguhnya, dan menjadikan kita merasa cukup dengan kebahagiaan dunia yang akan hancur binasa. Lain halnya dengan orang yang terus berusaha mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya dalam kerangka ketakwaan kepada Allah swt. Dunia menyuguhinya beribu pernik kebahagiaan, tetapi ia tidak memandangnya, melainkan hanya sebagai anak-anak tangga menuju puncak kebahagiaan. Fokusnya adalah meraih puncak kebahagiaan sehingga ia terus berjalan menuju puncak itu. Ia tidak berhenti pada salah satu anak tangga, tetapi terus mendaki dengan susah payah agar sampai pada kebahagiaan sejati.
Lantas, apakah puncak kebahagiaan itu? Allah telah menggambarkannya dengan indah dalam surat Al-Fajr : 28 dan Al-Bayyinah : 8. Pada kedua ayat ini Allah menjelaskan kondisi orang-orang yang dihadiahi surga sebagai kenikmatan tertinggi, yaitu orang yang ridha kepada Allah dan Allah pun ridha kepadanya. Inilah keridhaan resiprokal yang melahirkan efek berupa kebahagiaan terdahsyat seantero alam semesta! Inilah puncak kebahagiaan itu. Jika anda telah bersuami atau beristri, bayangkan suatu saat Anda berbuat salah kepada suami atau istri Anda. Anda berdua sebenarnya tetap saling mencintai, tetapi boleh jadi saat itu suami atau istri Anda marah kepada Anda karena kesalahan Anda. Pertanyaannya adalah : apakah pada kondisi tersebut Anda berdua bahagia? Saya yakin Anda berdua tetap bahagia. Namun, apakah derajat kebahagiaannya sama dengan kondisi ketika Anda berdua saling mencintai dan tidak marah satu sama lain? Tentu kondisi kedua ini lebih membahagiakan Anda bukan? Inilah analogi sederhana--meskipun jauh dari kesebandingan--dari keluarbiasaan puncak kebahagiaan, yakni ketika Allah ridha pada kita, dan kita pun ridha kepada-Nya. Subhaanallaah...
Meraih puncak kebahagiaan tentu tidaklah mudah, tetapi Allah telah menunjukkan kepada kita jalan menuju puncak tersebut dan bagaimana supaya mampu bertahan dalam perjalanan itu. Segenap aturan yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah jalan menuju puncak kebahagiaan.
Lalu, bagaimana caranya supaya kita mampu bertahan dalam perjalanan itu, atau dengan kata lain, bagaimana supaya kita tetap istiqamah dalam menjalankan aturan Allah dan Rasul-Nya? Jawabannya adalah : DAKWAH.
Mari kita perhatikan dua ungkapan yang terlontar dari lisan para ulama salaf berikut ini. “Seandainya raja-raja dan anak raja itu mengetahui apa yang kami rasakan, pasti mereka menguliti kami dengan pedang untuk mendapatkan kesenangan yang kami miliki.” “Sungguh sengsara sekali orang-orang yang lalai. Mereka meninggalkan dunia ini, tapi mereka belum pernah merasakan kenikmatan yang paling indah di dunia ini.” Hmmm..apa sebenarnya kesenangan yang mereka maksud? Ternyata, kesenangan yang dimaksud adalah DAKWAH. Sungguh menarik sekali, karena ternyata dakwah bagi mereka tidak hanya menjadi sarana untuk mencapai puncak kebahagiaan, tetapi dakwah juga menjadi kebahagiaan itu sendiri. Para ulama salaf itu mengalami saat-saat bahagia yang luar biasa ketika mereka bergelut dalam aktivitas dakwah. Subhaanallaah...
Ungkapan dahsyat para ulama salaf di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa dakwah sebenarnya menjadi “puncak” kebahagiaan para da’i di dunia sebelum sampai ke puncak kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak (bertemu langsung dengan Allah sebagai konsekuensi dari keridhaan resiprokal). Lantas, seperti apakah kebahagiaan di jalan dakwah itu? Kita akan coba merenunginya pelan-pelan pada beberapa rangkai uraian berikut ini.
Sebagian dari kita mungkin masih secara sempit mengartikan dakwah sekedar berbentuk ceramah di masjid, kajian al-Quran dan hadits tiap minggu, tabligh akbar di lapangan besar, dan yang sejenis itu. Ketika kita berpikir sempit seperti ini, boleh jadi kita menganggap bahwa dakwah (berikut kebahagiaan di dalamnya) hanyalah milik para kiyai, guru agama Islam, dan para ulama yang memang secara khusus menekuni ilmu agama Islam. Tidak, anggapan ini sangatlah tidak benar. Kesempatan berdakwah adalah nikmat Allah untuk kita semua. Kita semua, apapun latar belakang pendidikan dan profesi kita, berhak berdakwah. Kebahagiaan di jalan dakwah bukan hanya milik mereka yang sering digelari “al-ustadz”. Kita semua yang mengaku muslim, sangat-sangat berhak dan seharusnya merasakan juga kebahagiaan tersebut.
Mungkin ada sebagian dari kita yang kemudian bertanya: Bukankah dakwah itu ada aturannya, ada prinsip-prinsip dan pedomannya? Ya, ini benar sekali. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan rambu-rambu ini, yang kemudian dirangkum oleh para ulama dalam bab Fiqh Dakwah. Setiap pribadi yang berjalan di jalan dakwah seyogyanya mempelajari dan memahami bab ini. Namun, bagaimana dengan kita yang bahkan membaca bab ini saja belum pernah, apalagi memahaminya,atau merasa belum memiliki ilmu agama yang cukup? Apakah lantas kita merasa tidak perlu atau menganggap diri kita tidak boleh berdakwah? Saudaraku.., semoga kita tidak berpikir seperti ini karena siapapun kita sebenarnya bisa berproses untuk memiliki pemahaman yang komprehensif dan ilmiah tentang dakwah serta terus memperbaiki diri. Hal yang lebih penting dan utama adalah bagaimana kita mengobarkan ghirah (semangat) dakwah dalam diri dan mencintai dakwah itu sendiri. Semangat dan cinta itulah yang selanjutnya memotivasi kita untuk terus berusaha memahami ilmu dakwah dan meningkatkan kualitas penghambaan kita kepada Allah swt. Dan..tahukah engkau wahai saudaraku.., kita akan sangat semangat dan mencintai sesuatu kalau kita paham bahwa sesuatu itu akan sangat membahagiakan kita. Saat kita memahami kebahagiaan berdakwah, semoga semangat dan rasa cinta itu mulai dan akan terus berkobar dalam dada...
Dakwah dalam arti luas berarti mengajak orang lain melalui hikmah dan pengajaran yang baik, agar senantiasa mengesakan Allah serta beramal shalih yang dicintai-Nya sekaligus meninggalkan segala bentuk kemusyrikan, sikap dan perilaku yang dimurkai serta dibenci Allah swt. Ketika diniatkan untuk meraih ridha Allah semata dan berlandaskan kesadaran penuh bahwa mengajak kepada kebenaran adalah amanah tiap muslim, maka setiap perbuatan kita yang sejalan dengan pengertian ini, insya Allah, termasuk dalam kerangka dakwah. Jika demikian, seorang polisi yang bekerja mengatur lalu lintas supaya pengguna jalan berlaku tertib pada hakikatnya telah berdakwah; seorang guru yang mengajarkan ilmunya agar anak didiknya sukses pada hakikatnya telah berdakwah; seorang direktur yang memimpin dengan sebaik-baiknya agar etos kerja anak buahnya meningkat pesat pada hakikatnya telah berdakwah; seorang ibu yang merelakan lebih dari setengah waktunya dalam 24 jam untuk mendidik putra-putrinya pada hakikatnya telah berdakwah; seorang mahasiswa yang memotivasi rekannya agar rajin belajar pada hakikatnya telah berdakwah.. Inilah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa betapa banyak kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk bergelut dalam aktivitas dakwah, meskipun terkadang tidak kita sadari. Jika kita memanfaatkan kesempatan-kesempatan emas itu, maka peluang kita untuk meraih kebahagiaan di jalan dakwah semakin terbuka lebar sehingga kebahagiaan itu menjadi milik kita semua, bukan hanya milik kiyai semata…
Lantas, dimana sebenarnya letak kebahagiaan berdakwah itu? Pada hakikatnya, seluruh bentuk aktivitas dakwah yang kita lakukan dapat membahagiakan kita jika direnungkan dengan sebaik-baiknya. Namun, ada satu hal yang menurut saya menjadi titik pusat kebahagiaan dalam berdakwah. Titik pusat itu adalah “memberi”. Aktivitas memberi dalam kerangka dakwah bukanlah aktivitas memberi yang biasa-biasa saja. Aktivitas memberi tersebut tercakup dalam maksud firman Allah di surat Ash-Shaff ayat 10 dan 11:
Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Kalau kita menjual sesuatu, maka kita memberikan barang kepada pembeli lalu pembeli itu memberikan imbalan kepada kita atas barang tersebut. Analogi inilah yang digunakan Allah untuk menggambarkan perdagangan terdahsyat yang pernah ada! Allah yang membeli (dijelaskan lebih eksplisit dalam surat At-Taubah 111) dan kita yang menjual. Imbalan yang Allah berikan kepada kita adalah sesuatu yang tak ternilai dan tak terbayarkan oleh apapun di seluruh jagat raya ini, yaitu surga (Ash-Shaff ayat 12). Wow, kalau imbalannya surga, lantas apa yang kita jual?? Tentunya sesuatu yang juga tak ternilai. Bukankah tidak mungkin kita memberikan sesuatu yang ternilai lalu mendapatkan imbalan berupa sesuatu yang tak ternilai? Hukum jual beli hanya mengakui transaksi yang dianggap setara; sepotong tempe goreng dihargai 250 rupiah, sebuah Mercedes Benz S-Class dihargai hampir setengah milyar atau bahkan lebih, maka sesuatu yang tak ternilai dihargai dengan sesuatu yang tak ternilai pula!
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “perdagangan” yang dimaksudkan Allah pada ayat di atas mencakup aktivitas “menolong agama Allah” yang disebutkan pada surat Muhammad ayat 7 dan Al-Hajj ayat 40. Berdakwah di jalan Allah adalah ikhtiar yang paling nyata untuk menolong agama Allah sehingga dengan sendirinya ketika kita berdakwah, berarti kita tengah terlibat dalam “perdagangan” terdahsyat itu. Dengan demikian, saat kita berdakwah secara ikhlas, kita sejatinya sedang memberikan sesuatu yang tak ternilai untuk hamba Allah untuk mendapatkan sesuatu yang tak ternilai (surga Allah). Dengan kata lain, nasihat dan ajakan kepada orang lain dalam kerangka dakwah adalah suatu pemberian yang tak ternilai! Subhaanallaah...
Betapa bahagianya orang yang bisa memberikan sesuatu yang tak ternilai, sesuatu yang tidak pantas dibayar dengan ucapan terimakasih, uang, pemberian yang serupa, bahkan dengan seluruh isi alam semesta! Ya, inilah pusat kebahagiaan berdakwah, yakni ketika kita memberikan sesuatu yang tak ternilai. Sesuatu yang tak ternilai bukan berarti tidak punya nilai, tetapi kita tidak sanggup menilainya karena terlalu agung. Sesuatu itu menjadi tak ternilai bukan karena harganya yang mahal secara duniawi atau karena jumlahnya yang banyak, tetapi karena diberikan dengan penuh keikhlasan dalam rangka menghadirkan perubahan yang positif. Orang yang ikhlas dalam memberikan nasihat, mengajak orang lain menuju kebaikan, atau berinfak di jalan Allah tidak pernah mengharapkan balasan dari manusia dalam bentuk apapun, karena secara sadar atau tidak, ia menganggap balasan-balasan duniawi itu tidak akan sanggup membayar apa yang telah ia berikan. Menurutnya, hanya balasan Allah berupa keridhaan dan surga-Nya yang setara dengan nilai perbuatannya itu. Dengan demikian, apa yang diberikan orang ikhlas itu telah menjadi sesuatu yang tak ternilai dan hanya bisa dibalas dengan sesuatu yang tak ternilai pula!.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak ikhlas dalam berdakwah? Orang-orang yang tidak ikhlas dalam berdakwah boleh jadi memberikan hal yang sama dengan orang yang ikhlas. Namun, sayang sekali, ia sendiri (dengan bantuan syaithan) yang menurunkan derajat pemberiannya itu yang seharusnya tak ternilai menjadi ternilai. Hal ini disebabkan ia “menerima” dengan senang hati penilaian manusia terhadap pemberiannya itu. Na’udzubillah min dzaalik...
Saudaraku...,
Sekali lagi, titik pusat kebahagiaan dalam berdakwah berada pada pemberian yang tak ternilai dan ketidakternilaiannya itu hanya bisa diraih dengan keikhlasan. Dari titik pusat itu, keluarlah jari-jari kebahagiaan yang akan membentuk lingkaran keberkahan hidup. Lingkaran itu terus meluas selama kita istiqamah di jalan dakwah. Jari-jari kebahagiaan yang sekarang terlihat mungkin tidak banyak, tetapi kita harus sadar bahwa jari-jari itu sebenarnya berjumlah tidak terhingga, karena titik-titik yang membentuk keliling lingkaran juga tidak berhingga jumlahnya. Semakin luas lingkaran keberkahan, maka secara otomatis jari-jari yang tak berhingga itu pun semakin banyak. Jari-jari kebahagiaan itulah yang membentuk kekayaan hakiki di dunia dan akhirat.
Itulah perumpamaan sederhana tentang melimpahnya keberkahan hidup selama kita berada di jalan dakwah. Keberkahan itu di alam dunia berbentuk keterjagaan dalam keshalihan, ketenangan hati, dan kelapangan rizki. Insya Allah, berbagai bentuk kebahagiaan “kecil” di dunia selama kita berada di jalan dakwah akan membawa kita kepada kebahagiaan “besar” di kampung akhirat kelak. Kebahagiaan “besar” itu adalah keridhaan resiprokal dan surga-Nya yang teramat tinggi. Allaahumma Innaa nas-aluka ridhaaka wal jannah, wa na’uudzubika min sakhatika wa an-naar...
Wallahu a’lam
Daftar Pustaka :
*Al-Quranul Kariim
*Katsir, Ibnu.Tafsir Ibn Kathir (digital format)
*Madjid, Nurcholish.Pesan-Pesan Takwa.2000.Jakarta:Paramadina
*Mahmud.Ali Abdul Halim Mahmud.Dakwah Fardiyah: Metode Membentuk Pribadi Muslim.1995.Jakarta:Gema Insani Press
*Marpaung, Parlindungan. Setengah Isi Setengah Kosong.2005.Bandung:MQS Publishing
*Nursani, Muhammad.Berjuang di Dunia Berharap Pertemuan di Surga.2005.Jakarta:Tarbawi Press
*Setyawan, Palgunadi T. Daun Berserakan Sebuah Renungan Hati.2004.Jakarta:Gema Insani Press
*Yasmin, Ummu. Materi Tarbiyah.2003.Solo:Media Insani Press
Taushiyah di lingkungan Keluarga Remaja Islam Salman (Karisma) ITB