23 Desember 2008

ETIKA POLITIK IBN TAYMIYYAH


Oleh: Okky Tirtoadhisoerjo

Koord.kelompok studi Kedai Pemikiran

Aktivis Nurcholish Madjid Society(NCMS)

Pendahuluan

Etika atau filsafat moral merupakan bagian teoritis dari filsafat. Filsafat (baca: etika) teoritis ini membicarakan atau menyoal akar keberadaan sesuatu. Dalam pada itu, apa yang dimaksud dengan filsafat moral atau sebut saja etika, sejatinya merupakan suatu bidang keilmuan yang bersifat khusus sebagaimana yang disebut Magnis sebagai “einzelwissen schaften” (Suseno,2003: 10) dimana topik pembahasannya adalah tema- tema seputar hal-hal atau ideal- ideal yang normatif. Berkenaan dengan itu, apa yang dimaksud dengan etika politik merupakan suatu bagian ilmu politik yang bersifat khusus dan memiliki kekhasannya sendiri sebagaimana ilmu-ilmu selainnya. Apa yang dimaksud dengan etika politik ialah suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis dan juga normatif. Saya katakana demikian sebab memang dalam kapasitasnya sebagai ilmu teoritis, etika politik hanya bermain pada bidang- bidang yang menyoal hal-ha yang berkenaan dengan politik dalam bingkai normativisme etika.

Karakter demikian itu merupakan bagian inheren dan juga immanen dalam diri etika politik sebab memang ia berada dalam ranah normativisme etika yang berbicara dalam kerangka layak dan atau tidak layak, bukan dalam bingkai benar dan atau salah. Artinya bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, etika politik membahas tentang apa yang seharusnya, apa yang layak, dan apa yang semestinya dilakukan berkenaan dengan dunia politik. Diantara pembahasan pokok yang diangkat ialah perrihal otoritas. Dalam etika politik ,otoritas dimaknai sebagai suatu kewenangan yang terlembaga. Selain itu etika poitik juga mengangkat pembahasan perihal asal muasal kedatangan otoritas tersebut.

Dalam hal ini, kita mengenal istilah legitimasi kekuasaan, yang dimaksud adalah pembahasan seputar dari mana datangnya hak kuasa satu phak atas pihak lain dan apa alasan yang melatari sehingga lahir pengakuan terhadap kekuasaan tersebut. Dalam kajian etika politik, terdapat beragam tipologi legitimasi kekuasaan. Ada legitimasi religius kekuasaan, yakni suatu konsep tentang penerimaan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain atas dasar doktrin religiusitas yang bersifat devine. Magnis meliat bahwa kelemahan dari teori ini adalah rawannya terjadi ”kebocoran” dengan mengklaim bahwa apapun yang dilakukan penguasa merupakan ”mandat langit” sehingga ketika terjadi kesalahan pun sang penguasa tidak berkewajiban menyerahkan pertanggungjawaban(Suseno,2003:48). Menurut saya, ini sangat merugikan bagi pihak yang berada dibawah kekuasaan sebab apapun yang dilakukan penguasa adalah suatu hal yang tak boleh dipertanyakan pertanggungjawabannya, sehingga rawan terjadi malpraktik kekuasaan. Otoritas berubah menjadi otoritarianisme atas nama mandat langit dimana penguasa mengklaim dirinya sebagai zilalillah fil ardh (bayang-bayang Tuhan di bumi).

Pada kesempatan ini saya akan mengetengahkan pandangan Ibn Taymiyyah berkenaan dengan tema etika politik yang mengerucut pada pembahasan seputar legitimasi kekuasaan dalam panadangan Ibn Taymiyyah yang juga merupakan konsep pemikiran politik beliau tentang dasar pendirian suatu negara.

Pemikiran Politik

Dalam peta pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan kedalam kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran beliau yang bercorak rigid dalam menafsirkan ajaran agama yang tertuang dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang merupakan representasi kalangan fundamentalis literal (Isfunlit, meminjam istilah Haidar Bagir) atau skripturalis. Kategorisasi ini benar ketika kita berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang berkenaan dengan doktrin keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain sebagainya. Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam domain sosial politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya sekularitas Ibn Taymiyyah ini justeru lahir dari rahim fundamentalisme literal yang dianutnya, bukan dari liberalisme.

Artinya bahwa pandangan Ibn Taymiyyah dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler tersebut lahir dari pemahaman beliau terhadap teks suci yang beliau taafsirkan secara rigid. Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal pendirian negara, berbeda dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa tidak perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada gilirannya ada sebuah negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah dinamika sosial politik yang menghendaki negara tersebut berdiri, bukan merupakan hasil dogma agama. Sebab dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun yang menyuruh mendirikan negara Islam (lihat.Khan,2001:69). Dalam karyanya, Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang cenderung pada paham anarkisme(tanpa negara).

Menurut Ibn Taymiyyah, kendati pada akhirnya, tegaknya negara Islam dapat membantu Islam itu sendiri, namun mendirikan negara Islam bukan merupakan bagian dari pokok ajaran melainkan hanya hasil dari fenomena atau proses sosiologis. Menurut saya disini letak perbedaan beliau dengan Khawarij. Bahwa Ibn Ttaymiyyah tidak menolak berdirinya suatu negara Islam, hanya saja yang beliau persoalkan adalah problematik legitimasi kekuasaannya.

Legitimasi kekuasaan: religius atau moral?

Di awal pembahasan telah kita singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa yang kita inginkan atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu pembenaran atau alas an penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang dikuasai atas kekuasaan pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan tersebut legitimate. Bentuk dari legitimasi kekuasaan ini beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi religius dan legitimasi etis yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih spesifik semisal legitimasi moral etis, legitimasi tradisional, rasional legal, dan lain sebagainya.

Membahas hal ini, ada yang menarik dari pemikiran Ibn Taymiyyah. Sebagai tokoh yang termasuk dalam kategori fundamentalis, idealnya beliau termasuk pemikir politik Islam yang setuju terhadap konsep legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis lain semisal al-Mawardi, al-Maududi, Khomeini, dan lain semacamnya. Dalam pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya merupakan representasi Ilahiyah yang mengemban tugas- tugas langit. Dalam kapasitas ini, penguasa tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi pembelokan otoritas dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa despotik yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Ini telah terjadi pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu’awiyah yang memerintah atas nama Ilahi namun sewenang-wenang dalam otoritasnya. Dalam posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk mempertanyakan pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan karena memang konsep legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan adanya pertanggung jawaban penguasa atas rakyatnya.

Mengenai hal yang berkenaan dengan legitimasi ini, Ibn Taymiyyah berpandangan bahwa dasar legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah doktrin religiusitas. Sebab dalam pandangannya, Islam tidak pernah menyuruh untuk mendirikan negara. Menurut Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun dalam Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mendirikan negara Islam. Ini bukan berarti ia menolak negara Islam. Namun kalau toh pada gilirannya negara Islam itu berdiri, maka yang menjadi dasar legitimasinya bukanlah Islam itu sendiri melainkan legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom up). Kesadaran dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni rakyat merasakan dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan kehidupan sosial rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa disejahterakan, maka semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan tersebut.

Konklusi

Dari sini saya coba menarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Taymiyyah, legitimasi moral lah yang ia anggap layak diterapkan mengingat itu menguntungkan ummat. Ini tercermin dalam pernyataan beliau yang dikutip Qamaruddin Khan : ”kesejahteraan ummat tidak dapat terwujud melainkan dalam sebuah tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung. Dan oleh karenanya masyarakat membutuhkan seorang untuk mengatur mereka” (Khan,2001:58). Dari pernyataan ini jelas bahwa yang menjadi titik tekan bagi Taymiyyah adalah problem sosial, ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan karenanya pemikirannya lebih cenderung pada legitimasi etis moral kekuasaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.

20 November 2008

Ruang - Ruang Kehidupan

Ahmad Fikri Adriansyah
Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur


Saya menemukan sebuah artikel bagus tentang “Manajemen Waktu” di komputer kantor saya. Saya modifikasi sedikit di beberapa bagian dan kini saya sajikan untuk Anda.

Suatu hari seorang ahli manajemen waktu berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis. Ia tidak berceramah panjang lebar tentang manajemen waktu, tetapi ia memilih untuk menunjukkan sebuah ilustrasi sederhana. Ilustrasi itu begitu luar biasa sehingga tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya.

Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata, “Baiklah, sekarang waktunya kuis.” Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yg bermulut cukup lebar dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples.

Ketika batu-batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yang bisa masuk ke dalamnya, dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” Semua siswanya serentak menjawab, “Sudah.”

Kemudian dia berkata, ” Benarkah? Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat di antara celah-celah batu.

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?”

Kali ini para siswanya hanya tertegun, “Mungkin belum", salah satu dari siswanya menjawab.

“Bagus!” jawabnya.

Sang ahli kembali meraih ke bawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong di antara kerikil dan bebatuan.

Sekali lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”

“Belum!” serentak para siswanya menjawab.

Sekali lagi dia berkata, “Bagus!”

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.

Lalu sang ahli manajemen waktu ini memandang para siswanya dan bertanya, “Apakah maksud dari ilustrasi ini?” Seorang siswanya yang antusias langsung menjawab, “Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain ke dalamnya.”

“Bukan", jawab sang ahli, “Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa : Kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yang pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali. Apakah “batu-batu besar” dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu, dan hal-hal lain yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yang pertama atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya. Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (“kerikil” dan “pasir”) dalam waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil; kamu tidak akan punya waktu berharga yg kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting dalam hidupmu.”

Saudaraku, sudahkah kita mengetahui “batu-batu besar”, “kerikil”, “pasir”, dan “air” yang akan mengisi ruang-ruang kehidupan kita? Sudahkah kita mendahulukan “batu-batu besar” dan mengakhirkan “air” untuk mengisi ruang-ruang itu? Semoga kita bisa segera menjawabnya dengan tegas: YA!

Wallahu a’lam…

26 Oktober 2008

Telaah Dinar dan Dirham Sebagai Mata Uang

Andhika Saputra
Ketua Umum
Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Tebet Timur

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS at-Taubah: 34)

Saat ini, perekonomian dunia sedang mengalami reses dan krisis berkelanjutan. Volatilitas dan ketidakstabilan menjadi fenomena yang mengganggu perekonomian berbagai Negara. Depresiasi dan inflasi yang tak terkawal menjadi kenyataan yang destruktif terhadap perekonomian dunia. Ini membuktikan kegagalan dari system ekonomi konvensional (kapitalisme) dalam menciptakan Welfare (kesejahteraan) ekonomi dunia.

Sebenarnya akar pokok ketidakstabilan dan inflasi yang tidak menentu, adalah system mata uang yang dzalim dan tidak adil. Dunia saat ini, menggunakan mata uang semu (kertas) yang tanpa control dan back up biasa disebut dengan fiat money. Sejak berakhirnya system Bretton Woods yang mengaitkan dollar dengan emas pada tahun 1970-an. Maka saat itu pula dolar tidak ditopang lagi dengan emas dan hanya karena kepercayaan serta pemaksaan yang menjadikan dolar sebagai mata uang yang kuat didunia ini.

Sebenarnya uang kertas memiliki kelemahan mendasar, selain selalu terkena inflasi permanen (Hamidi, 2007), uang kertas jauh dari nilai keadilan (Fairness) lantaran nilai intrinsiknya tidak sama dengan nilai nominalnya. Sebenarnya untuk mencetak uang 1 dollar AS diperlukan biaya hanya 4 sen dollar AS. Maka jika dicetak uang 100 dolar AS, berapa biaya yang diperlukan? Pastinya akan semakin kecil biaya produksinya. Umar Ibrahim Vadillo (1998) manyatakan bahwa dunia saat ini dibanjiri terlalu banyak dolar. Dalam pasar uang saja terdapat sekitar 80 trilyun dolar AS pertahun. Padahal transaksi perdagangan dunia hanya sekitar 4 trilyun dolar AS pertahun. Kemana 76 trilyun dolar AS? Wajar saja bila ekonomi dunia saat ini amat memprihatinkan.

Perlu kita perhatikan secara seksama, total out standing utang AS dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 1998 jumlahnya mencapai 5,5 trilyun dolar AS dan meningkat menjadi 6,2 trilyun dolar As di akhir tahun 2002. Jelas ini jumlah yang luar biasa bila dibandingkan dengan utang Negara tercinta kita Indonesia yang “hanya” 120 miliar dolar AS pada tahun 1998 dan turun menjadi 98 miliar dolar AS pada tahun 2002. Bahkan ketika ditotalkan jumlah utang dari 52 negara termiskin dunia mencapai 375 miliar dolar AS[1]. Berarti utang AS masih 16,5 kali lebih besar!! AS yang dikenal sebagai Negara Kreditor terbesar saat ini “banting stir” menjadi Negara debitor sepanjang masa. Tapi, bila Negara – Negara debitor melunasi utangnya harus berjuang sendirian, AS bisa mendapatkan solusi yang lebih elegan dan fleksibel yakni dengan melibatkan warga dunia (pemakai dolar) membayar inflasi yang ditimbulkan dolar. Bagaimana AS mengatasi masalah ini? AS tinggal mencetak dolar sebanyak-banyaknya lalu mengalihkan beban inflasinya ke segala pihak yang memegang uang dolar diseluruh dunia (Hamidi, 2007) dan ini bisa dilakukan oleh anak yang duduk di bangku sekolah. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi yang muncul akan bersifat semu (bubble economy) dan ancaman kolaps hanya tinggal menunggu waktu.

Sudah jelas sekali bahwa mata uang kertas yang berbasis ekonomi konvensional ternyata sangat labil dan mudah terserang penyakit kronis. Sebenarnya system ini bersifat self-destructive, yakni yang menghancurkan system ini adalah dirinya sendiri. Tegasnya, system ribawi itulah yang membuat perekonomian dunia terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Bagaimana ekonomi akan berjalan dengan baik bila system ini masih berkuasa?

Prospek dinar dan dirham

Bila kita menengok kembali sejarah, emas telah dipakai di kalangan orang Arab sebelum Islam datang. Allouche (1994:56) melaporkan ada dua jenis mata uang yang diterbitkan, yaitu jenis emas dan perak yang keduanya dipakai secara luas diantara para pedagang dan masyarakat sebagai media transaksi pembayaran. Ketika Islam tersebar luas, mata uang ini tetap digunakan Rasulullah SAW untuk bertransaksi bahkan Al-Qur’an menyebut kata emas (dzahab) dan perak (fidhdhah) masing – masing di delapan dan tujuh ayat[2]. Kedua mata uang ini diimpor, Dinar dari Romawi dan Dirham dari Persia. Baru ketika masa khalifah Utsman bin Affan r.a kedua mata uang ini dimodifikasi sesuai dengan cirri dan karakter umat Islam dengan adanya simbol-simbol Islami pada mata uang tersebut.

Mata uang dinar dan dirham (Islam) berbeda dengan mata uang kertas (kapitalisme). Dwilogam ini terbukti sengat kecil sekali inflasinya. Pada masa Rasulullah SAW, dengan 1 dinar (4,25 gr emas) orang dapat membeli seekor kambing dan dengan uang 1 dirham (2,975 gr perak) dapat dibeli seekor ayam. Pada tahun 2007, dengan 1 dinar orang masih dapat membeli kambing dan 1 dirham dapat membeli ayam. Berarti lebih dari 1400 tahun yang lalu dengan yang sekarang hampir tidak ada perubahan dalam hal nilai mata uang dinar dan dirham.dengan mata uang ini, nilai nominal dan nilai intrinsic dari dwilogam akan menyatu. Artinya, tidak perubahan dari kedua nilai tersebut dan tidak dipengaruhi oleh daya tukar terhadap mata uang lain.

Prospek mata uang dinar dan dirham

Telah terbukti bahwa mata uang dinar dan dirham lebih stabil dan konsisiten disbanding dengan mata uang dolar. Jika dinar dan dirham memperkokoh ekonomi karena dapat menahan inflasi, dolar AS justru akan merapuhkan ekonomi lantaran rentan inflasi. Disamping itu, jika system kapitalis membiarkan sector moneter lebih berkuasa dari sector real, sedang ekonomi Islam adalah ekonomi berbasis sector real. Keuntungan hanya diperoleh melalui jerih payah dalam produksi barang dan jasa bukan dari penanaman modal saham yang selalu berfluktuatif.

Berikut ini penulis paparkan beberapa keunggulan dan kemaslahatan mata uang dinar dan dirham:

Ø Dapat mewujudkan stabilitas ekonomi makro dan mikro. Sehingga ekonomi kita tidak mengalami volatilitas. Hasil penelitian Esquivel dan Larrain (2002) menunjukkan bahwa volatilitas sangat berpengaruh terhadap penurunan ekspor dan investasi.

Ø Dapat mengurangi secara signifikan tindakan spekulatif (gharar). Karena danya keseimbangan antara nilai intrinsic dan nominal dari mata uang logam tersebut.

Ø Penerapan dinar dan dirham menjadi kontribusi nyata system moneter syariah yang ikut memperkuat system perekonomian nasional.

Ø Mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Sehingga Indonesia tidak mudah digoyang perekonomiannya oleh produsen dolar AS.

Ø Penerapan mata uang ini akan menyulitkan masyarakat untuk melalukan tindakan pemalsuan uang.

Saat ini, emas hanya digunakan umat Islam sebagai Mahar perkawinan dan untuk membayar zakat maal. Ini cukup memprihatinkan, dimana Indonesia merupakan penduduk yang paling banyak muslimnya di seluruh dunia. Kapan kita bisa “berbuat” jangan hanya sebagai “budak” bagi Negara lain. Kita harus punya sikap untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis multidimensi. Berdasarkan kajian serta fakta empiris tadi, dinar dan dirham memiliki keunggulan sebagai alat tukar terbaik yang dapat meredam spekulasi, manipulasi dan menekan inflasi secara signifikan. Sehinga dapat dijadikan sebagai instrument stabilitas moneter yang ampuh.

Gold dinar, M.Luthfi Hamidi, MA, Jakarta: senayan publishing,2007

Mata uang islami, Dr Ahmad Hasan, Jakarta; Rajawali Press, 2005

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Euis Amalia, Jakarta, Granada Press, 2007

www.e-dinar.com

www.islamhariini.com



[1] Make Poverty History: Drop The Debt. Http://www.waronwant.org/?lid=9823, 14 januari 2006

[2] Untuk emas dalam ayat berikut: 3:91; 7:148; 9:34-35; 17:93; 18:31; 43:53. Sedang untuk perak dalam ayat berikut: 9:34-35; 43:33-34; 70:8; 76:15-16.



Quo Vadis Keislaman Kita

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah

Tebet Timur


Pada suatu sesi pengajian Ramadhan 1427 H, penceramah yang juga seorang wirausahawan, KH. Toto Tasmara, menyampaikan pertanyaan yang menggelitik ketika beliau memulai ceramahnya. Dengan santai beliau bertanya kepada peserta pengajian, “Yang hadir di sini, semuanya muslim?” Kontan saja, sebagian besar hadirin menyunggingkan senyum dan tergelak mendengar pertanyaan sang ustadz. Mereka kemudian menjawab dengan kompak, “Yaa…”. Tawa-tawa kecil pun ikut meramaikan jawaban tersebut.

Pertanyaan sang ustadz menjadi unik karena terkesan sekedar guyonan. Pasalnya, dapat dipastikan bahwa semua yang hadir di sesi pengajian Ramadhan itu beragama Islam, minimal tertera kata “ISLAM” di KTP mereka. Namun, “dugaan” para peserta pengajian tersebut tampaknya tidak sepenuhnya benar. Ustadz Toto menyambung pertanyaan pertama itu dengan bertanya lagi kepada para peserta, “Siapa yang bilang Anda itu muslim?”

Pertanyaan yang kedua pada intinya mengajak seluruh yang hadir di sesi pengajian itu untuk merenungkan kembali label muslim yang mereka kenakan. Ustadz Toto kemudian menjelaskan bahwa yang menyebut diri kita muslim, yang menyebut bahwa diri kita adalah orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, adalah diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Kemudian, beliau bertanya lagi, “Apakah kita yakin bahwa Allah juga bilang bahwa kita adalah muslim?”

Saudaraku,

Kita harus optimis, tetapi kita sama sekali tidak bisa menjamin bahwa segenap predikat positif yang melekat pada diri kita adalah demikian adanya menurut Allah swt. Begitu pula, ketika kita menyebut diri kita orang yang berislam dan beriman. Kebenaran keislaman dan keimanan kita pada akhirnya kembali kepada penilaian mutlak dari Allah swt, bukan dari siapapun selain-Nya, apalagi dari kata “ISLAM” yang tertera pada kartu identitas kita. Oleh karena itu, sangatlah tidak layak bagi kita untuk merasa “sombong” dengan keislaman kita, merasa diri kita paling benar dalam keislaman kita, apalagi sampai menilai keislaman orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, predikat sebagai muslim bukan sekedar bagaikan lencana yang kita pakai lantas otomatis orang lain mendefinisikan diri kita sesuai makna lencana itu, tetapi predikat ini haruslah berkolerasi dengan ikhtiar terus menerus untuk membuktikan bahwa kita pantas disebut sebagai muslim, dan pada akhirnya ditujukan agar Allah berkenan mengakui keislaman kita.

Kondisi yang kemudian mengemuka adalah bukan dari sisi pengertian kita terhadap konsepsi “kebenaran mutlak” mengenai keislaman dan keimanan kita itu. Artinya, sebenarnya kita sudah mengakui bahwa hanya Allah yang bisa menilai apakah memang benar kita berislam dan beriman. Kita pun sudah dan terus berikhtiar untuk memperbarui syahadat kita sebagai gerbang penyerahan diri kita kepada Allah. Namun, kondisi yang akhirnya memunculkan masalah di tubuh umat Islam adalah pada saat kita terjebak dalam atribut keislaman kita, yakni ketika kita terlena dengan sebutan “muslim” dan merasa cukup dengan “pakaian luar” keislaman kita. Hal ini selanjutnya menjadikan kita lengah dan, tanpa kita sadari, membuat ucapan dan prilaku kita ditafsirkan sebagai upaya untuk menilai keislaman orang lain.

Keterlenaan kita dengan sebutan “muslim” dan perasaan cukup dengan “pakaian luar” keislaman sebenarnya adalah isu klasik yang sudah sangat sering diangkat di berbagai forum pengajian. Hal-hal yang termasuk di dalamnya antara lain: Pertama, kita mengakui bahwa Islam adalah the way of life, tetapi dalam pelaksanaannya, masih terliht berbagai fenomena yang menunjukkan bahwa Islam masih sebatas the way of worship; Kedua, simbol-simbol keislaman menjadi parameter favorit untuk menstratifikasi “tingkat keshalihan” seseorang sementara aspek-aspek substansialnya seringkali terlupakan atau mungkin sengaja dilupakan.

Islam sebagai the way of life berada pada tataran idealisme yang mungkin tidak selalu mudah untuk diimplementasikan, tetapi pasti menjadi cita-cita kita semua. Sementara itu, islam sebagai the way of worship justru menjadi hal yang sangat mudah untuk dicerna dan dipahami karena notabene terlihat oleh mata kepala (seperti ritual shalat, zakat, haji, dll). Islam sebagai the way of worship pada hakikatnya adalah konsepsi yang berada di konstelasi Islam sebagai the way of life. Orang yang menjadikan Islam sebagai the way of life secara otomatis telah mendudukkan Islam sebagai the way of worship, tetapi tidak sebaliknya. Orang yang menjadikan Islam sebatas the way of worship adalah mereka yang hanya berorientasi pada ibadah yang bersifat ritual. Sebagai contoh sederhana, kita tak pernah absen shalat lima waktu, tetapi sebagian dari kita pun seringkali absen kuliah tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, telat datang ke kantor atau kampus, malas belajar, malas bekerja, malas berprestasi, tidak profesional dan hal-hal negatif lainnya.

Paradigma yang hanya mengorientasikan Islam sebagai the way of worship selanjutnya mempengaruhi persepsi kita terhadap pemakaian simbol-simbol keislaman. Kita cenderung mudah untuk mengatakan atau minimal beranggapan bahwa orang yang sering memakai baju koko, wanita yang berjilbab dengan baik, orang yang selalu membawa mushaf al-Quran kemana-mana (kecuali ke kamar kecil), orang yang sering berdzikir dan mengaji di masjid sebagai orang-orang yang shalih (atau seringkali disebut “alim”). Hal ini sama sekali tidak salah dan sangat amat wajar serta relevan. Namun, berawal dari kesan wajar inilah kita kadangkala terlena sampai akhirnya terjebak di dalam pakaian luar keislaman kita sehingga di antara kita ada yang sampai men-cap bahwa orang-orang yang tidak seperti mereka adalah muslim yang tidak shalih. Pada titik inilah, kita, baik sadar maupun tidak, telah menstratifikasi “tingkat keshalihan” seseorang, padahal hanya Allah yang memiliki hak stratifikasi itu.

Satu fenomena lagi yang kerap membuat saya prihatin dan geram terkait dengan stratifikasi keshalihan adalah kebiasaan penggunaan sapaan “ikhwan” dan “akhwat”. Kedua istilah ini memiliki akar makna yang sama, yakni ”saudara”. Namun, saya mengamati kecenderungan bahwa sebutan “ikhwan” dan “akhwat” masing-masing telah menjadi monopoli muslim dan muslimah yang berafiliasi dengan institusi atau lembaga dakwah Islam. Seolah-olah, para muslim dan muslimah yang berada di luar lingkaran komunitas itu tidak berhak disebut “ikhwan” atau “akhwat”. Seolah-olah, seorang muslim harus aktif di organisasi dakwah terlebih dahulu kalau mau disebut “ikhwan”; seolah-olah, seorang muslimah harus berjilbab dengan sempurna terlebih dahulu kalau mau disebut “akhwat”. Seolah-olah, sebutan “ikhwan” dan “akhwat” menjadi representasi status sosial yang tidak serta merta dimiliki oleh setiap pribadi yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Padahal, selama seseorang mengaku muslim dan beriman, berarti dia adalah saudara kita sesama muslim dan berarti pula kita berhak menunjukkan semangat persaudaraan kita dengan menyapa “wahai, akhii” atau “wahai, ukhtii” kepadanya.

Perkara penyebutan “ikhwan” dan “akhwat” di atas memang hal kecil dan terkesan sepele, tetapi tidak sepenuhnya demikian menurut saya. Jika kita tidak berhati-hati dengan hal kecil tersebut, saya khawatir hal itu secara perlahan akan semakin mengeksklusifkan para aktivis dakwah di masyarakat. Keeksklusifan ini pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi efektivitas aktivitas dakwah itu sendiri.

Saudaraku,

Jika kita terlena di balik pakaian luar keislaman kita, maka mungkin kita akan lupa untuk memberikan apresiasi positif kepada para muslim yang selalu tepat waktu, muslim yang profesional, muslim yang bekerja keras dan cerdas, terlebih lagi jika mereka tidak selalu akrab simbol-simbol keislaman. Boleh jadi, mereka lebih suka memakai kemeja dan mencukur jenggotnya dibandingkan mengenakan koko dan memanjangkan rambut di dagu; boleh jadi, jilbab mereka tetap menutup aurat dengan baik meskipun ujungnya tidak sampai segaris dengan lutut. Bahkan, mungkin mereka baru saja belajar memakai jilbab di tengah desakan hebat tren jilbab modis yang sedikit-banyak mengaburkan pemahaman sebagian muslimah mengenai syariat penutupan aurat wanita.

Saudaraku,

Uraian singkat yang dikemukakan pada baris demi baris di atas, insya Allah, sama sekali tidak diniatkan untuk menyudutkan atau mendiskreditkan para muslim dan muslimah yang akrab dengan simbol-simbol keislaman, tetapi semoga menjadi salah satu bahan untuk merefleksikan kembali jati diri keislaman kita.

Simbol-simbol keislaman, bagaimanapun, adalah sarana pertama yang paling mudah bagi orang untuk mencitra kepribadian kita sebagai muslim atau muslimah. Lebih jauh, sebagian besar simbol-simbol itu pun adalah bentuk aktualisasi dari perintah Allah dan rasul-Nya. Beragam ibadah ritual pun sudah semestinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian kita. Namun, hal-hal tersebut tentu saja belum cukup. Yang jauh lebih penting dan tentu saja lebih berat adalah mengimplementasikan nilai-nilai ruhiyyah yang kita raih darinya di dalam kehidupan bermasyarakat (hablum min an-naas). Dalil yang menjadi landasan semangat kita untuk kaaffah dalam berislam sangat banyak kita temukan di al-Quran. Salah satunya yang sangat populer adalah pernyataan Allah yang disebut berulang kali di dalam Kitab-Nya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih”… Saya memahami “amal shalih” secara luas sebagai implementasi terbaik dari nilai-nilai keimanan yang terpatri di dalam hati.

Dengan demikian, semoga Allah menganugerahkan kekuatan kepada kita untuk berikhtiar terus menerus agar Islam benar-benar menjadi the way of life kita, menjadi kepribadian kita, dan tidak sekedar pakaian belaka.

Islam sebagai the way of life adalah cita-cita kita semua. Dalam perjalanan kita menuju cita-cita itu, tak terhitung badai godaan yang menerjang kita. Salah satu godaan yang mungkin jarang kita sadari adalah kecenderungan untuk tergesa-gesa menilai keislaman orang lain dari aspek lahiriyah baik secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak. Semoga Allah memberikan kekuatan bagi kita untuk menyelamatkan diri daripadanya. Salah satu senjata yang Allah anugerahkan kepada kita adalah perenungan terhadap ayat-ayat pamungkas dari surat Al-Ghasyiyah:

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan…

Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,

Tetapi orang yang berpaling dan kafir,

Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar

Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,

Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab (menilai) mereka

Pada akhirnya, semoga refleksi terhadap jati diri keislaman kita menjadi bekal untuk menjawab dengan tegas dan tepat pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Quo Vadis, Keislaman Kita?

Wallahu a’lam…