29 April 2008

SETETES EMBUN PADA KESEJATIAN YANG TERLUKA

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur


Buat saya yang awam, eksistensi profil pemimpin sejati di negeri Indonesia ini benar-benar menjadi sesuatu yang sangat langka. Apa yang tertulis di media cetak, tergambar dan terdengar dari media elektronik, atau terlihat oleh mata kepala, tak pernah jemu membuat hati kita miris. Hampir seluruh media massa dan realita itu mengisyaratkan, ketika banyak orang yang merana akibat bencana, terlilit kemiskinan dan kebodohan dalam kungkungan “lingkaran setan” struktur sosial-ekonomi yang begitu menjepit, para pejabat negara yang juga (katanya disebut) pemimpin bangsa malah terperangkap dalam intrik-intrik politik yang menyesakkan dada, “ribut-ribut” pembagian kekuasaan, sibuk mengundang para VOC baru untuk menguras kekayaan negeri sendiri, dan memulai manuver-manuver politik untuk menjemput peluang sukses pada pemilu 2009padahal masih banyak problem bangsa hingga tahun 2007 ini yang belum jua terselesaikan.

Dalam skala dan hierarki yang non-strategis, kita pun tak kalah prihatinnya. Lihat saja bagaimana para pejabat negara tampak tersenyum dalam kemewahan yang di luar kepantasan, tergoda oleh insting dasar manusia yang tak pernah merasa kaya dan puas sehingga kenaikan gaji, komisi, pendapatan, fasilitas, atau apalah namanya itu, dianggap sebuah kewajaran (atau mungkin sebuah keharusan?). Tanpa merasa risih, di antara kenaikan itu ada yang dipertontonkan kepada publik dengan alasan bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar terhadap tugas-tugas kenegaraan. Sebagian dari mereka bahkan tak kuasa menahan desakan syahwatnya sehingga korupsi pun tak terelakkan. Kita lihat pula, bagaimana aturan protokoler yang menyertai para pejabat digulirkan. Warga sipil dianggap wajar menikmati kemacetan dan efek pemutarbalikan aturan rambu-rambu lalu lintas, tetapi tidak demikian untuk para pejabat setingkat gubernur hingga presiden. Sebab, bagi mereka, semua sudut dan lajur di jalan raya harus menjadi jalan bebas hambatan. Alasannya memang sangat logis : supaya mereka tidak terlambat dalam menunaikan tugas-tugas kenegaraan!

Sebagian besar fenomena di atas mungkin bukanlah suatu kepincangan ketika dipandang melalui kacamata hukum positif dan aturan-aturan di negeri ini, tetapi jelas, menjadi fakta yang melukai kesejatian sebuah proses kepemimpinan. Pun demikian, setidaknya kita masih layak untuk berbahagia karena di tengah kesejatian yang terluka itu, ternyata ada potret teladan yang mengharukan sekaligus membanggakan.

Potret yang bagaikan setetes embun segar itu adalah kisah kepemimpinan seorang Hamdan (50), pria lulusan sekolah dasar yang menjadi Kepala Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara. Kisah empatik ini ini disuguhkan oleh harian Republika edisi Jumat, 12 Oktober 2007. Kita akan coba ulas lagi kisahnya pada alinea berikutnya. Namun, izinkan saya dahulu untuk sedikit berseloroh : Wahai para pemimpin negeri, tidak perlulah negara merogoh koceknya hingga puluhan juta rupiah hanya untuk biaya training kepemimpinan Anda. Anda cukup menyiapkan tiket pesawat ke Bengkulu dan menginap beberapa hari di Dusun Penyangkak untuk berguru pada Pak Hamdan.

**

Dusun Penyangkak adalah satu dari sekian banyak daerah yang porak-poranda akibat gempa Sumatera di awal bulan puasa tahun ini. Di dusun ini, banyak rumah warga yang luluh lantak, termasuk rumah Pak Hamdan. Tentu saja setiap warga sangat mengharapkan agar rumah mereka kembali dibangun dan tak mau berlama-lama berteduh di bawah tenda. Meskipun demikian, Pak Hamdan tidak ingin pembangunan rumah keluarganya dinomorsatukan hanya karena ia adalah seorang kepala dusun. “Selesaikan rumah warga dulu, saya belakangan saja”, demikian perintah Pak Hamdan kepada warganya. Tidak hanya masalah rumah, Pak Hamdan pun memilih untuk memastikan bahwa setiap warganya sudah berteduh di bawah tenda sebelum diri dan keluarganya sendiri. Terpal biru yang beliau dapatkan bahkan adalah terpal terakhir dari seluruh terpal yang disediakan untuk warga.

Pak Hamdan juga berhati-hati dalam segenap aktivitas pemberian bantuan atau penggunaan fasilitas yang terkait dengan keluarga dan kerabatnya. Kalau diistilahkan secara populer, Pak Hamdan tak ingin terjebak dalam KKN, apalagi di tengah suasana sulit kala itu. “Dia masih keponakan saya, tolong pengurus posko saja yang memutuskan”, pesannya suatu saat ketika mendistribusikan sembako. Pada kesempatan lain, seorang relawan hendak memakai sebilah papan untuk tiang posko. Pak Hamdan pun melarangnya dengan halus, “Jangan bayari papan itu, pak. Karena dia adik saya, apa nanti kata warga. Lebih baik bapak pakai papan warga saja. ”

Pak Hamdan menjadi sosok yang berupaya menjaga harga diri pribadi dan keluarganya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin warga Dusun Penyangkak. Ia tidak tergoda untuk memanfaatkan “jabatannya” sebagai alat untuk memuluskan dan memprioritaskan pemenuhan keinginan dan kebutuhan keluarganya, bahkan di tengah-tengah bencana, saat semua orang tanpa terkecuali sama-sama membutuhkan bantuan sandang, pangan, dan papan. Ia berusaha menjaga diri dan keluarganya dari fitnah, karena memang jabatan bisa menjadi sumber fitnah dimanapun dan kapanpun. Pak Hamdan dan keluarganya, berusaha menahan penderitaan lebih lama dari derita para warga. Ia akan mengambil paling terakhir, itupun jika masih ada sisa.

Tak hanya untuk diri dan keluarganya, teladan ini ia ajarkan pula kepada warganya. Pada saat, sebagian warga korban gempa di sepanjang jalur Lais hingga Muko Muko mempersempit jalan dengan meminta-minta bantuan, Pak Hamdan melarang keras warganya melakukan itu. “Kalau rezeki kita, pasti tidak kemana. Jangan memaksa orang membantu dengan mengiba-iba. Apalagi memaksa, kemana harga diri kita. Bukannya mereka mau membantu malah segan berhenti memberikan bantuan”, terangnya. Nasihat Pak Hamdan ini berbuah sikap tenang dan bijak para warganya. Meski 90 persen rumah di Dusun Penyangkak hancur total, warga tidak terpancing untuk bertindak anarkis. Pada suatu rapat dengan warga, Pak Hamdan berpesan, “Kita tidak perlu marah pada pemerintah dan bupati. Bukan mereka yang membuat gempa ini. Biar saja, kita urus masalah kita sendiri. Kedatangan pejabat juga tidak akan menyelesaikan masalah. Kita tunggu dengan sabar bantuan pemerintah, sambil kita berusaha bangkit sendiri”. Subhaanallah...

Kearifan kepemimpinan Pak Hamdan yang diiringi oleh kesabaran dan ikhtiar para warganya, ibarat doa mustajab yang mengetuk pintu-pintu keberkahan di langit. Dusun Penyangkak kebanjiran bantuan dari para donatur. Semua warga dusun sudah mendapatkan lebih dari cukup termasuk keperluan lebaran. Pak Hamdan yang mengetahui kondisi ini berusaha mengingatkan warganya agar tidak bersikap egois. Atas persetujuan dari warga, kelebihan bantuan itu didistribusikan ke desa-desa lain. Pak Hamdan memimpin sendiri pendistribusian bantuan itu hingga ke Serangai (satu jam perjalanan dari Penyangkak)

“Kami sudah dapat lebih dari cukup hingga lebaran nanti. Saudara kami di desa lain belum tentu mendapat keberkahan sebesar ini. Semoga ini bermanfaat untuk warga bapak”, ujar Pak Hamdan pada tokoh Desa Kembang Manis, Lais.

**

Demikianlah cuplikan kisah kepemimpinan Pak Hamdan di tengah suasana pasca gempa Sumatera. Boleh jadi, sebagian dari pembaca yang budiman merasa heran dan tak percaya bahwa masih ada sosok pemimpin seperti Pak Hamdan di negeri ini. Kisah Pak Hamdan bukanlah cerita dalam novel, tetapi memang benar-benar ada dan nyata. Meskipun latar kisahnya adalah suasana pasca bencana, kita patut untuk yakin bahwa keteladanan yang ditunjukkan Pak Hamdan itu merepresentasikan kepemimpinannya pada hari-hari biasa dan normal. Bukankah karakter manusia yang sesungguhnya akan terlihat jelas pada saat-saat terjepit dan menderita?

Para pembaca yang budiman, tulisan ini disajikan bukanlah untuk melebih-lebihkan satu pihak dan kemudian mengabaikan pihak lainnya. Kita perlu optimis bahwa masih banyak Pak Hamdan-Pak Hamdan lainnya di berbagai pelosok negeri ini dan tak mustahil ada pula para pemimpin seperti Pak Hamdan dalam lembaga tinggi dan tertinggi negeri ini. Mereka bukanlah pemimpin yang bebas dari kekurangan dan kelemahan, tetapi mereka adalah pemimpin yang perlahan tapi pasti, terus berjuang dengan kekuatannya untuk mengobati luka pada kesejatian sebuah proses kepemimpinan, mengakui kelemahan mereka agar bisa dilengkapi sehingga menjadi hebat tanpa pakaian keangkuhan, menjiwai intisari kepemimpinan sehingga mereka berjaya karena berusaha membahagiakan semua orang, bukan dengan membahagiakan sebagian orang lantas menindas sebagian lainnya.

Siapa pun kita, yang terlibat dalam proses kepemimpinan dimana pun dan kapan pun, perlu mengambil dan mengimplementasikan hikmah dari kisah kepemimpinan orang-orang seperti Pak Hamdan. Tidak mudah menjadi mereka, tapi jejak langkah mereka jelas-jelas merupakan ikhtiar untuk menjadi pemimpin sejati. Semakin sulit menjadi seperti mereka, ketika pangkat dan kekuasaan kita semakin tinggi dan harta kita semakin menumpuk, karena hal-hal inilah yang terus menjadi kendaraan syaithan untuk melesatkan syahwat kita hingga terjerumus ke dalam lembah kecurangan, kepentingan-kepentingan sesaat, pengabaian hak-hak wong cilik, dan bermegah-megahan dalam kemewahan.

Wallahu a’lam bi ash-shawwaab...

* Percakapan dan sebagian pernyataan dalam artikel ini dikutip dari kolom Lirih bertema “Keteladanan Pemimpin dari Kampung Gempa” di harian Republika, Jumat 12 Oktober 2007.


Tidak ada komentar: