01 Juni 2008

Dimulai Dari Angka Nol

Ahmad Fikri Adriansyah

Anggota Departemen Dakwah dan Ukhuwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tebet Timur


Dimulai dari angka nol ya pak”, begitulah kira-kira ungkapan dalam iklan salah satu perusahaan minyak di Indonesia yang mulai sering menghiasi layar kaca. Kalau kita perhatikan, isi dari iklan itu merupakan deskripsi itikad dan rencana baik perusahaan pengiklan untuk memberikan layanan yang jujur dan prima kepada masyarakat. Itu semua terwakili dengan pernyataan yang inspiratif: “dimulai dari angka nol”. [Ini bukan promosi lho, cuma sekedar contoh]

Secara manusiawi, semua kita pasti—setidaknya—akan mencium aroma kebaikan di balik ungkapan “dimulai dari nol”. Jika kita mengisi bensin dan petugasnya mengucapkan “dimulai dari angka nol”, kita akan termotivasi untuk menyakini kejujuran si petugas dan sistem pengisian bahan bakar yang digunakan. Jika seorang pengusaha sukses mengucapkan “saya memulainya dari nol”, maka akan tergambarkan bagaimana gigihnya ikhtiar sang pengusaha yang tak kenal menyerah dan rela jatuh-bangun sehingga bisa sukses di kemudian hari. Jika kita menimbang sesuatu, maka kita akan percaya dengan hasil timbangan itu jika jarum penunjuknya berawal dari angka nol.

Pada kenyataannya, konsep “dimulai dari nol” tidak hanya berkorelasi dengan fakta matematis dan konkret seperti di atas. Lebih mendasar lagi, konsep ”dimulai dari nol” pun sudah diisyaratkan dalam al-Quran sehingga konsep ini merupakan nilai universal yang berlaku pada setiap aspek kehidupan kita. Pada ranah yang paling fundamental, konsep ”dimulai dari nol” tercermin dalam kalimat tauhid ”Laa ilaaha illa Allah”.

Frase ”La ilaaha” dalam kalimat tauhid adalah sebentuk penihilan (an-nafyu) atau me-nol-kan atau mengarahkan jarum penunjuk penghambaan diri kita pada posisi nol. Pe-nol-an ini adalah upaya untuk membersihkan jiwa dan raga kita dari penghambaan yang tidak benar dan menghilangkan semua ketergantungan kepada tuhan-tuhan yang tak layak di sembah. Setelah bersih, baru disambung dengan frase ”illa Allah” (al-itsbaat). Melalui frase ini, jarum penunjuk penghambaan yang sebelumnya berada pada posisi nol/netral diarahkan agar menunjuk pada tujuan yang benar, yakni Allah swt. Pengarahan kepada tujuan yang benar ini tidak berangkat dari angka selain nol, karena pengarahan ini harus terjaga kemurniannya sejak pertama kali ia bergerak. Saudaraku, apakah mungkin kita menyeduh air murni pada gelas yang di dalamnya sudah tercampur bubuk kopi atau teh, atau bahkan gula sekalipun? Bukankah air murni hanya bisa didapatkan pada gelas yang sebelumnya kosong tak berisi?

Posisi nol pada konteks kalimat tauhid melambangkan pembersihan, penyucian, kejujuran, dan kegigihan seorang hamba untuk memurnikan penghambaan dirinya kepada satu-satunya Dzat yang patut disembah. Padanya terwujud ketenangan hati, seperti—meski tidak sebanding—pembeli yang merasa tenang karena timbangan dari sang penjual benar-benar dimulai dari angka nol. Padanya terwujud kegigihan hati, kepuasan hati dan rasa memiliki yang luar biasa terhadap satu-satunya Tuhan, seperti—meski tidak sebanding—sang pengusaha yang meraih kepuasan batin dan rasa memiliki yang prima terhadap usahanya yang dirintis dengan gigihnya mulai dari nol.

”Dimulai dari nol” : langkah pertama dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan

Konsep ”dimulai dari nol” yang nafasnya dihembuskan dari kalimat tauhid seyognyanya menjadi teladan dalam sikap hidup kita, terutama dalam rangka menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan. ”Dimulai dari nol” pada hakikatnya adalah pangkal strategi dalam setiap pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Karena itu, langkah pertama yang mesti kita ambil ketika menemukan suatu masalah kehidupan adalah justru dengan tidak melangkah sedikitpun, dengan berhenti sejenak, dengan tidak melakukan apapun pada pertama kalinya; bukan dengan tergopoh-gopoh memikirkan bagaimana solusinya, bukan pula dengan langsung merumuskan urut-urutan tindakan untuk memecahkan masalah tersebut. Berhentilah sejenak dan ”mulailah dari nol”. Hal ini merupakan upaya untuk menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan menyiapkan energi yang cukup untuk beralih ke langkah selanjutnya. Jika demikian, maka upaya perumusan strategi pemecahan masalah insya Allah akan terasa lebih mudah dan keputusan yang diambil cenderung lebih efektif serta efisien karena diawali dengan kemurnian hati dan pikiran yang berada di ”posisi nol” sebelum melesat dengan cepatnya.

Jadi, jika Anda menemukan masalah pelik yang terungkap dalam suatu rapat/forum diskusi, janganlah bertindak apapun sebelum Anda luangkan waktu untuk diam sejenak sambil menyunggingkan senyum. Anda tidak hanya berupaya menenangkan hati Anda sendiri, tapi Anda pun berperan untuk menularkan emosi positif kepada orang lain melalui senyuman Anda. Jika seseorang tiba-tiba marah pada Anda, maka sempatkan diri Anda untuk diam sejenak; turunkan emosi Anda hingga ”menunjuk pada angka nol” sebelum Anda memutuskan untuk menanggapi amarah itu. Anda tidak hanya sekedar beritikad untuk menuntaskan kemarahan orang itu, tetapi sebenarnya Anda juga sedang melapangkan hatinya agar tersedia jalan yang cukup lebar bagi Anda berdua menuju solusi terbaik.

Tunggu apa lagi sahabat, mari kita latih diri kita untuk ”memulai dari nol” dari sekarang .

Tidak ada komentar: