18 Oktober 2011

PKS Layak Dihukum

Manuver politik yang dilakukan PKS pada detik-detik terakhir menjelang reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II perlu disikapi secara tegas oleh Presiden SBY. Pasalnya, manuver tersebut tidak hanya mengganggu konsentrasi Presiden dalam menata ulang KIB II, tetapi lebih dari itu telah melakukan ancaman secara tidak langsung kepada Presiden. Ancaman yang bersifat politis ini adalah bukti ketidakloyalan PKS kepada SBY.

Demikian dikatakan Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah, Saleh P. Daulay kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu.

"Pernyataan sikap PKS dalam merespon reshuffle kabinet betul-betul sikap perlawanan terhadap SBY. Bayangkan, mereka secara tegas berani mengancam SBY untuk keluar dari kabinet bila menteri mereka ada yang diganti. Sikap seperti ini memperlihatkan sikap sombong PKS. Apalagi bila dibandingkan dengan sikap anggota koalisi lain yang jumlah suaranya di parlemen jauh lebih besar," tegas Saleh.

Lanjut Saleh, sikap PKS ini juga sangat tidak proporsional. Di satu pihak mereka selalu berteriak-teriak kalau reshuffle kabinet itu adalah hak preogratif presiden. Tetapi di pihak lain mereka mengintervensi hak preogratif itu melalui pernyataan yang mengandung unsur ancaman kepada SBY. Kalau benar PKS mengakui reshuffle kabinet adalah hak preogratif presiden, sebaiknya mereka tidak perlu ikut campur apalagi melakukan intimidasi politik kepada presiden.

Selain itu, dalam perjalanan koalisi dalam dua tahun terakhir ini, PKS selalu saja tidak bersikap kooperatif dengan keinginan SBY. Hal ini terbukti dengan sikap dan pandangan PKS dalam menyikapi masalah kasus bailout Bank Century dan pembentukan Panitia Khusus Mafia Pajak di parlemen beberapa waktu lalu. Sikap politik semacam ini bukanlah sikap politik mitra koalisi yang baik.

"Di saat SBY butuh dukungan mereka di parlemen, mereka ramai-ramai menolak mendukung. Sementara, di saat SBY mau me-reshuffle kabinet, mereka seakan-akan hendak menyatakan bahwa merekalah pendukung SBY dari awal sehingga menteri mereka tidak boleh diganti begitu saja," tambah Saleh.

Menyikapi masalah ini, Saleh yang juga dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyatakan bahwa sudah tepat jika SBY menggunakan momentum reshuffle ini untuk menghukum PKS. Ini penting dilakukan SBY sebagai pembelajaran politik bagi semua komponen bangsa. Tanpa dukungan PKS, pemerintahan SBY masih tetap solid dan kuat.

"Saya kira SBY bisa menghukum PKS dengan mengambil 2 kementerian dari 4 kementerian yang mereka punya. Saya kira, 2 kementerian sudah sangat pas bagi PKS bila dibandingkan dengan sikap dan perilaku politik mereka selama ini. Bila mereka tidak menerima, ya SBY harus rela mempersilahkan mereka menonton di luar ring. Apalagi PKS selalu menyatakan bahwa masih banyak arena pengabdian yang bisa mereka lakukan selain berkiprah di kabinet," demikian Saleh mengakhiri.


Sumber : http://www.pemuda-muhammadiyah.or.id/component/content/article/318-berita-depan/1809-pks-layak-dihukum.html

11 September 2010

FILM SANG PENCERAH


Sang Pencerah merupakan film yang mengangkat kisah dari tokoh besar yang hidup di tahun 1800-an, KH. Ahmad Dahlan. Ya, tidak tanggung-tanggung memang yang dibuat oleh Hanung yang juga duduk sebagai penulis skenario. Tokoh pendiri Muhammadiyah itu coba dibuat oleh Hanung dalam bentuk layar lebar yang siap memberikan tontonan segar tahun ini.

Sang Pencerah menceritakan seorang pemuda berusia 21 tahun bernama Darwis (Ihsan Taroreh). Pemuda itu gelisah dengan lingkungannya yang melaksanakan syariat Islam yang melenceng ke arah sesat. Untuk mendalami ajaran agama Islam, Darwis pun pergi ke Mekkah.

Sepulangnya dari Mekkah, Darwis merubah namanya menjadi Ahmad Dahlan (Lukman Sardi). Ia mendirikan sebuah langgar/surau dan mengawali pergerakannya dengan mengubah arah kiblat yang salah di Masjid Besar Kauman. Tindakannya itu serta merta mengundang kemarahan seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo) yang mengakibatkan surau Ahmad Dahlan dirobohkan karena dianggap mengajarkan aliran sesat.

Cobaan Ahmad Dahlan dalam pergerakannya meluruskan syariat Islam pun tidak hanya sampai di situ. Dirinya juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo, bahkan dirinya disebut kafir.

Namun semangat Ahmad Dahlan tidak pernah surut. Bersama istri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan terus berjuang. Sampai pada akhirnya ia membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.

Meskipun film ini harus Anda nikmati dengan durasi 112 menit, Anda tidak perlu takut untuk merasa bosan di dalam bioskop. Anda akan dibuat ikut merasakan perjuangan Ahmad Dahlan dalam adegan demi adegan.

Apalagi tokoh besar Muhammadiyah itu diperankan seorang Lukman Sardi yang di sini semakin menunjukkan kualitas aktingnya yang semakin meningkat. Lukman berhasil menjaga kharismatik dan menggambarkan semangat perjuangan Ahmad Dahlan dengan baik. Kata sempurna sepertinya tidak berlebihan untuk aktor yang telah berperan dengan berbagai karakter ini.

Tidak luput juga akting dari para penyanyi yang mampu melirik perhatian mata penonton, Giring Nidji dan Ihsan Taroreh. Keduanya mampu membuktikan bahwa dirinya tidak hanya menang di atas panggung saja, namun dengan akting yang dipertontonkan dalam film ini oleh kedua penyanyi tersebut, nampaknya bisa mengawali diri mereka untuk berperan dalam film selanjutnya.

Terlepas dari para pemain, tentunya setting tempat yang menggambarkan tahun 1800-an juga menjadi nilai plus dari film produksi MVP Pictures ini. Yogyakarta yang dipilih sebagai lokasi, berhasil Hanung sulap menjadi sebuah perkampungan Yogyakarta pada tahun 1800-an. Ia mampu menghidupkan kembali atmosfer pada tahun tersebut dengan mereka-ulang bangunan Masjid Agung Kauman, wilayah keraton, stasiun lempuyangan, bahkan sudut-sudut kota Yogyakarta dengan sangat realistis.

sumber :

http://www.21cineplex.com/sang-pencerah,movie,2364.htm



23 Desember 2008

ETIKA POLITIK IBN TAYMIYYAH


Oleh: Okky Tirtoadhisoerjo

Koord.kelompok studi Kedai Pemikiran

Aktivis Nurcholish Madjid Society(NCMS)

Pendahuluan

Etika atau filsafat moral merupakan bagian teoritis dari filsafat. Filsafat (baca: etika) teoritis ini membicarakan atau menyoal akar keberadaan sesuatu. Dalam pada itu, apa yang dimaksud dengan filsafat moral atau sebut saja etika, sejatinya merupakan suatu bidang keilmuan yang bersifat khusus sebagaimana yang disebut Magnis sebagai “einzelwissen schaften” (Suseno,2003: 10) dimana topik pembahasannya adalah tema- tema seputar hal-hal atau ideal- ideal yang normatif. Berkenaan dengan itu, apa yang dimaksud dengan etika politik merupakan suatu bagian ilmu politik yang bersifat khusus dan memiliki kekhasannya sendiri sebagaimana ilmu-ilmu selainnya. Apa yang dimaksud dengan etika politik ialah suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis dan juga normatif. Saya katakana demikian sebab memang dalam kapasitasnya sebagai ilmu teoritis, etika politik hanya bermain pada bidang- bidang yang menyoal hal-ha yang berkenaan dengan politik dalam bingkai normativisme etika.

Karakter demikian itu merupakan bagian inheren dan juga immanen dalam diri etika politik sebab memang ia berada dalam ranah normativisme etika yang berbicara dalam kerangka layak dan atau tidak layak, bukan dalam bingkai benar dan atau salah. Artinya bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, etika politik membahas tentang apa yang seharusnya, apa yang layak, dan apa yang semestinya dilakukan berkenaan dengan dunia politik. Diantara pembahasan pokok yang diangkat ialah perrihal otoritas. Dalam etika politik ,otoritas dimaknai sebagai suatu kewenangan yang terlembaga. Selain itu etika poitik juga mengangkat pembahasan perihal asal muasal kedatangan otoritas tersebut.

Dalam hal ini, kita mengenal istilah legitimasi kekuasaan, yang dimaksud adalah pembahasan seputar dari mana datangnya hak kuasa satu phak atas pihak lain dan apa alasan yang melatari sehingga lahir pengakuan terhadap kekuasaan tersebut. Dalam kajian etika politik, terdapat beragam tipologi legitimasi kekuasaan. Ada legitimasi religius kekuasaan, yakni suatu konsep tentang penerimaan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain atas dasar doktrin religiusitas yang bersifat devine. Magnis meliat bahwa kelemahan dari teori ini adalah rawannya terjadi ”kebocoran” dengan mengklaim bahwa apapun yang dilakukan penguasa merupakan ”mandat langit” sehingga ketika terjadi kesalahan pun sang penguasa tidak berkewajiban menyerahkan pertanggungjawaban(Suseno,2003:48). Menurut saya, ini sangat merugikan bagi pihak yang berada dibawah kekuasaan sebab apapun yang dilakukan penguasa adalah suatu hal yang tak boleh dipertanyakan pertanggungjawabannya, sehingga rawan terjadi malpraktik kekuasaan. Otoritas berubah menjadi otoritarianisme atas nama mandat langit dimana penguasa mengklaim dirinya sebagai zilalillah fil ardh (bayang-bayang Tuhan di bumi).

Pada kesempatan ini saya akan mengetengahkan pandangan Ibn Taymiyyah berkenaan dengan tema etika politik yang mengerucut pada pembahasan seputar legitimasi kekuasaan dalam panadangan Ibn Taymiyyah yang juga merupakan konsep pemikiran politik beliau tentang dasar pendirian suatu negara.

Pemikiran Politik

Dalam peta pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan kedalam kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran beliau yang bercorak rigid dalam menafsirkan ajaran agama yang tertuang dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang merupakan representasi kalangan fundamentalis literal (Isfunlit, meminjam istilah Haidar Bagir) atau skripturalis. Kategorisasi ini benar ketika kita berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang berkenaan dengan doktrin keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain sebagainya. Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam domain sosial politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya sekularitas Ibn Taymiyyah ini justeru lahir dari rahim fundamentalisme literal yang dianutnya, bukan dari liberalisme.

Artinya bahwa pandangan Ibn Taymiyyah dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler tersebut lahir dari pemahaman beliau terhadap teks suci yang beliau taafsirkan secara rigid. Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal pendirian negara, berbeda dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa tidak perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada gilirannya ada sebuah negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah dinamika sosial politik yang menghendaki negara tersebut berdiri, bukan merupakan hasil dogma agama. Sebab dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun yang menyuruh mendirikan negara Islam (lihat.Khan,2001:69). Dalam karyanya, Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang cenderung pada paham anarkisme(tanpa negara).

Menurut Ibn Taymiyyah, kendati pada akhirnya, tegaknya negara Islam dapat membantu Islam itu sendiri, namun mendirikan negara Islam bukan merupakan bagian dari pokok ajaran melainkan hanya hasil dari fenomena atau proses sosiologis. Menurut saya disini letak perbedaan beliau dengan Khawarij. Bahwa Ibn Ttaymiyyah tidak menolak berdirinya suatu negara Islam, hanya saja yang beliau persoalkan adalah problematik legitimasi kekuasaannya.

Legitimasi kekuasaan: religius atau moral?

Di awal pembahasan telah kita singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa yang kita inginkan atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu pembenaran atau alas an penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang dikuasai atas kekuasaan pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan tersebut legitimate. Bentuk dari legitimasi kekuasaan ini beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi religius dan legitimasi etis yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih spesifik semisal legitimasi moral etis, legitimasi tradisional, rasional legal, dan lain sebagainya.

Membahas hal ini, ada yang menarik dari pemikiran Ibn Taymiyyah. Sebagai tokoh yang termasuk dalam kategori fundamentalis, idealnya beliau termasuk pemikir politik Islam yang setuju terhadap konsep legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis lain semisal al-Mawardi, al-Maududi, Khomeini, dan lain semacamnya. Dalam pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya merupakan representasi Ilahiyah yang mengemban tugas- tugas langit. Dalam kapasitas ini, penguasa tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi pembelokan otoritas dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa despotik yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Ini telah terjadi pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu’awiyah yang memerintah atas nama Ilahi namun sewenang-wenang dalam otoritasnya. Dalam posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk mempertanyakan pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan karena memang konsep legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan adanya pertanggung jawaban penguasa atas rakyatnya.

Mengenai hal yang berkenaan dengan legitimasi ini, Ibn Taymiyyah berpandangan bahwa dasar legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah doktrin religiusitas. Sebab dalam pandangannya, Islam tidak pernah menyuruh untuk mendirikan negara. Menurut Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun dalam Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mendirikan negara Islam. Ini bukan berarti ia menolak negara Islam. Namun kalau toh pada gilirannya negara Islam itu berdiri, maka yang menjadi dasar legitimasinya bukanlah Islam itu sendiri melainkan legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom up). Kesadaran dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni rakyat merasakan dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan kehidupan sosial rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa disejahterakan, maka semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan tersebut.

Konklusi

Dari sini saya coba menarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Taymiyyah, legitimasi moral lah yang ia anggap layak diterapkan mengingat itu menguntungkan ummat. Ini tercermin dalam pernyataan beliau yang dikutip Qamaruddin Khan : ”kesejahteraan ummat tidak dapat terwujud melainkan dalam sebuah tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung. Dan oleh karenanya masyarakat membutuhkan seorang untuk mengatur mereka” (Khan,2001:58). Dari pernyataan ini jelas bahwa yang menjadi titik tekan bagi Taymiyyah adalah problem sosial, ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan karenanya pemikirannya lebih cenderung pada legitimasi etis moral kekuasaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.

20 November 2008

Ruang - Ruang Kehidupan

Ahmad Fikri Adriansyah
Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur


Saya menemukan sebuah artikel bagus tentang “Manajemen Waktu” di komputer kantor saya. Saya modifikasi sedikit di beberapa bagian dan kini saya sajikan untuk Anda.

Suatu hari seorang ahli manajemen waktu berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis. Ia tidak berceramah panjang lebar tentang manajemen waktu, tetapi ia memilih untuk menunjukkan sebuah ilustrasi sederhana. Ilustrasi itu begitu luar biasa sehingga tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya.

Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata, “Baiklah, sekarang waktunya kuis.” Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yg bermulut cukup lebar dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples.

Ketika batu-batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yang bisa masuk ke dalamnya, dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” Semua siswanya serentak menjawab, “Sudah.”

Kemudian dia berkata, ” Benarkah? Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat di antara celah-celah batu.

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?”

Kali ini para siswanya hanya tertegun, “Mungkin belum", salah satu dari siswanya menjawab.

“Bagus!” jawabnya.

Sang ahli kembali meraih ke bawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong di antara kerikil dan bebatuan.

Sekali lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”

“Belum!” serentak para siswanya menjawab.

Sekali lagi dia berkata, “Bagus!”

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.

Lalu sang ahli manajemen waktu ini memandang para siswanya dan bertanya, “Apakah maksud dari ilustrasi ini?” Seorang siswanya yang antusias langsung menjawab, “Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain ke dalamnya.”

“Bukan", jawab sang ahli, “Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa : Kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yang pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali. Apakah “batu-batu besar” dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu, dan hal-hal lain yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yang pertama atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya. Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (“kerikil” dan “pasir”) dalam waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil; kamu tidak akan punya waktu berharga yg kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting dalam hidupmu.”

Saudaraku, sudahkah kita mengetahui “batu-batu besar”, “kerikil”, “pasir”, dan “air” yang akan mengisi ruang-ruang kehidupan kita? Sudahkah kita mendahulukan “batu-batu besar” dan mengakhirkan “air” untuk mengisi ruang-ruang itu? Semoga kita bisa segera menjawabnya dengan tegas: YA!

Wallahu a’lam…

26 Oktober 2008

Telaah Dinar dan Dirham Sebagai Mata Uang

Andhika Saputra
Ketua Umum
Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS at-Taubah: 34)

Saat ini, perekonomian dunia sedang mengalami reses dan krisis berkelanjutan. Volatilitas dan ketidakstabilan menjadi fenomena yang mengganggu perekonomian berbagai Negara. Depresiasi dan inflasi yang tak terkawal menjadi kenyataan yang destruktif terhadap perekonomian dunia. Ini membuktikan kegagalan dari system ekonomi konvensional (kapitalisme) dalam menciptakan Welfare (kesejahteraan) ekonomi dunia.

Sebenarnya akar pokok ketidakstabilan dan inflasi yang tidak menentu, adalah system mata uang yang dzalim dan tidak adil. Dunia saat ini, menggunakan mata uang semu (kertas) yang tanpa control dan back up biasa disebut dengan fiat money. Sejak berakhirnya system Bretton Woods yang mengaitkan dollar dengan emas pada tahun 1970-an. Maka saat itu pula dolar tidak ditopang lagi dengan emas dan hanya karena kepercayaan serta pemaksaan yang menjadikan dolar sebagai mata uang yang kuat didunia ini.

Sebenarnya uang kertas memiliki kelemahan mendasar, selain selalu terkena inflasi permanen (Hamidi, 2007), uang kertas jauh dari nilai keadilan (Fairness) lantaran nilai intrinsiknya tidak sama dengan nilai nominalnya. Sebenarnya untuk mencetak uang 1 dollar AS diperlukan biaya hanya 4 sen dollar AS. Maka jika dicetak uang 100 dolar AS, berapa biaya yang diperlukan? Pastinya akan semakin kecil biaya produksinya. Umar Ibrahim Vadillo (1998) manyatakan bahwa dunia saat ini dibanjiri terlalu banyak dolar. Dalam pasar uang saja terdapat sekitar 80 trilyun dolar AS pertahun. Padahal transaksi perdagangan dunia hanya sekitar 4 trilyun dolar AS pertahun. Kemana 76 trilyun dolar AS? Wajar saja bila ekonomi dunia saat ini amat memprihatinkan.

Perlu kita perhatikan secara seksama, total out standing utang AS dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 1998 jumlahnya mencapai 5,5 trilyun dolar AS dan meningkat menjadi 6,2 trilyun dolar As di akhir tahun 2002. Jelas ini jumlah yang luar biasa bila dibandingkan dengan utang Negara tercinta kita Indonesia yang “hanya” 120 miliar dolar AS pada tahun 1998 dan turun menjadi 98 miliar dolar AS pada tahun 2002. Bahkan ketika ditotalkan jumlah utang dari 52 negara termiskin dunia mencapai 375 miliar dolar AS[1]. Berarti utang AS masih 16,5 kali lebih besar!! AS yang dikenal sebagai Negara Kreditor terbesar saat ini “banting stir” menjadi Negara debitor sepanjang masa. Tapi, bila Negara – Negara debitor melunasi utangnya harus berjuang sendirian, AS bisa mendapatkan solusi yang lebih elegan dan fleksibel yakni dengan melibatkan warga dunia (pemakai dolar) membayar inflasi yang ditimbulkan dolar. Bagaimana AS mengatasi masalah ini? AS tinggal mencetak dolar sebanyak-banyaknya lalu mengalihkan beban inflasinya ke segala pihak yang memegang uang dolar diseluruh dunia (Hamidi, 2007) dan ini bisa dilakukan oleh anak yang duduk di bangku sekolah. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi yang muncul akan bersifat semu (bubble economy) dan ancaman kolaps hanya tinggal menunggu waktu.

Sudah jelas sekali bahwa mata uang kertas yang berbasis ekonomi konvensional ternyata sangat labil dan mudah terserang penyakit kronis. Sebenarnya system ini bersifat self-destructive, yakni yang menghancurkan system ini adalah dirinya sendiri. Tegasnya, system ribawi itulah yang membuat perekonomian dunia terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Bagaimana ekonomi akan berjalan dengan baik bila system ini masih berkuasa?

Prospek dinar dan dirham

Bila kita menengok kembali sejarah, emas telah dipakai di kalangan orang Arab sebelum Islam datang. Allouche (1994:56) melaporkan ada dua jenis mata uang yang diterbitkan, yaitu jenis emas dan perak yang keduanya dipakai secara luas diantara para pedagang dan masyarakat sebagai media transaksi pembayaran. Ketika Islam tersebar luas, mata uang ini tetap digunakan Rasulullah SAW untuk bertransaksi bahkan Al-Qur’an menyebut kata emas (dzahab) dan perak (fidhdhah) masing – masing di delapan dan tujuh ayat[2]. Kedua mata uang ini diimpor, Dinar dari Romawi dan Dirham dari Persia. Baru ketika masa khalifah Utsman bin Affan r.a kedua mata uang ini dimodifikasi sesuai dengan cirri dan karakter umat Islam dengan adanya simbol-simbol Islami pada mata uang tersebut.

Mata uang dinar dan dirham (Islam) berbeda dengan mata uang kertas (kapitalisme). Dwilogam ini terbukti sengat kecil sekali inflasinya. Pada masa Rasulullah SAW, dengan 1 dinar (4,25 gr emas) orang dapat membeli seekor kambing dan dengan uang 1 dirham (2,975 gr perak) dapat dibeli seekor ayam. Pada tahun 2007, dengan 1 dinar orang masih dapat membeli kambing dan 1 dirham dapat membeli ayam. Berarti lebih dari 1400 tahun yang lalu dengan yang sekarang hampir tidak ada perubahan dalam hal nilai mata uang dinar dan dirham.dengan mata uang ini, nilai nominal dan nilai intrinsic dari dwilogam akan menyatu. Artinya, tidak perubahan dari kedua nilai tersebut dan tidak dipengaruhi oleh daya tukar terhadap mata uang lain.

Prospek mata uang dinar dan dirham

Telah terbukti bahwa mata uang dinar dan dirham lebih stabil dan konsisiten disbanding dengan mata uang dolar. Jika dinar dan dirham memperkokoh ekonomi karena dapat menahan inflasi, dolar AS justru akan merapuhkan ekonomi lantaran rentan inflasi. Disamping itu, jika system kapitalis membiarkan sector moneter lebih berkuasa dari sector real, sedang ekonomi Islam adalah ekonomi berbasis sector real. Keuntungan hanya diperoleh melalui jerih payah dalam produksi barang dan jasa bukan dari penanaman modal saham yang selalu berfluktuatif.

Berikut ini penulis paparkan beberapa keunggulan dan kemaslahatan mata uang dinar dan dirham:

Ø Dapat mewujudkan stabilitas ekonomi makro dan mikro. Sehingga ekonomi kita tidak mengalami volatilitas. Hasil penelitian Esquivel dan Larrain (2002) menunjukkan bahwa volatilitas sangat berpengaruh terhadap penurunan ekspor dan investasi.

Ø Dapat mengurangi secara signifikan tindakan spekulatif (gharar). Karena danya keseimbangan antara nilai intrinsic dan nominal dari mata uang logam tersebut.

Ø Penerapan dinar dan dirham menjadi kontribusi nyata system moneter syariah yang ikut memperkuat system perekonomian nasional.

Ø Mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Sehingga Indonesia tidak mudah digoyang perekonomiannya oleh produsen dolar AS.

Ø Penerapan mata uang ini akan menyulitkan masyarakat untuk melalukan tindakan pemalsuan uang.

Saat ini, emas hanya digunakan umat Islam sebagai Mahar perkawinan dan untuk membayar zakat maal. Ini cukup memprihatinkan, dimana Indonesia merupakan penduduk yang paling banyak muslimnya di seluruh dunia. Kapan kita bisa “berbuat” jangan hanya sebagai “budak” bagi Negara lain. Kita harus punya sikap untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis multidimensi. Berdasarkan kajian serta fakta empiris tadi, dinar dan dirham memiliki keunggulan sebagai alat tukar terbaik yang dapat meredam spekulasi, manipulasi dan menekan inflasi secara signifikan. Sehinga dapat dijadikan sebagai instrument stabilitas moneter yang ampuh.

Gold dinar, M.Luthfi Hamidi, MA, Jakarta: senayan publishing,2007

Mata uang islami, Dr Ahmad Hasan, Jakarta; Rajawali Press, 2005

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Euis Amalia, Jakarta, Granada Press, 2007

www.e-dinar.com

www.islamhariini.com



[1] Make Poverty History: Drop The Debt. Http://www.waronwant.org/?lid=9823, 14 januari 2006

[2] Untuk emas dalam ayat berikut: 3:91; 7:148; 9:34-35; 17:93; 18:31; 43:53. Sedang untuk perak dalam ayat berikut: 9:34-35; 43:33-34; 70:8; 76:15-16.